Bab 14: Kamu Hanya Milikku

1115 Words
"Kalung kamu udah diambil?" pertanyaan Iqbal membuat mata Mitha terbelalak dengan sempurna, dan dia semakin gugup, Mitha hanya menggelengkan kepalanya perlahan. "Emangnya tadi kamu gak jadi ke rumah sakit?" tanya Iqbal. "Jadi, Yah, tapi kalungnya udah diambil sama pasien itu, terus pihak rumah sakit gak mau kasih alamat dia, jadinya aku gak tau harus cari ke mana," jawab Mitha. "Ya udah, biar nanti Ayah yang urus," ucap Iqbal. "Maksudnya, Ayah mau cari dia?" tanya Mitha. "Enggak," jawab Iqbal. "Terus?" tanya Mitha. "Rahasia," jawab Iqbal. "Ish... Ayah, kenapa harus rahasia sih," ucap Mitha. "Ya pokoknya begitu deh," ucap Iqbal sambil tersenyum karena dia melihat wajah putrinya yang cemberut. "Assalamu'alaikum," Iqbal dan Mitha menoleh mendengar suara Rania yang baru saja datang dengan ART dan supirnya, mereka membawa banyak sekali belanjaan karena Rania memang habis belanja bulanan. "Wa'alaikum salam," sahut Mitha dan Iqbal. "Yah, Bunda," ucap Mitha berbisik. "Kenapa bisik-bisik sama Ayah?" tanya Rania dengan tatapan memicing lalu melihat leher Mitha. "Kalungnya mana?" tanya Rania. "Belum ketemu, Bun," jawab Mitha dengan lirih. "Kok belum ketemu, katanya mau diambil, kamu bohong ya sama Bunda, padahal kalungnya ilang kan," ucap Rania. "Beneran, Bun, masa aku harus sumpah, kalungnya udah dibawa sama...." "Alasan aja ya, cari lagi kalungnya," ucap Rania. "Bunda, udah dong gak usah marah-marah, kasih Mitha waktu lagi buat cari alamat korban tabrak lari itu, kasihan Mitha kalau terus ditekan kayak begini, lagi pula kalung masih bisa dibeli, kalau nyawa seseorang gak tertolong kita balikin pake apa?" tanya Iqbal. Rania menghela nafasnya dengan panjang, lalu melirik kepada Mitha yang memasang senyuman semanis mungkin. "Udahlah, masa Bunda marah-marah cuma gara-gara kalung, kalau memang masih rejeki Mitha, kalungnya pasti kembali kok," ucap Iqbal lagi. "Iya, iya, Bunda gak marah, tapi tetap harus dicari," ucap Rania. "Beneran, Bun?" tanya Mitha. "Iya," jawab Rania. "Aaa... terima kasih, Bunda!" pekik Mitha lalu dia berhambur ke dalam pelukan Rania, hampir saja Rania terjengkang karena tidak siap menerima pelukan Mitha. "Masya Allah, hampir aja jatuh," ucap Rania. "Hehe, maaf, Bun, bus tayo-nya tiba-tiba pengen tabrak, Bunda," ucap Mitha. "Gak boleh ngomong kayak gitu," ucap Rania. "Iya, iya, maaf Bunda," ucap Mitha. "Sekarang bantuin Bunda beres-beres di dapur," ucap Rania. "Beres, Bun," ucap Mitha. "Ayah mau disiapin camilan?" tanya Rania. "Gak usah, Bun, Ayah mau mandi dulu, gerah banget," jawab Iqbal. "Ya udah," ucap Rania, lalu dia dan Mitha menuju dapur, sedangkan Iqbal menuju kamarnya untuk mandi dan mengganti pakaian. *** Aland masih diam termenung di kamarnya, kali ini dia tersenyum sambil memandang kalung dengan liontin hati yang dia pegang, Aland mendapatkan kalung itu dari Ferdi saat dia baru keluar dari rumah sakit. Kalung yang Aland pegang adalah jaminan dari orang yang menolong Aland agar Aland bisa segera ditangani oleh dokter, Aland yakin jika kalung itu adalah milik wanita yang telah menyelamatkannya, Aland masih mengingat raut wajah panik wanita itu saat dia bicara kepada supir taksi agar segera membawa Aland ke rumah sakit. "s**t!" maki Aland di dalam hatinya. "Hanya memikirkan wajah dia, jantungku berdetak tidak karuan, astaga aku tidak pernah merasakan seperti ini, bahkan saat aku masih menjalin hubungan dengan Giska," ucap Aland lagi di dalam hatinya. Pertunangan Aland dan Giska memang bukan keinginan Aland, tapi Giska yang terus merayu Melinda agar mereka bertunangan dan menikah, sedikitpun Aland tidak mencintai Giska, namun Aland tidak bisa menolak keinginan ibunya tercinta, karena saat ini, hanya Aland harapan ibunya. Aland menghela nafasnya dengan panjang karena teringat dengan adiknya, Aliand, sudah bertahun-tahun Aland mencari di mana adiknya itu tapi belum membuahkan hasil, Aland mendatangi semua panti asuhan, namun hasilnya tetap sama. "Tuan, maaf mengganggu, ini berkas yang harus anda tanda tangani, perihal pembangunan cabang perusahaan klien," ucap Ferdi, dia datang dengan berkas-berkas yang dia bawa. Aland pun mengambil berkas itu lalu membacanya dengan teliti, lalu menandatangi semua. "Proses pembangunannya mungkin memakan waktu lima sampai enam bulan, tapi semoga bisa selesai sebelum tenggat waktu yang ditentukan," ucap Ferdi, lalu Aland mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan kepada Ferdi. Ting Ferdi mengambil ponselnya yang berdering di dalam saku, Aland pun memperlihatkan kalung yang dia pegang kepada Ferdi, dia mengerti apa yang Aland maksud, "Cari siapa pemilik kalung berlian ini!" perintah Aland di dalam pesannya. "Baik, Tuan, saya segera mencari siapa pemiliknya," ucap Ferdi, setelah itu Ferdi pergi. "Mulai sekarang, kamu hanya milikku, tunggu aku menjemputmu setelah aku sembuh nanti." ucap Aland di dalam hatinya sambil tersenyum. Keinginan Aland untuk sembuh semakin besar karena dia tidak sabar untuk bertemu dengan wanita yang sudah menyelamatkan hidupnya. *** Keesokan harinya, seperti biasa suasana sarapan selalu diiringi dengan kegaduhan antara Mitha dan Damar, terkadang membuat Iqbal dan Rania merasa gemas sekaligus kesal. "Bunda tuh liat, masa Abang masukin seledri ke sup aku," ucap Mitha merengek, dia memang sangat tidak menyukai jenis sayuran yang satu itu, menurutnya aroma khas dari daun seledri sangat aneh dan selalu membuatnya mual. "Damar, kamu tuh jail banget sih, udah tau adiknya gak suka seledri," ucap Rania. "Kan biar dia cobain, Bun, aneh aja gak suka seledri," ucap Damar. "Damar!" ucap Iqbal dengan tatapan tajamnya. "Oke, Yah, oke," ucap Damar, lalu menukar sup Mitha dengan yang tidak ada seledrinya. "Habisin, awas ya kalau gak habis, Bunda gak mau masakin lagi," ucap Rania. "Rasain, habisin tuh dua mangkok sekaligus," ucap Mitha, dugaannya salah, niat hati ingin meledek Damar, tapi abangnya itu benar-benar menghabiskan dua mangkuk sup yang ada di depannya. "Abang, berapa tahun gak makan?" tanya Mitha. "Dari SD," jawab Damar. PLAAK Mitha memukul pundak abangnya dengan sangat kencang karena kesal. "Kok dipukul sih?" tanya Damar. "Abisnya Abang rese," jawab Mitha. "Udah gak usah berantem, Bunda heran deh sama kalian, udah pada gede masih aja kayak anak kecil kelakuannya," ucap Rania. "Abang yang mulai, Bun, bukan aku," ucap Mitha lalu mulai menghabiskan sarapannya. "Damar, besok kamu ke perusahaan kontraktor yang menangani pembangunan cabang perusahaan kita," ucap Iqbal. "Kok aku sih, Yah?" tanya Damar. "Emangnya mau siapa lagi, masa Mitha," jawab Iqbal. "Bukan gitu, Yah, maksud aku tuh kan kemarin Ayah bilang kalau aku udah beres kuliah baru ikut mengelola perusahaan, kenapa jadi sekarang," ucap Damar. "Ayah gak mau tau, pokoknya besok kamu harus pergi ke perusahaan itu, mulai sekarang kamu yang mengurus pembangunan itu sampai selesai, kamu harus mulai bertanggung jawab dan disiplin," ucapan Iqbal membuat Damar menghela nafasnya dengan panjang. "Sabar ya, Abang rese," ucap Mitha meledek Abangnya sambil menepuk pelan pundaknya. "Anak kecil diem, jangan ikut campur ya," ucap Damar. "Biarin," ucap Mitha semakin meledek. "Kalian mau terus berantem atau berangkat sekolah!" ucap Rania dengan kesal, sambil menatap tajam. "Ampun, Bun, kita berangkat sekarang, cepetan, Dek," ucap Damar lalu mengambil tasnya begitu juga dengan Mitha. "Heran deh, harus bundanya marah-marah dulu," ucap Rania, setelah Damar dan Mitha berpamitan baru mereka pergi. "Ayah juga berangkat, Bun," ucap Iqbal. "Iya, Yah, hati-hati." ucap Rania.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD