Go Away

1237 Words
Ketika mendengar suara pintu terbuka, Angel langsung terkesiap. Secepat kilat dia merangkak ke arah pintu. Seketika Angel menutup kedua kelopak matanya saat sinar terang menerobos penglihatannya. Perlahan, dibukanya mata itu dan langsung saja bertatapan dengan seorang gadis yang sudah rapi dengan pakaian putih abu-abu. "Aku pikir kau sudah jadi mayat bersama tikus-tikus menjijikkan itu." Monica menyelipkan hinaan di dalam nada suaranya yang terdengar ringan. "Monica.... tolong lepaskan aku. Keluarkan aku dari sini. Aku sangat ketakutan, sepanjang malam tak sedetikpun kedua mataku tertutup. Tolong aku Monica." kedua telapak tangan Angel menyatu di depan d**a, sambil bersujud di kaki Monica, Angel menangis tersedu. Monica menunduk dengan senyum miring, tanpa rasa kasihan dia menjambak kuat rambut Angel hingga berdiri di hadapannya. "Mo..Monica.... sakit. Tolong... lepaskan tangan mu." rintihan kesakitan lolos dari bibir Angel bercampur derasnya air mata. "Sakit katamu? Kau yang membuat ku untuk menyakiti mu Upik Abu. Beraninya kau mengabaikan perintah ku! Kau pikir siapa dirimu hah?!" sebelah tangan Monica melepas paksa perban yang menutup luka di dahi Angel. Langsung saja, Angel meraung kesakitan saat ibu jari Monica menekan bekas lukanya hingga kembali berdarah. Rasanya begitu sakit, bahkan kata sakit tidak mampu melukiskan bagaimana perasaan Angel saat ini. "Aku... aku... tidak mengerti apa maksud mu. Aku benar-benar bingung, aku sama sekali tidak mengetahui dimana letak kesalahan ku padamu." dengan menggit bibir kuat Angel berusaha menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. "Apa kau bilang? Kau bingung! Kau tidak mengerti!" Monica melotot tajam pada Angel yang terus saja menangis. "Bukankah sudah ku peringatkan untuk menjauh dari kehidupan William? Tapi kau dengan santainya malah berkencan dengannya. Aku sudah pernah bilang bukan? Aku akan menambah lukamu jauh lebih parah dari luka di dahi mu ini jika kau berani mengabaikan perintah ku. Sekarang, terima upah keberanian mu." Monica menyeret tubuh Angel dengan kasar menuju kamar mandi. Angel berusaha melepaskan diri namun, tubuhnya begitu lemah. Sejak tadi malam, perut Angel belum diisi apapun. "Monica... jangan Monica. Aku tidak mau, lepaskan aku Monica. Aku mohon ampun! Aku berjanji akan menjauh dari William. Tapi tolong lepaskan aku!" Rentetan kalimat ketakutan terlontar dari bibir Angel. Derasnya air mata bahkan mampu mengalahkan langit yang juga turut menangis pada saat itu. Angel menjerit-jerit tertahan ketika darah segar mengalir di pelipisnya. "Diam! Suaramu membuatku pusing!" Monica mendongak paksa wajah Angel ke arahnya. "Sekarang kau baru menuruti perkataan ku, kemana saja kau dari kemarin? Tapi maaf cantik, aku tidak punya pengampunan lagi padamu!" disaat tangan Monica memutar kenop pintu kamar mandi, di detik itu pula Rose bersuara. "Hentikan sayang. Lepaskan dia, kau sudah terlalu lama mengotori tanganmu dengan tubuh kotornya. Cukup sampai disini, dia bisa mati jika lukanya tidak segera di obati." ujarnya dingin. "Apa ibu mulai menaruh sebuah rasa asing pada gadis sialan ini!" Monica mendesis tajam. "Jangan konyol, ibu masih normal. Aku hanya tidak ingin dia cepat mati, tenaganya masih sangat kita butuhkan. Selain itu, aku juga belum puas membuat hidupnya menderita. Lepaskan saja dia, kita masih punya hari esok dengan alur cerita yang sama." Rose melempar tatapan menghina pada Angel. Seringai miring terlukis di wajah Monica. "Kau benar ibu, si Upik Abu ini tidak boleh mati terlalu cepat. Kematian terlalu indah baginya." sahutnya, mendorong tubuh Angel hingga tersungkur di atas lantai. Monica melangkah ringan bersama Rose meninggalkan Angel berteman tangis sendirian. Angel mengusap kepalanya, dan betapa terkejutnya dia ketika melihat helaian rambut yang begitu banyak tertinggal di sela jemarinya. Angel terkesiap saat tetesan darah mulai jatuh mengenai pakaiannya. Dibawanya kedua mata itu untuk mengintip ke arah luar yang masih saja dipenuhi tetesan air hujan. Perlahan, Angel bangkit menuju dapur. Lukanya harus kembali ditutup, dia juga tidak ingin terlambat ke sekolah. Sepanjang Angel mengobati lukanya, tak sedikit pun dia terpusat akan itu. Pikirannya hanya dipenuhi seluruh perkataan Monica. William, satu nama yang berhasil menerobos masuk ke dalam hatinya tanpa izin, satu nama yang membuat dirinya merasa dicintai, satu nama yang mengisi kisahnya akhir-akhir ini, haruskah juga terenggut paksa oleh ketidakadilan? Lalu, bagaimana dengan si pemilik hati yang sudah mulai terbiasa, haruskah melepaskan padahal belum memiliki? Kenapa hati begitu sakit, saat logika menyuruh untuk mundur. Liam, adakah alasan bagiku untuk tetap mempertahankan mu? Bagaimana aku menghadapi hari esok ketika kau tak lagi mengusik hidupku. Katakan padaku, mana yang harus ku pilih. Tepat jarum pendek bertengger di angka 7 dan jarum panjang di angka 12, Angel sudah sampai di sekolah. Suasana masih begitu sepi, hanya terlihat beberapa siswa disana. Seperti hilang akal, Angel berjalan dengan tatapan kosong, kedua matanya masih terlihat sembab. Langit tak lagi menangis, perlahan awan gelap mulai bergeser dari tahtanya. Hanya saja pagi itu begitu dingin, teramat dingin bahkan mampu menembus tulang. Meskipun begitu Angel sama sekali tidak merasakannya, dia sudah seperti mati akan semua rasa. Kaki Angel terus saja melangkah hingga tiba di atap. Dengan termenung, Angel membiarkan angin mengibaskan rambut sepunggungnya. Lagi, sungai-sungai kecil mengalir deras semakin lama semakin deras hingga mengeluarkan suara tangisan penuh kepedihan. Nafas Angel bahkan tercekat saking lamanya menangis. Lama bertarung dalam air mata, tiba-tiba Angel merasakan kehangatan di balik punggungnya. "Bagaimana aku harus mengatakan ini, tapi, jantungku seperti teriris belati saat melihat mu menangis. Bisakah kau berhenti menangis? Aku... tidak sanggup mendengarnya." entah sejak kapan William berada disana, Angel pun tidak tahu. Hanya saja, suara yang seperti bisikan itu mampu menembus sudut hatinya. Angel terpaku, walau dengan nafas tersengal-sengal, dia tetap berusaha untuk membuka mulutnya. "Aku... aku tidak bisa Liam, karena sejak ayah ku meninggal air mata sudah seperti sahabatku sendiri. Saat bahagia aku meneteskan air mata bahkan sampai hari ini pun ketika aku terluka tidak ada yang lebih mengerti diriku selain air mata. Lantas, bagaimana mungkin kau menyuruh ku untuk berhenti menangis sementara seluruh kisah hidupku dipenuhi oleh tangisan?" William menatap lama, dengan penuh keberanian tangannya terulur menghapus tetesan air mata di wajah Angel. "Apakah aku terlalu lancang jika bertanya ada apa?" tanya William hati-hati. Mendengar itu, tangis Angel kembali pecah. Hatinya begitu tersentuh saat mendengar nada khawatir dari seseorang. Selama ini, dalam hidup Angel hanya Robby dan Salsa yang dekat dengannya, itupun Angel akan selalu menyembunyikan rasa sakitnya dari mereka. Dia tidak tega berbagi beban hidup dengan kedua orang itu. Namun, kali ini, Angel tidak meminta tidak juga berseru, tapi William datang mengulurkan tangan padanya. "Apakah kau mau mendengarkan ku?" Angel membalas dengan pertanyaan. William tersenyum manis. "Bicaralah, aku akan mendengarkan mu." Angel meredam tangisnya sekuat tenaga sebelum kemudian berujar. "Liam, aku... terjebak dalam getirnya kehidupan. Aku... aku ingin berlari jauh tapi tidak ada tempat untuk ku bersembunyi. Aku bahkan ingin mengakhiri kisah hidup ku yang menyakitkan ini tapi takdir seakan tidak memberi ku izin. Lalu, ditengah putus asa ku, takdir mempertemukan kita berdua. Aku sempat berpikir bahwa kau adalah tempat ku bersembunyi jika aku berlari jauh nanti namun, tak ku sangka takdir kembali menunjukkan kehendaknya. Aku harus melepaskan mu, melepaskan mu yang belum sempat ku miliki." di kalimat terakhir air mata Angel lolos membasahi kedua pipinya. Mendengar itu, langsung saja kedua matanya melebar. "Apa.... maksudmu." kertak gigi William mulai terdengar. Tanpa rasa takut Angel mengambil tangan William lalu menggenggamnya. Angel mengangkat wajah hingga membuat pandangan mereka bertemu. Sebisa mungkin Angel berusaha mengukir senyum terbaiknya. "Liam.... pergilah. Pergi jauh dari hidupku, duniaku begitu gelap dan menyakitkan. Jangan singgah karena ada banyak luka disana." Yang mewek boleh kasih komentar... ingat yah say ini genre Romance Thriller. Tenang, akan ada saatnya jadi Bloody Romance. Oh terimakasih yah buat yang sudah baca dan tap love.... semoga part ini suka Hihihi kasih dukungan say?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD