Bab 2. Digiring Ke Polisi

1399 Words
Sebelum Reza sempat memergokiku, aku masih sempat mendengar pembicaraan mereka berdua di sela-sela kegiatan panas yang sedang mereka lakukan. Demi Tuhan, buat apa dia memberiku kode kunci apartemennya kalau Reza berniat untuk mengajak wanita yang aku kira sebagai teman dekatku selama ini untuk ditidurinya. Sungguh keterlaluan. “Kamu janji bakal nikahin aku kan, Za.” Ucap Fani sambil terengah dengan Reza yang masih menindih di atas tubuhnya bahkan mulutnya masih mengulum milik Fani. “Hem, nanti pelan-pelan aku bilang ke mama ku.” “Kapan? Lepas dulu ih!” Seru Fani mulai menunjukkan kekesalannya. “Secepatnya. Kamu tahu kan mama sama papa aku tahunya aku berpacaran sama El dan mama sudah sayang banget sama dia.” “Trus kalau mama kamu masih pilih El kamu bakal putusin aku gitu! Aku ngak terima yah, Za. Putusin El sekarang juga. Lagian aku juga ngak suka mesti pura-pura cuek setiap kali kita jalan barengan sama dia.” “Kamu tahu kan gaya pacaran aku sama El. Cuma kamu yang tahu kalau aku sama El ngak pernah ciuman.” Keluh Reza membuat rasa kecewaku semakin dalam. Memang aku yang selalu menghentikan Reza setiap kali ada kesempatan untuk mencium bibirku namun selalu aku tolak dan mengatakan aku belum siap. Entahlah rasanya belum nyaman dan memang perasaan cinta itu belum tumbuh meskipun Reza sudah mencoba memberi perhatian padaku selama bertahun-tahun. Setiap kali Reza membawaku ke rumahnya, aku selalu menolak diajak masuk ke dalam kamarnya dan lebih memilih membantu Tante Mel memasak atau melakukan kegiatan di taman kecil miliknya itu. Mungkin karena aku merindukan sosok seorang ibu makanya aku lebih haus dan bersemangat bila bertemu dengan Tante Mel dibandingkan berduaan dengan Reza. Mungkin Reza jenuh menerima dan berusaha mengerti penolakanku setiap kali ia menginginkan hubungan kami menjadi lebih serius dari sekedar skinship saja. “Kalau gitu ajak aku ketemu sama orang tua kamu. Bisa kan kamu bohong bilang sudah putus sama El dan akhirnya pacaran sama aku. Atau kalau perlu bilang terus terang kalau kita sudah berhubungan seperti orang yang sudah nikah.” Ucap Fani dengan entengnya tanpa merasa berdosa. “Jangan gila kamu, El. Bisa diusir aku sama papa nanti. Dalam keluargaku tidak ada yang hamil sebelum nikah apalagi mamaku, jantungnya bisa kumat nanti.” Fani terlihat frustasi menggaruk rambutnya sendiri. “Argh! Pokoknya aku ngak mau tahu. Kamu harus nikahin aku secepatnya, Za. Ngak mungkin kita ngumpet begini terus-terusan.” Lagi-lagi Fani protes. Reza malah kembali naik di atas tubuh Fani dan memberikan lumatan panas saling berpagut daripada harus mendengarkan ocehannya. “Ahhh, kamu ngak cape sih, Za.” Desis Fani ketika tangan Reza sudah bermain nakal di bawah sana menyentuh miliknya sambil mengulum benda kembar di atas seperti bayi sedang menyusui. “Tapi kamu suka kan.” Aku tidak tahan lagi melihat kelakuan bejatt mereka hingga pekikan lirih tangisku terdengar dan akhirnya kabur dari sana. Dan sekarang pria disampingku justru sedang menggagalkan niatanku untuk bertemu dengan sang pencipta. Lucu sekali, kenapa diantara ribuan kasus bunuh diri dan aku sedang berusaha mengikuti jejak manusia putus asa seperti mereka justru ada malaikat lain yang berusaha menolongku. Wajahnya terlihat tampan meskipun terkesan arogan dan sombong. Kebodohan yang kedua adalah aku malah menanggapi ucapannya barusan. “Kenapa harus mikir dua kali, ngak ada yang peduli juga tuh.” “Gua peduli kalau loe mau percaya.” Meskipun aku tahu ucapannya itu hanya untuk membuatku merasa lebih baik ada bagian di dalam sini yang menghangat. Namun tidak mungkin semudah itu aku mundur. “Bohong! Mana ada orang asing yang peduli, keluargaku saja belum tentu apalagi kamu cuma anak muda ingusan. Pergi kamu!” Pemuda itu mendecih mencibirku, rasanya keinginan untuk melompat berganti menjadi niatan untuk memukul kepalanya sejenak. Anak bau kencur yang aku taksir masih seorang mahasiswa itu berani-beraninya menganggap remeh diriku dari decihannya itu. “Airnya bau, masa bunuh diri pas ditemuin jasadnya bau lumpur. Bunuh diri yang bagusan dikit.” Ketusnya membuatku kesal bukan main. Nafasku semakin menderu dengan amarah dan mendorongku untuk mempercepat usaha bunuh diriku supaya pemuda menyebalkan itu tidak lagi menggangguku. Aku memejamkan mata dan menjatuhkan tubuhku demi mengakhiri semua penderitaanku. Namun tubuhku melayang dan mendarat jatuh ke tanah. Bedanya aku tidak merasakan sakit terjatuh sama sekali karena pemuda itu menopang tubuhku dengan tubuhnya. “Loe udah gila yah. Gua udah bilang kan kalau gua peduli sama loe. Susah amat sih dibilangin!” Omelnya membuatku cemberut kemudian tangisku pecah lagi dengan posisi yang sama tanpa berniat bangun. “Nona, tolong bangun dulu kalau mau nangis. Kamu berat tahu ngak!” Dengan berat hati akhirnya aku bangun namun tubuhku ditarik kembali dan giliran aku yang berada di bawah, kedua tanganku dipegang erat disamping telingaku. Wajahnya begitu dekat denganku bahkan deru nafasnya begitu jelas mengenai kulit pipiku. “Kamu mau ngapain?” Ucapku mulai menyesal memikirkan pemuda ini punya niak buruk. “Menurut kamu kalau seperti ini kita mau ngapain?” Dengan sekuat tenaga aku berteriak dan meronta. “Lepasin! Tolong! Tol.. emph…” Pemuda yang belum kuketahui namanya itu membekap mulutku dan membuatku bertambah panik. Tidak lucu kalau usaha bunuh diriku ini malah berpindah skenario menjadi korban pemerkosaaan apalagi harus di tempat umum seperti ini. Aku hanya berdoa semoga ada warga sekitar atau orang yang kebetulan lewat melihat kami. Sengaja mencari tempat sepi ini untuk bunuh diri tapi kenapa malah harus bertemu dengan setan berwajah tampan yang berniat messuum ini. “Jangan teriak!” “Hei! Ngapain di situ!” Dengan cepat pemuda itu melepaskan bekapan mulutku dan aku bergegas bangun. “Mau berbuat asusila kamu yah! Dasar anak muda berengsek!!” Hanya dalam hitungan detik saja sudah ada beberapa orang yang datang dan menyeret pemuda yang menolongku dan mulai berniat main hakim sendiri. “Pak, salah paham.” Ucapnya sambil menangkis serangan para warga pada dirinya. Aku yakin ilmu bela dirinya lumayan jago terlihat dari caranya menangkis pukulan demi pukulan para warga. “Kita ke kantor polisi saja bagaimana?” Ucapnya dengan tangan berusaha menangkis tanpa melawan. “Oke, kamu dan perempuan ini ikut kami ke kantor polisi terdekat.” “Kalau begitu naik mobil saya saja. Biar Bapak percaya, Bapak ikut dengan mobil saya ke kantor polisi dengan perempuan ini. “Baik, ayo cepat!” Ucap bapak yang memergoki kami sambil mendorong tubuh pemuda itu. Suasana di dalam mobil menuju kantor polisi terdekat begitu hening, membuatku mulai merasa bersalah karena telah menyeret pemuda di sampingku ini. Jujur aku tidak enak sudah merepotkannya tapi salah dia sendiri juga sok empati dan gerakannya tadi membuatku ketakutan juga hal wajar bukan. Jadi acara penggiringan ke kantor polisi ini tidak sepenuhnya kesalahanku. Sial, sial, sial dan sial. Kata-kata itu yang terus aku rutuki sepanjang perjalanan. Sesekali aku menoleh menatap wajah dingin pemuda konyol disampingku ini. Rasanya wajah pemuda ini mengingatkanku akan seseorang tapi aku lupa siapa. “Namanya siapa, Non?” Tanya si Bapak dibelakangku. “Saya Eloise, Pak.” “Saya Noah kalau Bapak lanjut nanya ke saya.” Ucap Pemuda yang baru aku tahu namanya setelah ia mengenalkan diri. “Kalian saling kenal?” “Tidak.” Jawab kami bersamaan dengan nada datar. Sedangkan si Bapak malah terkekeh mendengarnya. “Saya Rahmat. Begini, bukannya mau mempersulit. Tapi tadi kejadiannya memang tidak pantas apalagi dilakukan di tempat umum. Kalau memang Den Noah tidak salah saya juga mau pulang jadi kalau salah yah ngaku saja nanti jangan kelamaan.” Aku menangkap garis senyum tipis Noah setelah mendengar ucapan lucu Pak Rahmat. Tampan juga meskipun cuma senyum irit begitu. “Maaf yah, Pak. Jadi ganggu waktu Bapak.” Ucapku merasa tidak enak sudah membuat beberapa orang ikut terseret dalam drama lirih hidupku. “Tidak apa-apa, Non. Biar sama-sama enak.” “Cih…” Suara cibiran Noah membuatku menatapnya sambil cemberut bercampur perasaan bersalah. Meskipun kejadian tadi seolah-olah Noah hendak mengambil kesempatan tapi aku tahu hal itu terjadi secara tidak sengaja dan aku pun meringis sungkan kembali. Setelah dua jam melakukan sesi tanya jawab dengan polisi ditambah dengan adanya rekaman kamera yang ada dekat danau itu, Noah murni dinyatakan tidak bersalah. Kami pun mengantar Pak Rahmat pulang ke rumahnya lagi dan tinggalah aku berdua dengan Noah. “Gua sudah cukup lelah hari ini. Rumah loe dimana, gua antar pulang.” Ucapnya sambil memindahkan perseneling mobil. Rumah? Astaga aku sampai lupa dengan alasan mengapa bisa sampai berdiri di tepi danau. Perasaan tidak dianggap dan direndahkan itu muncul lagi membuatku menunduk menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mataku. “Hei, Gua nanya nyadar ngak. Rumah loe dimana.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD