Bab 11. Grogi

1466 Words
Untung saja Marini tidak sempat melihat kartu hitam yang baru saja dimasukkan El ke dalam dompetnya. “Tahun ini gua ngak kemana-mana, Mar.” “Halah, bilang aja pelit ngak mau berbagi sama gua.” Ucapnya sengaja dengan suara keras untuk menarik perhatian dosen lain agar aku terlihat seperti wanita pelit. Sedangkan El hanya menghela panjang nafasnya seperti biasa berusaha sabar menanggapi ucapan Marini dengan berpura-pura melihat email masuk para mahasiswa yang sudah mulai mengirim tahap awal pembuatan skripsi mereka. Kesal karena tidak diacuhkan ditambah lagi tidak ada satupun dosen yang melirik padanya dan Eloise, Marini akhirnya duduk disebelah El. “Gimana mahasiswa loe?” “Apanya gimana, Mar?” “Ada yang ganteng ngak? Lumayan kan kalau ada bisa cuci mata sama brondong, gua bakalan rajin nengok-nengok kemari.” Ucap Marini tanpa merasa malu namun membuat bulu kuduk Eloise merinding. Tidak tahu diri rasanya masih membayangkan memiliki kekasih seusia mahasiswa mereka sedangkan umur Marini dan dirinya saja sudah jauh lebih dewasa. Terpikirkan oleh Eloise juga sepertinya tidak mungkin meskipun dirinya masih teringat dengan hal memalukan yang pernah ia lakukan waktu keil dulu. Untung saja mereka tidak pernah bertemu jadi ucapannya dulu sudah dianggap angin lalu. Eloise pernah meminta anak seorang wanita yang dianggapnya sebagai malaikat juga pernah memiliki harapan ingin menjadikan wanita itu sebagai ibu kandungnya. Namun harapannya terbang bersama angin ketika ia harus pindah bersama kedua orang tuanya. Entah apakah ibu itu akan mengingatnya lagi kalau satu hari takdir mempertemukan mereka kembali. Rasanya tidak mungkin, Eloise sendiri tidak yakin masih bisa mengenali wanita itu jika bertemu. Apalagi anak perjanjian yang pernah dibuatnya dengan ibu itu dulu. Bisa-bisa ia dihina kalau sampai menagih janjinya menikahi anak si ibu tersebut. Kalau memang pertemuan itu terjadi, usia anak tersebut seumuran dengan mahasiswa pembimbingnya. Membayangkan saja Eloise bergidik sendiri. “Hais, dia malah bengong. Udah ah, ngak asik loe, El.” Ujar Marini sambal berlalu meninggalkan ruangan Eloise dengan raut kecewa karena tidak mendapatkan apapun dari El. Kelas terakhirnya baru saja berlalu, Eloise teringat dengan permintaan Noah mengenai urusan mengisi kulkas. Bagi El belanja dan memasak sudah biasa ia lakukan sejak kecil. Memiliki orang tua yang terlalu menyayanginya membuat El tumbuh jadi anak mandiri dan sering dekat dengan para pembantu di rumah mengerjakan pekerjaan rumah sampai akhirnya ia sendiri pandai memasak. Baru saja keluar dari kampus, ia melihat seseorang yang enggan ditemuinya. Jantungnya terus berdebar berusaha berjalan menghindar dari pria itu. “Jo, mobilnya parkir dimana?” Tanyanya pada Jane. “Di lapangan parkir depan kampus kok.” Ucap Jane yang mulai menyadari kegelisahan bos nya itu. “Kenapa, Kak? Ada masalah?” Belum sempat Eloise menjawab tangannya sudah ditarik oleh orang tersebut. “Kamu kenapa kabur dari rumah, El. Ayo pulang ikut aku.” “Hei, siapa loe!” Seru Joan melepaskan tangan pria itu dari tangan El. “Gua abangnya, jangan ikut campur!” Seru Tristan. Mendengar jawaban pria yang sedang mencekal tangan Eloise, Jane mencoba membaca raut wajah perempuan yang sedang dikawalnya itu. Sampai ia melihat gelengan kecil Eloise meyakinkan dirinya pria di depan mereka ini harus dihindari. “Gua ngak akan ikut campur kalau Kak El setuju, tapi muka dia nunjukkin sebaliknya tuh.” Tristan tidak mengindahkan jawaban Jane malah mendorongnya menjauhi El. Membangunkan macan tidur ternyata pria ini. Hentakan ditubuhnya langsung dibalas dorongan lebih kencang lagi dari Jane membuat Tristan cukup terkejut. “Mau gua teriakin tukang cabull sekalian biar kena keroyok hah!” Ancam Jane membuat Tristan kicep. Apalagi Jane sengaja berteriak untuk menarik perhatian para mahasiswa disekitar mereka. “Aku pasti akan bawa kamu pulang, El. Ngak ke rumah juga tidak apa-apa asalkan kamu jangan kabur dan menghilang dariku.” Kemudian Tristan melepaskan cengkeramannya setelah membisikkan ucapannya pada El lalu pergi. “Hais! Dasar cowok mental tempe! Beraninya sama perempuan.” Ojok Jane sengaja berteriak agar didengar oleh Tristan. “Udah, Jane. Kita pulang sekarang. Noah minta belanja barang di apatemen katanya habis. Kamu temani aku pilih-pilih barang yah.” Mendengar ucapan El, Jane langsung menggosok tengkuknya sambil menyeringai. “Ehm, nemenin ngak masalh sih, Kak. Tapi kalau boleh mendingan milih sparepart motor daripada milih sayur.” Ucapan Joane membuat Eloise tertawa geli, nyatanya anak ini bukan hanya tidak kemayu tapi benar-benar tidak memiliki minat seperti anak perempuan pada umumnya. Kalau bukan rambutnya yang panjang diikat kuda, mungkin orang-orang akan mengira kalau Joan adalah seorang laki-laki. Sudah tidak lagi kesal ataupun ketakutan. Senyum di bibir Eloise sudah muncul kembali di sana karena ucapan demi ucapan konyol seorang Jane sepanjang perjalanan mereka menuju supermarket. “Cowok yang ngaku abang Kak El itu kenapa juga mesti maksain Kakak trus kenapa juga Kak El harus ketakutan waktu lihat dia?” Tanya Jane mulai mencari tahu. “Maaf, aku ngak bermaksud lancang sama urusan pribadi Kak El. Tapi mulai sekarang aku perlu memahami dengan siapa aku harus menjaga Kak El. Seperti tadi kalau aku ngak membaca raut wajah Kak El aku pasti terkecoh pas dia bilang abangnya Kakak.” Eloise mengerti maksud ucapan Jane. “Dia abang tiri aku, Jane. Mereka semua sama saja sifatnya. Hanya saja Bang Tris masih membela aku kalau Mama mulai marah-marah, Tania juga tidak berani kalau ada Bang Tris.” “Trus kenapa harus takut kalau dia belain Kakak?” “Karena dia pernah hampir berbuat kurang aja sama aku, Jane. Makanya aku menjauh sejak itu.” “Oh, begitu..” Jane terus melajukan kendaraannya menuju supermarket dekat apartemen Noah. Sambil menemani El, Joan berjalan di sampingnya menemani sambil memegang HP miliknya. Yang Eloise tidak sadari adalah penuturannya tentang Tristan tadi direkam oleh Joan dan dikirim kan ke Noah sebagai bagian dari pekerjaannya. Mungkin terlihat seperti berkhianat namun sikap Jane sudah sewajarnya melaporkan apapun mengenai tugas yang sedang diembannya kepada sang majikan. “Kamu ikut makan disini saja, Jane. Aku masak banyakan.” “Makasih, Kak. Tapi aku harus pulang, Mama juga masak di rumah. Bisa ngambek kalau masakan permaisuri ngak dimakan.” Ucapnya sambil terkekeh membuat El tertawa lagi. Meskipun tampakan luarnya belingsatan dan terkesan tomboi namun baru mengenal Jane sehari saja El bisa melihat kebaikan dan ketulusan hati Jane dari caranya bersikap. Baginya lebih menyenangkan bertemu orang-orang seperti Jane dan Noah juga teman-temannya. Terlihat dingin di luar tapi dekat dengan mereka justru menghangatkan perasaan Eloise yang selama ini merindukan arti keluarga. Jane memperlakukannya seperti seorang kakak dari sikapnya yang tidak kaku dan acuh, hal itu yang membuatnya cepat merasa nyaman dekat dengan Jane. “Iyah, beruntung kamu punya mama yang repot-repot mikirin menu masakan buat keluarganya. Ada loh mama yang terbalik, anaknya malah masakin buat dia padahal anak itu masih butuh kasih sayangnya.” Ucapan Eloise membuat Jane menatap iba wanita dihadapannya. Meskipun belum mengenal betul seorang Eloise namun Jane yakin sekali pendapat wanita itu merupakan bentuk curahan hatinya yang terpancar dari sinar redup di matanya seolah sedang merindukan kasih sayang seorang mama. “Lain kali aku pasti cobain masakan Kak El, janji.” Ucapnya sambal menjulurkan dua jari membentuk huruf v. “Betul yah. Gimana kalau besok, kalau perlu aku ijin sama mama kamu.” Jane tergelak melihat wajah sumringah Eloise. “Kak, kalau bukan tahu Kak El ini dosen aku pasti ngira Kakak itu baru lulus kuliahan gitu. Beda banget sama di kampus tadi siang.” “Ternyata selain jago berantem kamu jago merayu juga yah, Jane. Manalah pantas aku dibandingin sama kamu, masih kentara lah aku lebih tua. Kamu biar tomboi begini masih kelihatan imutnya tahu.” Keduanya tertawa mulai merasa nyaman satu dan lainnya padahal perkenalan mereka baru satu hari. Tidak tega meninggalkan El sendirian, akhirnya Joan menunggu sampai Noah sampai di rumah berhubung tadi Noah sudah memberi kabar dirinya sedang dalam perjalanan pulang. Suasana masih terlihat biasa saja antara Eloise dan Noah ketika mereka saling memberi salam dihadapan Joan kemudian Noah berlalu menuju kamarnya untuk mandi. Namun Eloise berubah gugup ketika Noah keluar kamar dan Jane sudah pulang beberapa menit lalu. Masalahnya mereka berdua tidak pernah tahu akan bertemu di kampus bahkan Noah adalah mahasiswa didikannya selama masa skripsi ini. Dalam benak mereka berdua tengah saling bergumul dengan pemikiran masing-masing. “Makan malam sudah siap.” “Masak apa hari ini?” Ucap keduanya bersamaan memperlihatkan kalau mereka sama-sama grogi. “Iy-iyah sudah siap tinggal makan. Ehm, aku ke kamar dulu.” “Mau ngapain? Ayo makan sama-sama tidak perlu menunggu aku selesai makan. Kamu bukan pembantu disini kalau lupa kamu dosenku di kampus.” Ucap Noah datar membuat Eloise merengut kesal. “Aku ingat sekali kamu mahasiswa bimbingan di kelas dan aku ngak merasa jadi pembantu. Hanya mencoba berterima kasih dengan caraku saja.” Jawab Eloise yang tidak kalah ketusnya. “Bagus kalau gitu. Ayo makan!” Lihat saja mana terlihat anak ini seperti mahasiswanya dalam mode seperti kulkas itu. Malah lebih kelihatan seperti dekan kampus yang ditakuti para dosen. Kalau ketahuan sama mahasiswa lain bisa-bisa pamornya sebagai dosen bakal turun drastis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD