Bab 52: Sesha Ingin Bunuh Diri!

1005 Words
Mata Mitha terbelalak sempurna saat dia melihat ke arah rooftop. Mitha terkejut karena Sesha berdiri di atas sana, terlebih Sesha naik ke pembatas rooftop. "Begitu lah akibatnya karena terlalu sombong, sekarang dia depresi mau bunuh diri gara-gara bapaknya dipenjara, miris banget hidup dia," ucap salah satu siswa. "Fan, jangan sampai Sesha beneran loncat dari sana," ucap Mitha. "Ayo, Mith, bahaya kalau dia beneran lompat nanti dia jadi arwah gentayangan lagi, terus sekolah kita jadi angker," ucap Fanny. "Fanny, gak lucu ya kayak begini dipake buat bercanda," ucap Mitha dengan gemas, dia pun segera pergi ke tangga yang menuju rooftop. Begitu juga dengan Fanny. Dengan nafas terengah, Mitha dan Fanny berhasil sampai di rooftop sekolah. "Sha, jangan!" cegah Mitha. "Ngapain kalian ke sini?" tanya Sesha tanpa mengalihkan pandangannya. "Heh, ya jelas lah kita ke sini, lo gila mau lompat dari sini, gue gak mau ya sekolah kita jadi angker gara-gara lo," ucap Fanny. "Bodo amat!" ucap Sesha. "Jangan kayak begini, Sha, apa yang kamu lakukan tidak akan menyelesaikan masalah," ucap Mitha. "Kalian pergi, jangan ikut campur urusan gue!" ucap Sesha. "Ya udah, Mith, kita pergi aja ngapain kita capek-capek ke sini buat tolongin dia, gak ada gunanya nolongin orang yang bebal kayak gitu," ucap Fanny dengan sengit. "Tapi, Fan...." "Gue gak butuh belas kasihan kalian, pergi!" teriak Sesha. "Heh, gak usah kepedean, siapa yang mau kasihanin lo, kalo lo mau lompat ya lompat aja, atau lo mau gue bantu dorong?" tanya Fanny tak kalah sengitnya. "Fan, kamu kok malah ngomong kayak gitu sih," ucap Mitha. "Lah kan dia yang mau bunuh diri, ya udah gue tolongin dia biar cepet mati, tapi kalo lo mau mati, lo aja sendiri gak usah bawa anak lo mati juga," ucapan Fanny membuat Sesha menoleh kepadanya. "Sha, awas!" teriak Mitha sambil menutup mata dan telinganya. Mitha sangat takut jika Sesha benar-benar jatuh dari rooftop. "Kalian tau kalau gue hamil?" tanya Sesha dengan lirih. "Iya, kita tau, lo tuh ibu macam apa sih, kan lo yang punya dosa, kenapa lo bawa anak lo juga, emang otaknya gak dipake! Udah nanggung dosa zina, sekarang lo mau jadi pembunuh juga!" jawab Fanny. "Pembunuh?" tanya Sesha dengan lirih. "Bener-bener bego nih anak, denger ya nenek lampir, kalo lo nekat terjun dari sini belom tentu lo mati, gimana kalo cuma anak lo yang mati, secara tidak langsung lo bunuh anak lo sendiri kan, lagian lo kepedean banget, emangnya dengan lo bunuh diri semua masalah lo bakalan kelar, enggak kan," jawab Fanny. Lalu dia melirik kepada Mitha dan memberikan isyarat agar Mitha mendekati Sesha diam-diam. "Setidaknya masalah gue di dunia selesai," ucap Sesha dengan lirih. "Hadeuh, ini anak tululnya udah akut ternyata! Sekarang lo mati, terus lo dikubur, belom tentu lo diterima di alam kubur yang ada lo makin sengsara, kalo lo mau mati seenggaknya lo tobat dulu, biar hidup lo di akhirat gak susah susah amat, paham gak lo!" ucap Fanny. "Emangnya lo gak takut ya mati masih bawa banyak dosa?" pertanyaan Fanny membuat Sesha terdiam. "Masih ada kesempatan untuk menjadi lebih baik lagi, Sha," ucap Mitha yang kini sudah tak jauh dari Sesha. "Kalian gak tau gimana hancurnya hidup gue sekarang," ucap Sesha. "Lo pikir cuma lo yang punya masalah gede, gue sama Mitha juga punya, semua orang juga punya masalah, baru dikasih ujian kayak gini lo udah ngeluh, terus kemaren-kemaren waktu lo senang ke mana aja! Songong banget sih jadi orang makanya dikasih teguran juga gak kira-kira, introspeksi diri terus tobat, bukan mikirin gimana caranya mati dengan cepat," ucap Fanny. "Kamu pasti bisa melalui semuanya, Sha, kita akan selalu support kamu," ucapan Mitha membuat Sesha merasa sangat bersalah. Semua memori tentang perlakuan jahatnya kepada Mitha terus berputar di ingatan Sesha, tanpa dia sadari jika dia hampir tergelincir jatuh dari rooftop dan.... "AAA!" "Sesha!" "Mitha!" *** PRAANG "Astaghfirullahal'adzim!" ucap Rania, tangannya sangat licin memegang gelas yang baru saja dia rapikan, hingga jari Rania terluka karena terkena pecahan beling. "Ya ampun, Ibu gak apa-apa?" tanya bibi, nafasnya terengah karena berlari dari halaman belakang. "Gak apa-apa, Bi," jawab Rania. "Udah Bu, biar Bibi aja yang beresin, lagian Ibu kenapa cuci piring, ini kan tugas Bibi," ucap bibi. "Cuma cuci piring, Bi, lagian gak ada salahnya aku bantu meringankan pekerjaan, Bibi," ucap Rania. "Sekarang Ibu istirahat aja, biar Bibi yang lanjutin, muka Ibu juga pucat, Ibu sakit?" tanya bibi. "Enggak, cuma gak tau kenapa perasaan saya jadi gak enak begini, Bi," jawab Rania. "Ya Allah, Bu, apa gelas yang pecah itu adalah pertanda," ucap bibi. "Pertanda apa, Bi?" tanya Rania. "Aduh gimana ya, Bu, bilangnya, semoga gak terjadi apa-apa," jawab bibi. "Bibi jangan bikin saya takut," ucap Rania. "Bukan begitu, Bu, tapi emang biasanya kalau kejadian seperti ini kasih pertanda buat kita, pasti akan terjadi sesuatu," ucap bibi. "Bibi malah bikin saya semakin takut," ucap Rania. "Bismillah aja, Bu, semoga ini cuma kebetulan," ucap bibi. "Iya, semoga...." "Assalamu'alaikum!" "Wa'alaikum salam!" sahut Rania dan bibi bersamaan, ternyata Damar yang datang. "Loh, tangan Bunda kenapa?" tanya Damar, saat dia menyalami Rania, Damar masih melihat ada darah di jari Rania. "Tadi Bunda gak sengaja nyenggol gelas," jawab Rania. "Ya ampun, Bunda hati-hati dong," ucap Damar. "Kamu tumben jam segini udah pulang?" tanya Rania mengalihkan pembicaraan. "Bunda gimana sih, kan tadi pagi Bunda yang bilang kita mau pergi cari cincin buat acara lamaran nanti malam," jawab Damar. "Oh iya, maaf Bunda lupa," ucap Rania. "Bunda sakit?" tanya Damar karena melihat wajah Rania yang pucat. "Enggak, Bunda cuma kecapekan," jawab Rania. "Ya udah, kalau gitu sekarang Bunda istirahat aja, cari cincinnya kalau Bunda udah enakan," ucap Damar. "Gak ada waktu lagi, Damar, Bunda istirahatnya nanti aja sekalian, sekarang Bunda siap-siap dulu," ucap Rania lalu dia segera pergi ke kamarnya. "Bunda gak kenapa-napa kan, Bi?" tanya Damar kepada bibi yang sedang merapikan pecahan gelas. "Katanya perasaan ibu gak enak, Den," jawab bibi. "Emangnya kenapa, Bi?" tanya Damar. "Bibi juga gak tau, Den...." jawaban bibi terhenti karena mereka mendengar ponsel Damar berdering, ternyata Iqbal yang menelponnya. "Assalamu'alaikum, ada apa, Yah?" tanya Damar. "Wa'alaikum salam...." "Astaghfirullahal'adzim, Mitha!" pekik Damar bersamaan dengan Rania yang baru saja kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD