Bab 36: Damar Wisuda

3458 Words
Keesokan harinya, seperti biasa sebelum berangkat sekolah, Mitha mendengar ceramah panjang lebar dari ayah dan bundanya, akan lebih lengkap jika Damar kakaknya pun ikut menceramahinya. "Iya, Ayah, Bunda, aku udah paham kok," ucap Mitha dengan malas. "Yah, Bun, jangan lupa nanti siang ke kampus aku," ucap Damar. "Beneran wisuda kan, kamu gak main-main?" tanya Rania. "Beneran, Bun, masa bohong sih," jawab Damar. "Oke, nanti Ayah, Bunda, sama Mitha datang ke kampus kamu," ucap Iqbal. "Aku jalan duluan, Yah," ucap Damar. "Iya, Mitha biar berangkat sama Ayah," ucap Iqbal. "Oke, terus nanti Mitha pulangnya gimana?" tanya Damar. "Ya sama Ayah juga, kan kita mau ke kampus kamu, gimana sih," jawab Iqbal. "Iya, Yah," ucap Damar lalu berpamitan kepada kedua orang tuanya, setelah itu Damar pergi. "Yah, jadi kepala sekolah udah resmi ditahan dan jadi tersangka?" tanya Mitha. "Iya," jawab Iqbal. "Ya Allah, kasihan juga," ucap Mitha. "Gak perlu kasihan, dia juga gak ada rasa kasihan saat melakukan kejahatan sama semua siswa," ucap Iqbal. "Bukan sama kepala sekolahnya Yah, tapi sama anaknya Sesha, dia pasti sedih," ucap Mitha. "Sesha itu bukannya teman kamu yang suka bully kamu?" tanya Iqbal. "Ayah tau dari mana?" tanya Mitha. "Bukan hal yang sulit untuk tau semuanya soal kamu, Ayah tinggal cari informasi sama teman kamu," jawab Iqbal. "Maksud Ayah, Fanny?" tanya Mitha dengan kening yang berkerut. "Mana Ayah tau siapa namanya, kan teman kamu banyak," jawab Iqbal. "Temen aku cuma satu, Yah," ucap Mitha. "Udah, kenapa malah jadi bahas temen kamu sih, kalian mau berangkat gak?" tanya Rania. "Iya, Bunda, kita berangkat," jawab Mitha lalu bersiap untuk berangkat sekolah dengan Iqbal, setelah menyalami kedua orang tuanya dia pergi lebih dulu ke luar rumah. Ting Mitha mengambil ponselnya yang berdering dari dalam saku, dia tersenyum karena mendapatkan pesan dari Aland. "Good morning, Sweetie!" sapa Aland. "Good morning, Mas," balas Mitha. "Berangkat sekolah sama siapa?" tanya Aland. "Sama ayah, oh iya Mas, kayaknya nanti aku pulang sama ayah, soalnya hari ini abang wisuda," balas Mitha. "Yaaah gak bisa ketemu dong hari ini, kalau aku kangen kamu gimana?" tanya Aland. "Ish, dasar, baru juga kemarin ketemu, masa udah kangen," jawab Mitha di dalam hatinya. "Sayang, kok gak bales sih?" tanya Aland karena cukup lama Mitha tidak membalas pesannya. "Kan baru kemarin kita ketemu, Mas, masa kangen sih," jawab Mitha. "Kan gak ketemu kamu satu hari aja berasa satu tahun gak ketemu," ucap Aland disertai emoticon kiss. "Ish ... gombal," balas Mitha. "Kenapa masih di sini, bukannya masuk ke mobil?" tanya Iqbal. "Kan aku nunggu Ayah," jawab Mitha, dan ponselnya kembali berdering, Mitha pun segera masuk ke mobil dan melihat ponselnya lagi. "Sayang, kamu udah berangkat ke sekolah ya?" tanya Aland. "Iya, Mas, ini lagi di jalan sama ayah, udah dulu ya," balas Mitha. "Oke, Sayang, semangat belajar, I love you." balasan pesan dari Aland membuat Mitha tersenyum dengan pipi yang merah merona. "Kamu kenapa?" tanya Iqbal dengan kening yang berkerut. "Gak apa-apa, Yah," jawab Mitha, Iqbal pun mulai melajukan mobilnya menuju sekolah. *** "Ya ampun, kenapa aku seperti ABG yang sedang jatuh cinta?" tanya Aland dengan senyuman yang mengembang setelah dia mengirim pesan kepada Mitha. Aland menyandarkan kepalanya di kursi kebesarannya, kini dia sudah ada di kantor, tumpukan berkas sudah berserakan di atas meja kerjanya tapi belum Aland sentuh sama sekali. "Maaf, Tuan, sekarang waktunya untuk meeting," ucap Ferdi. "Siapkan berkasnya," ucap Aland. "Sudah siap semua, Tuan," ucap Ferdi, lalu dia segera pergi menuju ruang meeting lebih dulu, seharusnya mereka meeting dengan klien dari perusahaan lain, tapi mereka membatalkan meeting karena CEO mereka tidak bisa menghadiri meeting, hal itu membuat apa yang sudah direncanakan oleh Ferdi berantakan. Aland merapikan lagi jasnya, lalu segera pergi menyusul Ferdi, meeting yang sangat membosankan hingga membuat Aland belum puas dengan hasil yang diterangkan oleh kliennya. "Ferdi, kau lanjutkan meeting ini," ucap Aland lalu beranjak dari tempatnya. Kening Ferdi berkerut karena ini pertama kalinya Aland meninggalkan meeting saat meeting masih berlangsung. "Ck ... di jam seperti ini, dia masih sekolah," ucap Aland, dia sudah berada di ruangannya, niat hati ingin pergi menemui Mitha tapi dia ditampar oleh kenyataan karena pekerjaannya yang menumpuk. Aland pun mau tidak mau harus menyelesaikan pekerjaannya. *** Jam pelajaran berlangsung sangat membosankan, dan terasa sangat lama, bahkan beberapa siswa terlihat menelungkup kan kepala mereka di atas meja. "Mith, lo ngerasa gak kalau hari ini tuh berasa adem banget?" tanya Fanny. "Enggak, tuh di luar aja panas, padahal ini belum jam sepuluh pagi," jawab Mitha. "Ish ... bukan itu," ucap Fanny. "Ya terus apa?" tanya Mitha, dia tetep fokus menjawab soal yang diberikan oleh guru mereka. "Gue juga belum tau," jawab Fanny lalu pandangannya mengitari setiap sudut ruang kelas. "Hmm ... pantesan berasa adem ayem damai dan tentram sehat sentosa, ternyata syaitonirrojim gak ada dua," ucap Fanny. "Hah? Maksud kamu apa?" tanya Mitha, lalu Fanny memegang pipi Mitha dan memutar kepala Mitha agar menoleh ke arah bangku Sesha dan Dirga. "Noh, mereka gak ada," jawab Fanny. "Oh ... Iya, dari tadi aku gak liat Sesha sama Dirga," ucap Mitha. "Sedikit adem kan dunia tanpa ada mereka, mendingan mereka gak usah masuk ke sekolah lagi aja," ucap Fanny. "Ngomongnya kok jelek banget sih, mungkin aja mereka sakit," ucap Mitha. "Sukurin, biar tau rasa deh, abisnya mereka suka banget bully lo, akhirnya kena karma juga kan," ucap Fanny. "Fan, gak baik ah ngomong kayak gitu, tapi aku kok malah kepikiran keadaan Sesha ya," ucap Mitha. "Yaaah ... lo mah gak seru, kenapa sih harus mikirin dia segala, dia aja gak pernah mikirin lo," ucap Fanny. "Kita tuh gak boleh bahagia di atas penderitaan dia, dia pasti terpukul dengan kejadian ini," ucap Mitha. "Lagian siapa suruh bapaknya korupsi, dia bangga banget sih jadi anak kepala sekolah, makan duit hasil korupsi aja sombong banget, sekarang dia pasti malu datang ke sekolah," ucap Fanny, Mitha hanya menghela nafasnya dengan panjang mendengar apa yang Fanny ucapkan. Kabar jika papinya Sesha adalah tersangka penggelapan dana yayasan memang sudah menyebar ke seluruh penjuru sekolah, bahkan siswa yang merasa sudah dirugikan oleh kepala sekolah mengucap sumpah serapah dan cacian mereka kepada kepala sekolah dan Sesha yang memang terkenal sangat sombong. *** Sementara sepasang anak adam yang sudah melewati malam dengan pertempuran panas mereka masih terlelap tanpa terusik sedikitpun oleh sinar matahari yang menerobos masuk melalui tirai kamar yang tidak terlalu luas itu. Mereka sama-sama masih lelah dengan apa yang terjadi semalam. Hingga suara ponsel sang pria mengusik tidurnya, dia mengerjapkan matanya perlahan karena berada di kamar yang asing, matanya membulat sempurna saat merasakan ada seseorang yang tidur di sampingnya. "Astaga, apa yang terjadi semalam?" tanya pria itu, dia langsung terbangun dan duduk memijat keningnya yang terasa berat dan terasa sangat sakit. Dia lebih terkejut lagi saat mendapatkan dirinya tidak memakai sehelai benang pun di tubuhnya dan seorang wanita dengan keadaan yang sama dengannya. "s**t, dasar bodoh, bisa-bisanya mereka jebak gue!" maki dia, lalu dengan perlahan dia memindahkan tangan wanita itu yang masih melingkar di pinggangnya. Dia diam-diam menggapai pakaiannya lalu segera menuju kamar mandi, setelah dia memakai pakaiannya, dia menatap wanita yang masih terlelap di ranjangnya. "Kenapa gue harus melakukan ini sama lo, sorry gue harus pergi, gue yakin gak akan terjadi sesuatu sama lo," ucapnya lalu dia mengambil barang-barangnya dan memastikan tidak ada yang tertinggal di sana, dia pun pergi begitu saja meninggalkan wanita malang yang sudah dia renggut kesuciannya. Wanita itu adalah Sesha, yang semalam dijebak oleh Nita temannya sendiri, Nita sengaja mengajak Sesha datang ke club itu untuk menjual kesucian Sesha kepada pria yang selalu mencari kepuasan dalam hingar bingarnya dunia malam, namun sayangnya Sesha tidak tidur dengan pria yang sudah membayarnya kepada Nita, tapi Sesha tidur dengan orang lain yang mungkin akan membuat masa depannya semakin hancur dan membawanya ke dalam kehidupan yang cukup rumit. *** Jam pelajaran sudah selesai, Mitha dan Fanny segera keluar dari kelas, kali ini mereka langsung menuju gerbang tapi mereka berpisah di sana karena Mitha pulang dengan Iqbal. "Kita beneran ke kampus abang, Yah?" tanya Mitha yang masih ragu. "Iya, katanya sih emang gitu," jawab Iqbal. "Ayah percaya kalau abang udah wisuda?" tanya Mitha yang masih belum merasa yakin. "Percaya gak percaya sih, tapi ya udah lah, percaya aja," jawab Iqbal lalu tertawa, beberapa menit di perjalanan akhirnya mereka sampai di rumah, mereka langsung bersiap untuk menghadiri acara wisuda Damar. Sesampainya di kampus Damar, mereka kembali dikejutkan karena Damar merupakan salah satu mahasiswa yang lulus dengan predikat terbaik, tentu saja hal itu membuat Iqbal dan Rania bangga, bahkan tanpa sadar Rania sampai meneteskan air matanya karena rasa bahagia yang tidak bisa dia bendung lagi. "Bunda, kenapa malah nangis?" tanya Mitha. "Bunda, gak nangis, Mitha," jawab Rania. "Terus, itu apa keluar air mata, kan namanya nangis," ucap Mitha lagi. "Bunda emang gitu, suka gampang nangis, kamu kayak yang baru tau aja," ucap Iqbal. "Ayah, jangan gitu dong, kan Bunda malu," ucap Rania dengan lirih kepada Iqbal. "Iya, maaf, Bunda, udah ah malu, nanti diliatin orang," ucap Iqbal. "Abisnya, Ayah godain Bunda terus," ucap Rania. "Yah, Bun, ayo acaranya udah selesai," ucap Damar yang baru saja menghampiri mereka, semua acara wisuda memang sudah selesai. Rania dan Iqbal pun beranjak dari tempatnya begitu juga dengan Mitha, Rania bahkan langsung memeluk Damar dan mengucapkan selamat kepada anak sulungnya itu. "Bunda kok nangis?" tanya Damar sambil menghapus air mata Rania. "Ini air mata bahagia karena melihat anak Bunda sukses," jawab Rania. "Baru mau dimulai, Bun, belum sukses beneran," ucap Damar. "Betul, perjalanan kamu yang sesungguhnya baru akan dimulai," ucap Iqbal sambil menepuk pelan anaknya. "Tapi, aku gak nyangka kalau Abang bisa lulus dengan predikat terbaik," ucap Mitha. "Maksudnya, kamu mau bilang Abang itu bodoh, gitu?" tanya Damar dengan tatapan tajamnya. "Bukan gitu, Bang, ya sekarang siapa yang nyangka orang Abang kerjaannya main terus, malah aku jarang banget liat Abang belajar," ucap Mitha. "Pernah denger kan pepatah yang mengatakan kalau Don't judge book by is cover ," ucap Damar dengan alis yang terangkat. "Iya sih, tapi apa hubungannya sama Abang?" tanya Mitha. "Haiish ... punya adek kok nyebelin banget sih," jawab Damar dengan kesal. "Udah jangan berantem di sini, malu-maluin aja, lebih baik sekarang kita rayakan kelulusan Damar," ucap Iqbal. "Waah ... boleh, Yah, boleh," ucap Damar bersemangat. "Iya boleh, kan kamu yang traktir kita," ucap Iqbal. "Kok aku sih, kan Ayah yang ngajak," ucap Damar. "Kan kamu yang lulus, kok Ayah yang bayar," ucap Iqbal bergurau, lalu dia merangkul Rania dengan mesra dan pergi lebih dulu. "Lah, kok kita ditinggalin, Dek?" tanya Damar yang masih diam ditempatnya bersama Mitha. "Ayah sama bunda mau pacaran kali, Bang," ucap Mitha. "Waduh, gawat nuh kalau ayah sama bunda pacaran, bisa-bisa gue punya adek lagi, kan gak lucu kalau gue dipanggil kakak sama bayi," ucapan Damar membuat kening Mitha berkerut. "Abang ngomong apaan sih?" tanya Mitha. "Udah jangan banyak tanya, ayo cepetan susul bunda sama ayah," ajak Damar sambil menarik lengan Mitha. "Ish ... Abang, pelan-pelan dong, kan gak lucu kalau aku jatuh," ucap Mitha yang kesulitan mengimbangi langkah kaki Damar yang lebar. "Lebih gak lucu lagi kalau kita punya adek," ucap Damar. "Adek apaan sih, Bang, aku gak ngerti deh," ucap Mitha. "Ya pokoknya ikutin aja," ucap Damar dan bergegas menyusul Rania dan Iqbal, tapi ternyata mereka terlambat, mobil Iqbal sudah pergi dari sana. "Tuh kan, kita terlambat, Dek," ucap Damar. "Terlambat apaan sih, Bang, aku gak ngerti," ucap Mitha. "Ah kamu, suka pura-pura gak tau," ucap Damar, dia dan Mitha pun segera masuk ke mobilnya. "Ke mana, Bang?" tanya Mitha. "Kita nyusul ayah sama bunda, emangnya mau ke mana lagi, Dek," jawab Damar. "Emangnya, Abang tau ayah sama bunda pergi ke mana?" tanya Mitha. "Tau lah, paling ke restoran biasa," jawab Damar. "Kalau gak ada di sana, gimana?" tanya Mitha. "Ya ampun, kamu banyak tanya banget sih," jawab Damar dengan gemas. "Gitu aja marah, sensi banget, Bang," ucap Mitha. "Abisnya kamu tuh ya semuanya ditanyain, kan kamu ada hp, ya kamu telpon ayah atau bunda, tanya mereka ada di mana, bukan ngoceh terus gak karuan," ucap Damar. "Iya, aku yang salah," ucap Mitha lalu dia mengambil ponselnya menghubungi Rania, ternyata mereka berada di restoran yang tak jauh dari kampus Damar. Beberapa menit kemudian, Damar dan Mitha pun sampai di restoran yang dimaksud oleh Rania, suasana restoran yang terlihat sangat klasik. "Ayah sama bunda di mana, Bang?" tanya Mitha. "Di sana," jawab Damar sambil menunjuk ke arah kursi yang ada di sudut restoran, lalu Damar dan Mitha pun menghampiri Iqbal dan Rania. "Kenapa duduk di pojok, Bun?" tanya Damar. "Biar enak aja pacarannya," jawab Iqbal. "Gak boleh pacaran, bahaya Yah," ucap Damar. "Bilang aja kalau iri sama Ayah, kamu kan jomblo akut," ucap Iqbal. "Jangan diperjelas juga dong, Yah," ucap Damar. "Ya nasibnya jomblo emang gitu," ucap Iqbal. "Udah ah, kenapa Ayah sama Abang berantem terus sih, kapan kita makannya," ucap Rania. "Ya deh, udah kayak tom and jerry aja," ucap Mitha, lalu Rania mengambil daftar menu yang ada di atas meja mereka. "Kalian mau makan apa?" tanya Rania. "Apa aja, Bun, kan Bunda paling tau apa yang kita suka," jawab Iqbal. "Bener nih terserah Bunda?" tanya Rania. "Iya, Bunda," jawab semuanya dengan kompak. "Oke deh kalau gitu, terserah Bunda ya," ucap Rania lalu dia memesan makanan kesukaan semua anggota keluarganya. "Nah sekarang, kamu udah siap menggantikan Ayah di perusahaan," ucap Iqbal. "Kan ini juga udah, Yah," ucap Damar. "Maksudnya, kamu resmi jadi CEO di perusahaan menggantikan Ayah, nah Ayah ganti jadi komisaris," ucap Iqbal. "Jangan secepat itu, Yah, aku juga kan baru lulus," ucap Damar. "Terus, emangnya kenapa?" tanya Iqbal. "Ya belum siap aja, Yah," jawab Damar. "Mau sampai kapan nunggu kamu siap, yang ada malah terbengkalai," ucap Iqbal. "Yah, kita lagi merayakan kelulusannya Damar, jadi bisa gak kalau Ayah sama Damar jangan bahas soal kerjaan," ucap Rania. "Ya, maaf Bun, kan suka kebablasan kalau udah bahas kerjaan," ucap Iqbal. "Makanya udah," ucap Rania. "Iya, kita bahas yang lain," ucap Iqbal. "Bahas apa?" tanya Rania. "Gimana Ayah sama Bunda ketemu dulu," jawab Mitha dengan alis yang terangkat. "Huh?" tanya Iqbal dan Rania bersamaan. "Nah, betul tuh, kapan, di mana, terus gimana," jawab Damar. "Aihhs ... kok malah jadi tanya itu sih," ucap Iqbal. "Kan kita pengen tau, Yah, biar gak penasaran, makanya Ayah sama Bunda harus cerita," ucap Damar. "Gak ada yang menarik kan, Bun?" tanya Iqbal. "Mana ada gak ada yang menarik, waktu itu Ayah salah sasaran sama Bunda," jawab Rania. "Salah sasaran, kok bisa?" tanya Mitha dan Damar bersamaan. "Bun, jangan mulai," ucap Iqbal. "Kan belum, Yah, baru juga mau," ucap Rania. "Ayo cerita, Bun, jangan dengerin Ayah," ucap Mitha merengek seperti anak kecil. "Jadi, dulu tuh Ayah salah sasaran kenalan sama Bunda," ucap Rania. "Terus?" tanya Mitha dengan antusias. "Waktu itu, Ayah mau kenalan sama Rindu, saudara kembar Bunda, tapi malah salah sasaran, kan Ayah berdua juga sama temannya, jadi ketuker," jawaban Rania membuat Damar tertawa karena membayangkan bagaimana malunya Iqbal pada saat itu. "Kan muka kalian mirip banget, Bun, sama-sama pake hijab lagi," ucap Iqbal. "Bunda punya saudara kembar? Kok kita gak tau," tanya Mitha. "Rindu meninggal saat kecelakaan sama calon suaminya," ucap Rania dengan mata yang berkaca-kaca. "Tuh kan, Ayah bilang juga apa, jangan dilanjutin jadinya Bunda sedih," ucap Iqbal. "Maaf, Bun," ucap Mitha dengan rasa bersalah. "Bunda gak sedih kok, cuma kadang kangen aja sama Rindu," ucap Rania. "Rindu udah tenang di sana, Bun," ucap Iqbal. "Iya, Yah," ucap Rania. "Terus, gimana Ayah sama Bunda bisa menikah?" tanya Mitha. "Karena takdir," jawab Damar. "Ish ... Abang, aku tanya Ayah sama Bunda," ucap Mitha. "Loh emang bener kan, Ayah sama Bunda menikah karena emang udah takdir dari Allah," ucap Damar. "Aku tau, Bang, tapi ada sebab dan akibatnya," ucap Mitha. "Ya sebab akibatnya itu tadi," ucap Damar. "Abang!" ucap Mitha dengan kesal. "Udah, jangan berantem di sini, malu," ucap Iqbal. "Abang yang mulai, Yah," ucap Mitha. "Mana ada, kan Abang cuma jawab pertanyaan kamu," ucap Damar. "Udah diem, sekarang kita makan," ucap Rania karena makanan pesanan mereka memang sudah datang. Mereka pun mulai menikmati makanan mereka dengan sesekali bergurau. *** "Mau kenalin aku sama siapa lagi, Ma?" tanya Aland dengan malas karena Melinda kembali memaksa Aland untuk ikut pergi dengannya. "Kamu tuh suudzon terus sama Mama sih, Land, Mama cuma mau ajak kamu makan malam di restoran kita, udah lama juga kan kita gak ke sana terus gak makan malam berdua di luar," jawab Melinda. "Tapi, aku gak yakin Mama cuma mau ajak aku makan malam," ucap Aland. "Ya udah kalau kamu gak mau ikut, Mama pergi sendiri, andai aja Aliand ada sama kita, Mama gak akan paksa kamu terus," ucap Melinda dengan sendu. Aland menghela nafasnya dengan panjang jika Melinda sudah berkata seperti itu, perkataan yang membuat Aland selalu luluh dan berakhir dengan mengikuti apa yang dikatakan oleh ibunya. "Ayo, Ma!" ajak Aland dengan wajah datarnya. "Gak usah," ucap Melinda. "Ma, jangan mulai lagi deh," ucap Aland. "Makanya, kamu tuh jangan bikin Mama kesel terus, masa Mama harus ancam dulu baru kamu ngikutin semua yang Mama bilang," ucap Melinda. Aland tak menghiraukan ucapan Melinda, dia pergi lebih dulu. Melinda pun menghubungi Yuna agar dia menemui Melinda di sana. "Kali ini kamu gak bisa kabur lagi, Aland," ucap Melinda, dia pun segera pergi menyusul Aland. Setelah Melinda duduk dengan nyaman di mobilnya, Aland segera memacu mobilnya menuju restauran milik Melinda yang tak jauh dari komplek perumahannya. Sesampainya di sana, Aland dan Melinda disambut oleh beberapa karyawan mereka, hingga pandangan Aland tertuju ke arah meja yang ada di sudut restoran. Aland diam mematung di tempatnya memperhatikan seorang gadis yang sangat di cintai sedang makan malam bersama kedua orang tuanya, siapa lagi jika bukan Mitha, senyuman Aland mengembang seketika saat melihat gadisnya tertawa. Aland ingin sekali menghampiri Mitha dan keluarganya. Menurut Aland inilah saat yang tepat untuk bertemu dengan keluarga Mitha. Baru saja Aland melangkahkan kakinya untuk menghampiri Mitha, Melinda memanggilnya, Aland melupakan jika dia datang ke sana bersama ibunya. "Ngapain sih diam di sini terus, ayo duduk, Mama udah lapar nih," ucap Melinda. "Iya, Mama duluan, aku ada urusan sebentar," ucap Aland. "Kamu gak bisa dipercaya kalau bilang ada urusan, bilangnya cuma sebentar gak taunya ngilang kayak kemarin," ucap Melinda. "Aku gak ngilang, beneran," ucap Aland. "Bener ya, awas kalau gak balik lagi," ucap Melinda. "Iya, Mama," ucap Aland, Melinda pun kembali ke mejanya, sedangkan Aland menuju kasir. Setelah itu, Aland menghampiri Melinda yang sudah duduk dengan nyaman di kursinya. "Kamu mau makan apa?" tanya Melinda. "Terserah, Mama," jawab Aland. "Ya udah, pesen semua menu aja," ucap Melinda. "Ma, kita makan cuma berdua, ngapain pesen makanan banyak-banyak," ucap Aland. "Gak apa-apa sih, Land, kan restoran punya kita ini, lagian biar kita tau kualitas makanan di restoran kita," ucap Melinda. "Masuk akal juga sih, terserah Mama deh, tapi aku gak mau habisin semua makanan," ucap Aland. "Gampang itu mah," ucap Melinda, dia pun memanggil pelayan agar mereka membawakan makanan yang diinginkan oleh Melinda. "Hai, Mel, aduh gak nyangka ketemu di sini," Melinda dana Aland menoleh mendengar suara Yuna, dia datang bersama dengan Eliana. Aland melayangkan tatapan tajamnya kepada Melinda, dia tau jika ini adalah rencana Melinda. Aland dijebak oleh ibunya sendiri. "Hai Yuna, iya kebetulan banget kita ketemu di sini, wah kamu juga datang sama Eliana," ucap Melinda. "Iya, Eliana suka banget sama makanan di sini, makanya aku sama El sering makan di sini," ucap Yuna. "Gabung aja sama kita, kebetulan aku juga udah pesan makanan banyak banget," ucap Melinda. "Hmm ... kebetulan, bukannya sengaja," ucap Aland di dalam hatinya. "Boleh, tapi kita gak ganggu kalian kan?" tanya Yuna. "Enggak kok, kita malah seneng, iya kan, Land," jawab Melinda sambil melirik kepada Aland, sedangkan Aland hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Melinda. Lalu Yuna dan Eliana duduk satu meja bersama Melinda. "Hai, Land!" sapa Eliana, tapi Aland hanya tersenyum tipis menanggapinya. "Ck ... dasar anak ini," ucap Melinda dalam hatinya. "Oh iya, El, sekarang apa kesibukan kamu?" tanya Melinda. "Ya biasa lah, Tante, sibuk kerja," jawab Eliana. "Land, kamu ngobrol dong sama Eliana," ucap Melinda kerena Aland masih fokus dengan ponselnya. "Aku ada kerjaan, Ma," sahut Aland singkat, Melinda menghela nafasnya dengan panjang mendengar ucapan Aland. "Kalian ngobrol aja, aku tinggal ke belakang dulu ya," ucap Melinda. "Iya, Mel," ucap Yuna, Melinda pun segera pergi menuju toilet, baru saja dia ingin belok, ada seorang pria muda yang menabraknya. Bruuk "Aduh!" ucap Melinda, dia jatuh terduduk di lantai. "Ya ampun, Ibu, maaf saya tidak sengaja, Ibu baik-baik saja?" tanya pria muda itu, Melinda pun menatap lekat wajahnya hampir tak berkedip. "Ayo, Bu, saya bantu," ucap pria muda itu lalu membantu Melinda bangun. "Saya permisi, Bu, sekali lagi maafkan saya," ucap pria itu lagi, tapi Melinda semakin lekat memandang wajah pria itu hingga dia pergi, Melinda baru menyadari sesuatu. "Kenapa wajah dia mirip banget sama Aland," ucap Melinda dengan lirih. "ALIAND!" teriak Melinda saat dia sudah menyadari sepenuhnya siapa yang baru saja bertemu dengannya, bahkan Melinda sudah berlari memanggil pria itu dengan air mata yang berurai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD