Bab 37: Who is He?

4231 Words
"Lama banget sih, ngapain aja di toilet?" tanya Iqbal kepada Damar yang baru saja kembali dari toilet. "Ngantri, Yah," jawab Damar. "Ya udah, ayo kita pulang," ucap Iqbal. "Bayar dulu, Yah," ucap Rania. "Iya, Bunda, kan kasirnya di depan," ucap Iqbal, lalu dia dan keluarganya beranjak dari tempat menuju kasir. Sesampainya di kasir, Iqbal dan keluarganya terkejut karena makanan pesanan mereka sudah dibayar. "Kamu yang bayar?" tanya Iqbal kepada Damar. "Bukan, Yah, kan aku dari toilet tadi, bukan bayar makanan," jawab Damar. "Kok aneh ya, sama kayak waktu itu," ucap Mitha. "Maksud kamu apa?" tanya Rania. "Nanti deh, Bun, aku jelasinnya kalau udah di rumah," jawab Mitha. "Mbak, coba dicek lagi, kami belum membayar makanan yang kami pesan, mungkin Mbak salah melihat tagihan," ucap Iqbal. "Tidak, Pak, ini sudah benar, tagihan meja nomer delapan puluh dua sudah lunas," ucap kasir. "Saya tanya sekali lagi nih, serius udah lunas?" tanya Iqbal. "Benar, Pak," jawab kasir. "Ya sudah, kami juga tidak tau siapa yang sudah membayar makanan kami, tapi terima kasih," ucap Iqbal, lalu mereka pergi dari restoran itu. "Yah, apa gak bahaya kita main terima aja makanan tadi?" tanya Rania. "Semoga enggak deh, Bun," jawab Iqbal. "Terus, tadi kamu bilang kalau kamu pernah ngalamin hal kayak gini, di mana?" tanya Rania. "Jadi gini, Bun, waktu itu kan aku sama Fanny nyari buku di mall, nah terus, pas aku sama Fanny mau bayar, kasirnya bilang buku aku sama Fanny udah dibayar, kita juga gak tau siapa yang bayar buku kita, terus tadi malah kejadian lagi hal kayak gini," jawab Mitha. "Apa selama ini ada yang terus memata-matai keluarga kita?" tanya Damar. "Kayaknya enggak deh, Bang, kan kejadiannya juga baru akhir-akhir ini," jawab Mitha. "Tapi, Bunda jadi ngeri loh, kita kan gak tau siapa dia yang sebenarnya, bisa aja kan kalau dia mau mencelakai keluarga kita," ucap Rania. "Semoga aja hal itu gak terjadi," ucap Iqbal lalu dia melirik kepada Mitha. "Kejadian yang serupa pernah dialami oleh Mitha, itu artinya dia hanya mengikuti ke mana Mitha pergi," ucap Iqbal di dalam hatinya. "Ayah kenapa malah diam ngeliatin Mitha kayak gitu?" tanya Rania. "Gak apa-apa, Bun, ya udah kita pulang, ini udah malem," jawab Iqbal, lalu mereka pun segera kembali ke rumah. **** "ALIAND!" teriak Melinda setelah dia menyadari wajah siapa yang sangat mirip dengan Aland. Nalurinya sebagai seorang ibu yang sangat merindukan anaknya membuat Melinda yakin jika pria muda itu adalah Aliand, anaknya yang hilang dua puluh tiga tahun yang lalu. "ALIAND!" teriak Melinda lagi dengan air mata yang semakin deras membanjiri pipinya, tapi terlambat pria itu sudah pergi. "Aliand!" panggil Melinda, kini kakinya sudah tidak bisa menopang lagi tubuhnya yang terasa sangat berat, Aland yang mendengar suara teriakan Melinda terperanjat saat menoleh dan melihat ibunya terduduk lemas di lantai. "Kamu kenapa, Mel?" tanya Yuna. "Ada apa, Ma?" tanya Aland dengan khawatir saat dia menghampiri Melinda. Begitu juga dengan Yuna dan Eliana yang ikut menghampiri Melinda. "Mana Aliand?" tanya Melinda dengan air mata yang berurai. "Aku masih mencari di mana Aliand, Mama yang sabar semoga Aliand bisa segera bertemu dengan kita," ucap Aland. "Tadi Mama ketemu Aliand, Land," ucap Melinda. "Aliand, di mana?" tanya Aland. "Tadi, Mama ketemu dia di toilet, dia langsung pergi gitu aja, cepet kamu kejar dia, mungkin dia masih belum jauh dari sini," jawab Melinda, lalu dia beranjak dari tempatnya. "Mama tunggu di sini, biar aku yang cari," ucap Aland lalu dia melirik Yuna, "Tante, maaf aku titip Mama sebentar," setelah itu Aland pun pergi, dia juga berharap jika Aliand masih ada di sekitar restoran. Aliand mengitari pandangannya di sekitar, berharap dia juga bertemu dengan pria yang dimaksud oleh Melinda. Tapi ternyata, Aland tidak menemukan siapa-siapa di sana. "Kalau memang kamu ada di sini, muncul ke hadapanku sebentar saja, Aliand, please demi mama," ucap Aland di dalam hatinya. Cukup lama Aland diam di sana hasilnya tetap sama, dia tidak melihat Aliand. Dengan perasaan kecewa, Aland kembali menemui Melinda. "Mana Aliand?" tanya Melinda. "Gak ada, Ma, mungkin tadi Mama salah liat," jawab Aland. "Mama gak salah liat, dia benar-benar Aliand," ucap Melinda. "Buktinya, Aliand gak ada, Ma," ucap Aland. "Kamu bisa gak sih cari Aliand, kalau gak bisa, biar Mama cari Aliand sendiri!" ucap Melinda dengan sengit. "Ma, jangan kayak gini, malu diliatin orang," ucap Aland. "Iya, Mel, kamu juga yang tenang, Aliand pasti ketemu kok, aku juga yakin tadi kamu benar-benar ketemu sama Aliand, feeling seorang ibu selalu kuat," ucap Yuna, dia memang sudah tau apa yang terjadi dengan Aliand. "Aku cuma mau Aliand kembali," ucap Melinda semakin kencang terisak. "Belum saatnya, Mel, suatu saat Aliand pasti kembali," ucap Yuna. "Sampai kapan aku menunggu?" tanya Melinda terdengar begitu menyayat hati. "Land, lebih baik kamu ajak mama kamu pulang, biar dia lebih tenang dan bisa istirahat," ucap Yuna. "Oke, Tante, kami pulang dulu, maaf acara makan malamnya jadi berantakan," ucap Aland. "Gak apa-apa, ini juga bukan kesalahan kalian kok, lagian kita gak menyangka kalau akan terjadi hal seperti ini," ucap Yuna. Aland pun segera membawa Melinda pergi. "Yaaah, Ma, gagal lagi deh," ucap Eliana. "Gak apa-apa, mungkin memang belum waktunya kalian kenal lebih dekat lagi, keadaannya juga malah kayak begini, Mama tau banget gimana Melinda sangat kehilangan anaknya," ucap Yuna. "Emang Aliand itu siapa, Ma?" tanya Eliana. "Dia adiknya Aland yang hilang saat mereka baru datang ke Jakarta," jawab Yuna. "Ya ampun, berarti udah lama banget, Ma," ucap Eliana. "Makanya Melinda sampai histeris kayak gitu liat orang yang mirip sama Aland, dia pikir kalau itu Aliand, padahal kan bisa aja kalau itu hanya kebetulan," ucap Yuna. "Semoga Aliand cepat ketemu deh, Ma, kasian tante Mel," ucap Eliana. "Amin, semoga aja," ucap Yuna. *** Sesampainya di rumah Aland segera membawa Melinda ke kamarnya untuk beristirahat, dia pun meminta pelayan untuk menyiapkan makan malam untuk Melinda karena ibunya itu belum sempat memakan apapun di restoran tadi. "Udah, Ma, jangan nangis terus, besok aku cari lagi di mana Aliand," ucap Aland. "Sekarang!" desis Melinda dengan menatap tajam kepada Aland. "Ini udah malam, Ma, mau cari ke mana, lagian kan tadi Mama juga tau, Aliand udah gak ada," ucap Aland. "Mama gak mau tau, pokonya kamu cari Aliand sekarang juga," ucap Melinda lagi, Aland menghela nafasnya dengan panjang mendengar ucapan Melinda. "Den, makan malamnya sudah siap," ucap pelayan. "Tolong bawa ke sini," ucap Aland. "Baik, Den," ucap pelayan dia pun kembali menunju dapur mengambil makanan untuk Melinda. "Mama gak mau makan, Mama cuma mau ketemu sama Aliand," ucap Melinda. "Ya udah, kalau kayak gitu aku juga gak mau pergi cari Aliand," ucap Aland. "Kamu berani membantah perintah Mama?" tanya Melinda dengan sengit. "Berani lah, Ma, apalagi kalau perintahnya salah, aku boleh membantah Mama," jawab Aland dengan santai lalu dia pindah duduk di sofa. "Aland!" bentak Melinda. "Gak usah teriak, Ma, aku juga denger kok," ucap Aland sambil memainkan ponselnya, dia tersenyum mencari nomer ponsel kekasih hatinya. "Kamu tuh ya, makin ke sini makin suka bantah perintah Mama," ucap Melinda. "Membantah apa, Ma, aku kan cuma melakukan apa yang menurut aku benar," ucap Aland. "Aland, ini gak lucu ya, kamu cepat cari Aliand sebelum dia pergi semakin jauh," ucap Melinda. "Aku males," ucap Aland. "Kamu tuh bener-bener ya," ucap Melinda. "Emang aku bener," ucap Aland. "Nyonya, ini makanannya, ingin disimpan di mana?" tanya pelayan. "Bawa lagi keluar, saya gak mau makan," jawab Melinda. "Simpan di sini saja," ucap Aland sambil menunjuk ke arah meja yang ada di hadapannya. "Bawa keluar!" ucap Melinda. "Simpan di sini, jangan dengarkan apa yang Mama katakan, dengarkan perintah saya saja," ucap Aland, pelayan pun menyimpan makanan yang dia bawa di atas meja, setelah itu dia kembali ke dapur. "Kalau Mama gak makan, aku juga gak mau pergi cari Aliand," ucap Aland. "Kamu ngancam, Mama?" tanya Melinda. "Enggak, aku cuma mencoba untuk bernegosiasi sama, Mama," jawab Aland. "Dikira ini marger bisnis, pake ada negosiasi segala," ucap Melinda dengan kesal. "Ya pokoknya, Mama setuju atau enggak, kalau Mama makan, aku pergi sekarang juga mencari Aliand, kalau Mama gak mau makan, ya udah lebih baik aku tidur, soalnya besok ada hal penting yang harus aku kerjakan," ucap Aland. "Jadi, maksud kamu mencari Aliand bukan hal yang penting?" tanya Melinda dengan sengit. "Aku gak bilang begitu, Ma," jawab Aland. "Terserah kamu!" ucap Melinda dengan sengit lalu dia beranjak dari ranjang dan menuju sofa menghampiri Aland, dengan wajah ditekuk seperti anak kecil, Melinda mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya. "Harus habis ya, Ma, kalau gak habis aku balik lagi," ucap Aland dia pun beranjak dari tempatnya. "Pergi sana!" perintah Melinda. "Siap Bunda ratu!" ucap Aland sambil memberikan hormat kepada Melinda, dia pun segera pergi kembali ke restoran. "Semoga kamu cepat kembali berkumpul sama Mama dan kakak kamu, Nak," ucap Melinda dengan mata yang berkaca-kaca. *** Sesampainya di restoran, Aland segera menuju ruang keamanan untuk memeriksa CCTV, mungkin saja dia bisa mendapatkan petunjuk dari sana, Aland sangat serius memperhatikan rekaman itu sampai saat Melinda dengan pria yang dimaksud oleh ibunya bertabrakan dengan Melinda. "Berhenti," perintah Aland, dia mengamati postur tubuh pria itu dan beralih mencoba untuk melihat wajahnya yang memunggungi kamera. "Apa dia sering datang ke sini?" tanya Aland. "Sepertinya tidak, Tuan, atau mungkin kami yang tidak tau, karena yang tau hal itu hanya para pelayan dan kasir," jawab security. "Hmm ... benar juga, tapi tidak mungkin kan jika mereka terus mengamati wajah semua pelanggan yang datang ke sini," ucap Aland. "Apa anda ingin melakukan penyelidikan lebih lanjut kepada pria ini?" tanya security. "Tidak perlu, biar saya yang melakukannya sendiri, kalian cukup kabari saya jika dia datang lagi ke restoran ini," jawab Aland. "Baiklah, Tuan," ucap security, setelah itu Aland segera pergi dari restoran. "Semoga membuahkan hasil," ucap Aland, dia kembali masuk ke mobilnya lalu memasang earphone, semenjak kejadian tadi, dia belum sempat menghubungi kekasih hatinya, siapa lagi jika bukan Mitha. *** "Bun, aku ke kamar duluan ya," ucap Mitha. "Masih sore, masa mau langsung tidur, Dek," ucap Damar. "Aku mau belajar, Bang, dua minggu lagi aku try out," ucap Mitha. "Oh, ya udah, beneran belajar kan?" tanya Damar. "Iya lah, emangnya kenapa," jawab Mitha. "Ya, siapa tau aja kamu malah nonton film India sampe subuh," ucap Damar. "Itu nanti, kalau udah selesai ujian, biar bisa refresh otak," ucap Mitha. "Mau Bunda bikinin minuman yang anget?" tanya Rania. "Gak usah, Bun, nanti aku bikin sendiri aja kalau mau," jawab Mitha. "Ya udah, jangan begadang, belajar juga harus tau waktu," ucap Rania. "Iya, Bunda," ucap Mitha, dia pun segera menuju kamarnya. "Ayah ke mana, Bun?" tanya Damar, karena sejak datang dia tidak melihat ayahnya, mereka pun tidak datang bersamaan. "Ayah di ruang kerjanya, katanya ada pekerjaan yang harus selesai malam ini," jawab Rania. "Oh," ucap Damar. "Jadi, kapan nih?" tanya Rania. "Apanya yang kapan, Bun," jawab Damar. "Kapan kamu mau kenalin calon menantu sama Bunda," ucap Rania dengan alis yang terangkat. "Haiish ... Bunda, pacar aja gak ada gimana mau kenalin calon mantu Bunda," ucap Damar. "Masa belum punya pacar sih," ucap Rania. "Beneran, Bun, lagian aku belum nemu calon yang pas," ucap Damar. "Mungkin kamu terlalu memilih, makanya belum nemu yang pas terus," ucap Rania. "Aku gak terlalu memilih, Bun, emang cewek yang deketin aku semuanya gak ada yang membuat hati aku bergetar," ucap Damar. "Hmm ... lagaknya udah kayak Kahlil Gibran aja," ucap Rania. "Ya pokoknya begitu lah, Bun," ucap Damar. "Jangan lama-lama sendirinya, kan menikah itu adalah ibadah yang paling lama untuk menyempurnakan agama," ucap Rania. "Iya, Bunda," ucap Damar, dia pun beranjak dari tempatnya. "Kamu mau ke mana?" tanya Rania. "Mau nyusul ayah, Bun," jawab Damar. "Oh, ya udah," ucap Rania, lalu Damar pergi ke ruangan kerja ayahnya, sedangkan Rania segera menuju kamarnya. Tok tok tok "Aku boleh masuk, Yah?" tanya Damar sambil mengetuk pintu. "Masuk aja!" jawab Iqbal dari dalam, Damar pun masuk ke ruang kerja Iqbal dan langsung duduk di kursi yang ada di hadapan Iqbal. "Ayah lagi ngerjain apa?" tanya Damar. "Ini ada laporan yang harus Ayah selesaikan untuk kasus kemarin," jawab Iqbal. "Oh, cuma itu, Yah?" tanya Damar. "Iya," jawab Iqbal, dia masih fokus dengan laptopnya. "Ya udah deh kalau cuma itu, aku ke kamar aja," ucap Damar. "Eh tunggu dulu!" cegah Iqbal. "Kenapa, Yah?" tanya Damar. "Sebentar lagi, tanggung," jawab Iqbal dia segera menyelesaikan pekerjaannya setelah itu menutup laptopnya. "Kamu merasa ada yang aneh gak soal tadi?" tanya Iqbal. "Yang bayar makanan kita itu, Yah," jawab Damar. "Iya, soalnya cuma Mitha yang mengalami kasus serupa," ucap Iqbal. "Apa ada orang yang diam-diam memperhatikan Mitha?" tanya Damar. "Sepertinya begitu," jawaban Iqbal membuat pikiran Damar tertuju pada seseorang. "Tapi, gak mungkin kalau dia yang bayar makanan tadi," ucap Damar dengan lirih. "Dia siapa?" tanya Iqbal dengan alis yang terangkat. "Bukan siapa-siapa, Yah, biar aku yang menyelidiki siapa yang diam-diam mengikuti Mitha," jawab Damar. "Apa mungkin pria itu yang melakukannya?" tanya Iqbal. "Pria mana, Yah," jawab Damar. "Pria yang ketemuan sama Mitha kemarin," ucapan Iqbal membuat Damar tersenyum canggung. "Tapi, kayaknya gak mungkin, soalnya Mitha udah janji sama Ayah gak akan menemui dia lagi," ucap Iqbal. "Udahlah, Yah, gak usah dipikirin, yang terpenting, gak terjadi sesuatu juga sama Mitha," ucap Damar. "Benar juga, tapi tetap aja kita harus waspada, jangan sampai terjadi sesuatu yang buruk sama Mitha," ucap Iqbal. "Insya Allah itu gak akan terjadi, Yah, biar aku yang menyelesaikan itu, Ayah jangan khawatir," ucap Damar. "Oke, Ayah percayakan semuanya sama kamu," ucap Iqbal. *** Saat Mitha sedang serius belajar, ponselnya berdering, dia tersenyum dengan sangat lebar karena Aland yang menelponnya. Mitha pun segera menekan panel berwarna hijau di layar ponselnya. "Assalamu'alaikum, Mas," sapa Mitha. "Wa'alaikum salam, Cantik, kamu lagi ngapain, Sayang?" tanya Aland di seberang sana. "Lagi belajar, Mas, soalnya sebentar lagi kan aku ujian," jawab Mitha. "Berarti aku ganggu kamu dong, Sayang," ucap Aland. "Enggak kok, Mas," ucap Mitha. "Besok mau jalan?" tanya Aland. "Aku gak tau, Mas," jawab Mitha. "Kamu takut dijemput sama ayah lagi?" tanya Aland. "Iya," jawab Mitha dengan lirih. "Sampai kapan kita back street seperti ini, aku ingin bertemu dengan orang tua kamu," ucap Aland. "Hah? Back street?" tanya Mitha. "Iya lah, terus apa lagi namanya kalau bukan back street, kita pacaran sembunyi-sembunyi kayak gini," jawab Aland. "Iya juga sih," ucap Mitha. "Jadi, kapan aku bisa ketemu sama orang tua kamu biar kita bisa bebas, gak sembunyi-sembunyi lagi kayak begini," ucap Aland. "Aku belum tau, Mas, aku masih takut ayah marah," ucap Mitha. "Gini aja, aku tunggu sampai satu bulan lagi, setelah itu aku temui orang tua kamu agar hubungan kita lebih serius," ucap Aland. "Secepat itu, Mas?" tanya Mitha. "Buat aku itu terlalu lama, Sayang, kalau bisa aku ingin menemui orang tua kamu saat ini juga," jawab Aland. "Tapi, Mas ...." "Udah, jangan mikir yang aneh-aneh, sekarang kamu lanjut belajar lagi dan fokus untuk ujian, besok kamu hubungi aku kalau kamu bisa ketemu, sama aku, i love you, Sayang," ucap Aland. Sambungan telpon mereka terputus, bahkan Mitha belum sempat menjawab ucapan Aland. "Love you too, Mas," ucap Mitha dengan lirih tapi .... "Hayo, bilang love you sama siapa?" Mitha terkejut karena Damar tiba-tiba masuk ke kamarnya dan berteriak. "Abang, ngagetin aja sih!" jawab Mitha dengan kesal, tanpa diminta Damar duduk di ranjang berhadapan dengan Mitha. "Telponan sama siapa tadi?" tanya Damar dengan alis yang terangkat. "Bukan sama siapa-siapa," jawab Mitha dengan gugup. "Ketauan kalau lagi bohong tuh mukanya," ucapan Damar membuat Mitha refleks memegang wajahnya. "Tuh kan, beneran lagi bohong," ucap Damar. "Enggak, Abang," ucap Mitha. "Terus, apa dong?" tanya Damar. "Gak ada apa-apa, Bang, udah deh Abang keluar dari kamar aku, gangguin aku lagi belajar aja," jawab Mitha sambil mendorong tubuh kakaknya. "Alesan aja belajar, emangnya Abang gak tau kalau kamu tadi lagi pacaran," ucap Damar. "Pacaran apa sih, Bang," ucap Mitha. "Udahlah, sampe uler punya jenggot juga kamu gak bakalan ngaku sama Abang, liat aja nanti ya, Abang beneran sidak kalian berdua," ucap Damar. "Terserah, Abang, udah sana cepetan keluar," ucap Mitha lagi. "Iya, bawel!" ucap Damar, dia pun segera keluar dari kamar Mitha. "Gimana nih kalau bang Damar tau, nanti abang bilang sama ayah," ucap Mitha dengan gelisah. "Aarggh ... bikin gak fokus belajar aja sih!" ucap Mitha sambil mengacak rambutnya frustasi. *** Keesokan harinya. Setelah sampai di sekolah, Mitha dikejutkan dengan kegaduhan yang terjadi di sana, ada siswa yang menempel foto Sesha dan kepala sekolah di mading dengan berbagai macam coretan dan sumpah serapah mereka. "Ya ampun, kenapa kayak gini sih," ucap Mitha dengan tangan yang sibuk mencopot foto itu dari mading. "Mith, lo ngapain?" tanya Fanny. "Nih, kamu liat, ini keterlaluan," jawab Mitha. "Udah biarin aja sih, mereka juga keterlaluan kok," ucap Fanny. "Tapi, Fan, gak gini juga, kan yang bersalah ayahnya, jadi jangan ikut membully Sesha yang gak tau apa-apa," ucap Mitha. "Terserah lo deh Mith, terserah, gue capek ngomong sama lo, hidup lo tuh terlalu lempeng sama orang, udah dijahatin berapa kali juga masih aja baik sama syaiton lucknut kayak dia," ucap Fanny dia pun pergi lebih dulu ke kelas karena kesal kepada Mitha. "Fan, tungguin dong!" teriak Mitha. "Bodo amat! Jangan ngomong lagi sama gue!" teriak Fanny dengan sengitnya. Saat di kelas, Fanny dan Mitha kembali disuguhkan oleh pemandangan yang menurut Mitha tidak pantas untuk dilakukan, semua temannya di kelas sedang membully Sesha, bukan itu saja bahkan mereka melempari Sesha dengan sampah hingga membuat kelas mereka berantakan seperti kapal pecah. "STOOP!" teriakan Mitha membuat semua temannya menoleh kepada Mitha termasuk Sesha dan Dirga yang juga sudah ada di kelas, Dirga pun diam saja saat melihat Sesha diperlakukan seperti itu oleh teman-teman mereka. "Kalian ini apa-apaan sih, kenapa main hakim sendiri?" tanya Mitha. "Lo gak usah belain anak koruptor kayak dia!" jawab Resti teman Mitha. "Gue bukan anak koruptor, semua ini fitnah!" ucap Sesha dengan sengit. "Fitnah dari mana huh? Semuanya udah terbukti kalau bokap lo tersangka utama!" ucap yang lainnya, membuat Sesha beranjak dari tempatnya dan menghampiri Mitha dengan tatapan penuh kebencian. "Jadi gini cara lo balas dendam sama gue, huh?" tanya Sesha dengan sengit sambil menunjuk wajah Mitha. "Balas dendam apa maksud kamu," jawab Mitha. "Lo gak usah pura-pura bego, lo kan yang udah tuduh bokap gue dan kasih laporan palsu sama pak Iqbal, biar lo bisa ngancurin reputasi gue, lo tuh perempuan hina yang mau jadi simpenan om om!" ucap Sesha dengan sengit. "Lo jangan kurang ajar ya, Sha, lo gak tau apa yang sebenarnya ...." "Diam, gue berurusan sama bus tayo ini, bukan sama kacungnya!" ucap Sesha dengan tatapan nyalangnya kepada Fanny. "Sekali lagi aku tegaskan sama kamu, aku bukan selingkuhan pak Iqbal, apalagi simpanannya, gak akan pernah terjadi, Sha!" ucap Mitha. "Pembohong, gue tau kelakuan busuk lo, dan sekarang gara-gara lo hidup gue hancur, puas lo, huh?" tanya Sesha dengan sengit. "Aku gak ngerti apa yang kamu maksud, Sha, lagian gak ada sedikitpun niat aku untuk membalas semua perbuatan kamu," jawab Mitha. "BULSHIT!" pekik Sesha lalu .... BYUUR Sesha mengambil minuman salah satu temannya lalu menyiram Mitha. "Lo bener-bener keterlaluan, Sha!" teriak Fanny dengan tangan yang terangkat siap untuk menampar Sesha, tapi lagi-lagi Mitha mencegahnya. "Kenapa, lo mau tampar gue? Sini tampar gue gak takut!" teriak Sesha. "Sesha!" pekik Fanny semakin kesal. "Udah, Fan, jangan dilawan lagi, nanti suasana makin gak enak, aku ngerti kok Sesha lagi tertekan," ucap Mitha dengan lirih. "Mitha, lo bisa gak sih buka mata dan pikiran lo, orang kayak dia tuh gak pantes dibaikin terus," ucap Fanny. "Udahlah, kalau kamu terus ngeladenin dia, yang ada malah kamu dipanggil sama guru BK dan kena masalah," ucapan Mitha membuat Fanny semakin kesal, lalu Fanny pergi dari kelas mereka. "Aku tau kamu lagi tertekan, Sha, tapi seharusnya apa yang terjadi bisa memberikan pelajaran untuk kamu agar kamu tidak selalu merendahkan orang lain," ucap Mitha, dia sangat yakin jika Sesha benar-benar tertekan dengan keadaanya sekarang, terlihat dengan jelas wajah Sesha yang pucat dan kehilangan sedikit cahayanya. "Dan kalian, gak seharusnya kalian membully Sesha, itu bukan tugas kalian dan bukan urusan kalian, semuanya sudah ditangani dengan baik oleh pihak yayasan, jadi kalian gak berhak menghakimi orang yang tidak bersalah, tugas kalian di sini hanyalah belajar dan menjaga nama baik sekolah tempat kita menuntut ilmu, bukan bersikap anarkis dan merasa paling benar sendiri," ucap Mitha sambil melihat temannya satu persatu lalu pandangannya tertuju kepada Dirga. "Dan kamu Dirga, bukankah kamu salah satu anggota osis di sekolah ini, seharusnya kamu bisa menenangkan siswa yang lain, bukan malah membiarkan mereka seperti ini, kamu benar-benar pengecut Dirga!" ucap Mitha dengan tatapan tajamnya, lalu Mitha segera pergi ke toilet untuk mengganti seragamnya, untung saja Mitha selalu membawa seragam ganti. Sedangkan Dirga hanya diam di tempatnya sambil menatap Mitha dan Sesha bergantian, apa yang diucapkan Mitha adalah sebuah tamparan keras untuknya, dia memang lelaki pengecut yang berani berbuat tapi tidak berani bertanggung jawab. "Gue gak butuh pembelaan dari lo!" ucap Sesha dengan tatapan tajamnya lalu dia duduk di bangkunya. Nita yang biasa duduk di samping Sesha kini berpindah tempat. "Nit, lo mau ke mana?" tanya Sesha. "Sekarang gue ogah duduk sama lo, anak koruptor pasti sekarang lo miskin kan," jawab Nita. "Kenapa lo jadi begini, Nita?" tanya Sesha. "Lo pikir gue mau temenan sama lo dengan cuma-cuma, sekarang lo udah gak ada gunanya lagi buat gue," jawaban Nita membuat Sesha merasa tertampar. Jadi seperti ini wajah asli teman-teman dekatnya, di saat dia jatuh dan punya masalah, semua temannya menjauh bahkan mereka membully Sesha sekarang. Kini kehidupan Sesha benar-benar hancur, masa depannya yang direnggut oleh pria asing, belum lagi masalah papinya yang kini menjadi tersangka utama dan harus mendekam di penjara selama dua belas tahun, beberapa aset yang dimiliki oleh keluarganya pun ikut disita oleh polisi, yang tersisa hanyalah rumah yang dia tempati, dan tabungan milik maminya, memang jumlahnya cukup besar, namun jika terus menerus digunakan tanpa ada pemasukan tetap akan habis dalam sekejap mata. "Kenapa jadi seperti ini!" ucap Sesha di dalam hatinya sambil menjambak rambutnya frustasi. Mitha yang baru saja kembali dari toilet ingin sekali menghampiri Sesha dan menenangkannya, tapi Mitha tau ini bukanlah waktu yang tepat, Mitha yakin jika dia mendekatinya sekarang, Sesha pasti akan kembali memaki dirinya. Akhirnya Mitha pun hanya diam dan segera duduk di bangkunya, dia mengambil ponselnya ingin mengirim pesan kepada Fanny, karena dia masih belum kembali ke kelas. Ternyata, Fanny sedang berada di ruangan Iqbal, Fanny menceritakan semua yang terjadi kepada Iqbal termasuk Sesha yang menuduh jika Mitha adalah simpanannya Iqbal. "Tolong lakukan sesuatu, Pak, saya gak mau Mitha dibully terus sama teman-teman," ucap Fanny. "Saya pasti melakukannya sekarang, ini sudah sangat keterlaluan," ucap Iqbal. "Terima kasih, Pak, sekarang saya bisa kembali ke kelas, kan?" tanya Fanny. "Silahkan," jawab Iqbal, lalu Fanny pun keluar dari ruangan Iqbal. Fanny segera menuju kelas karena bel pun sudah berbunyi, dia cepat-cepat duduk di bangkunya dengan tatapan sinis kepada Sesha. "Bener-bener tamat riwayat lo kali ini, dasar anak sombong!" ucap Fanny di dalam hatinya. "Kamu abis dari mana, Fan?" tanya Mitha, tapi Fanny tidak menjawab pertanyaan sahabatnya itu. "Kamu marah sama aku?" tanya Mitha lagi, Fanny tetap bungkam. "Jawab dong, Fan, kamu marah sama aku?" tanya Mitha. "Lo diem gak!" jawab Fanny dengan ketus. "Salah aku apa?" tanya Mitha dengan lirih. "Salah lo, karena lo terlalu baik sama orang!" jawab Fanny. "Kan kita emang gak boleh pilih-pilih baik sama orang, Fan," ucap Mitha. "Gue tau, Mith, tapi liat-liat juga sama siapa baiknya, orang kayak dia pantes lo baikin, huh?" tanya Fanny dengan sengit. "Kalau kayak gitu sama aja pilih-pilih dong, Fan," jawab Mitha. "Terserah lo, gue capek jelasin kayak ginian terus sama lo, gak bisa apa hidup lo itu bengkok sedikit, jangan lempeng terus, makan hati tau ngadepinnya," ucap Fanny. "Makan hati, minta jantung juga gak?" tanya Mitha menggoda temannya. "Mitha!" ucap Fanny semakin kesal. "You're sensible," ucap Mitha berbisik kepada Fanny. "Astaga, ini ruang kelas apa tempat pembuangan sampah!" pekik guru mereka yang baru saja masuk ke kelas dan melihat sampah berserakan di sana. "Maaf, Bu, tadi ada sedikit kekacauan," ucap salah satu siswa. "Pokoknya, Ibu gak mau tau, sebelum kelas ini bersih, Ibu gak mau masuk ngajar ke sini, atau kalian semua Ibu hukum isi semua soal yang ada di LKS!" ucapan guru membuat semua murid gelagapan dan mereka dengan cepat beranjak dari kursi mereka untuk merapikan dan membersihkan kelas lagi. "Heh, pasti lo kan biang keroknya, kenapa lo diem aja ngeliatin kita, bantuin bersin gak?" tanya Fanny dengan sengit kepada Nita. "Ogah ya, nanti kutek gue rusak, lagian lo gak liat nih kalau kutek gue belom kering," jawab Nita. "Dasar si vangke lucknut lo, liatin aja ya!" ucap Fanny, dia pun mengambil kantong plastik yang sudah terisi penuh dengan sampah dan ember berisi air kotor bekas pel lantai. "Nih, lo buang ini atau gue siram lo pake air kotor!" ucap Fanny sambil membanting kantong plastik di hadapan Nita. "Enak aja, ogah, bau tau!" ucap Nita dengan sengit. "Oke, berarti lo pilih gue mandiin pake air ini!" ucap Fanny, lalu dia menarik lengan Nita. "Iya, iya, gue buang, rese banget sih lo!" ucap Nita. "Dari tadi kek kayak gitu, bacot doang digedein, tapi nyalinya cemen banget," ucap Fanny. "Awas lo ya, gue bales nanti!" ucap Nita, akhirnya mau tidak mau dia membuang kantong sampah yang diberikan oleh Fanny. "Gue gak takut sama syaiton lucknut kayak lo!" ucap Fanny menantang. "Ya ampun, Fan, kamu tuh cewek emangnya gak bisa ya kalau ngomong tuh yang anggun dikit, ini mah bar-bar banget," ucap Mitha. "Udah dari sononya kek gini, jadi jangan banyak protes," ucap Fanny. "Huh, dasar, Fanny aing bar-bar," ucap Mitha, mereka pun kembali melanjutkan untuk membersihkan kelas. Setelah ruang kelas mereka bersih, guru pun kembali masuk bersamaan dengan seseorang yang amat penting di yayasan mereka. "Mampus, kelar hidup lo semua sekarang!" ucap Fanny dengan puas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD