New Student

1646 Words
"Don't trust everything you see, event salt looks like sugar." "Angel!" panggil seorang pria dari balik punggungnya. Angel membalikkan badan saat mendengar namanya dipanggil. Seorang pria berlari menghampirinya dengan peluh yang sudah membasahi dahinya. Dia terlihat sangat lelah seperti baru selesai lari maraton. "Ada apa gendut?!" tanya Angel ketus, memberi tatapan datar pada pria itu. "Robby Angel cantik, Robby. R-O-B-B-Y. jelas pria gendut itu mengeja namanya dalam bahasa Inggris. Robby Mahendra, sahabat sekaligus teman sekelas Angel. Sebenarnya dia cukup tampan, wajahnya putih mulus, bibirnya berwarna merah delima, matanya coklat terang. Hanya saja, dia memiliki gumpalan lemak jahat di seluruh tubuhnya, terkhusus dibagian depan yang membuat dirinya terlihat seperti membawa sebuah drum besar setiap saat. "Bukankah kau gendut?!" Angel menahan diri supaya tidak tertawa, wajah lucu Bobby terasa menggemaskan. "Tapi aku tampan!" seru Robby membela diri, terkadang kejujuran Angel begitu menjengkelkan. "Terserah padamu." Angel membalas dengan nada dingin dan datar, dia semakin mempercepat langkahnya. "Angel tunggu aku!" seru Robby berlari mengikuti langkah Angel dari belakang hingga mereka berjalan beriringan. "Selamat ulang tahun." Robby menelan ludah susah payah saat mengucapkan sepenggal kalimat itu, pasalnya Angel sangat tidak menyukai sesuatu yang berhubungan dengan hari spesialnya. Sejenak Angel tertegun, tak bisa dipungkiri hatinya tersenyum pedih mengingat hari ini. "Terimakasih." Ujarnya kemudian dengan nada lemah. "Apa kau tidak bisa bicara lebih dari 5 kata? tak ingin larut dalam kesedihan Robby sengaja mengalihkan pembicaraan mereka. Angel diam, dia terus melangkah tanpa menghiraukan rengekan sahabatnya itu. Dia memasuki ruangan yang bertuliskan XII IPA-1. Dia mendekati mejanya lalu mengeluarkan buku dari dalam lacinya. Robby masih terus mengikuti Angel seperti orang bodoh, dia tidak berani bersuara. Dia sangat mengenal Angel, diam adalah dunianya. Itu sebabnya, Angel sering dipanggil kulkas berjalan. Robby duduk saat melihat Angel sudah duduk disebelahnya. "Apa kau tahu, hari ini kita kedatangan murid baru?" tanya Robby mulai bersuara. Angel menatap dingin kearah Robby. "Aku tidak mau tahu." balas Angel. Dia mulai sibuk dengan buku dihadapannya, baginya buku lebih penting dari kabar konyol itu. "Dia dari London." sambung Robby lagi. Pikirannya mulai menerawang akan indahnya kota London, kota impiannya sejak kecil. Angel tetap bungkam, matanya terfokus pada tulisan-tulisan yang di hadapannya. Robby menatap kesal sikap dingin Angel, dia lalu menutup bukunya lalu menyembunyikan di belakangnya. "Kembalikan." kata Angel mencoba meraih bukunya dari pria itu. "Aku tidak mau." balas Robby semakin menjauhkan buku itu dari jangkauan Angel. "Robby." peringat Angel. Dia memasang wajah datar seperti biasanya. "Apa kau tak punya wajah lain selain datar, Angel?!" tanya Robby. "Aku tidak tahu bagaimana caranya lagi menutupi lukaku selain menyembunyikannya di wajah datarku Robby." ucap Angel pelan tersirat kepedihan. Meskipun begitu, dia masih bisa mengukir senyum tipis di wajah cantiknya. Robby terdiam melihat senyum di wajah cantik Angel. Dia menyelami manik hitam itu dengan manik cokelatnya, tidak ada selain luka disana. Manik hitam itu benar-benar terluka, menyimpan berbagai kesedihan, kesepian bahkan penderitaan. Robby sangat ingin menghapus luka itu, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya. Robby memutus pandangannya dari wajah Angle, saat sebuah suara nyaring mengalun di telinganya. Suara itu milik ibu Annisa, seorang guru fisika. Semua orang sangat takut padanya, disiplin adalah motto hidupnya. Baginya, pintar tapi tak berattitude adalah omong kosong. "Selamat pagi anak-anak, hari ini kita kedatangan murid baru." kata ibu Annisa tanpa menunggu balasan sapaannya. Langsung saja, para siswa berteriak heboh, rasa penasaran mulai mengisi benak mereka masing-masing. Berbeda dengan Angel, dia tetap setia memasang wajah datar, sama sekali tidak peduli. "Masuklah!" perintah ibu Annisa pada seseorang yang berdiri di luar pintu. Keheningan mulai memenuhi ruangan itu seketika, tak ada sedikitpun suara terdengar. Angel mengerutkan keningnya, dia mengangkat wajahnya lalu melihat satu per satu teman sekelasnya, mulai dari sisi kiri, kanan bahkan memutar setengah punggungnya menoleh kebelakang. Semua siswa membuka mulutnya lebar, sepasang bola mata mereka membola, ada yang menutup mulutnya dengan telapak tangan, ada juga diantara mereka seperti ingin meneteskan air liurnya. Angel menoleh pada Robby yang berada di sebelahnya, dia juga sama seperti lainnya. Mulutnya menganga lebar seperti mendapat undian berhadiah jutaan rupiah. Tiba-tiba sebuah suara yang tak asing terdengar dari arah depan. "Aku.....William." deg Suara itu? batin Angel. Perlahan tapi pasti, Angel mengarahkan pandangannya kedepan, langsung saja raut wajahnya berubah panik. Disana, pria itu, pria yang baru saja ditemuinya, sedang berdiri dengan senyum manisnya. Manik birunya menatap lekat kearah Angel seakan tak ingin melepaskan walau sedetik pun. Angel mengangkat sebelah alisnya, dengan berani dia balas menantang tatapan pria tampan itu dengan kening berkerut dalam. Suasana yang tadinya hening, tiba-tiba berubah jadi pasar malam. "Wah, tampan sekali." "Ya, ampun bule nyasar!" "Damn, he's sexy". "Peluk ade bg?!" " Thom Cruise sayang". Dan masih banyak hal gila lainnya, Angel menggeleng pelan, dia kembali menatap buku di hadapannya. Sama sekali tidak tertarik dengan kehadiran pria perawakan bule itu. Dasar manusia-manusia aneh. Batin Angel. "Duduklah, kau bisa duduk di belakang Angel!" perintah ibu Annisa menunjukkan bangku di belakang Angel yang masih kosong. Tanpa membalas perkataan ibu Annisa. William mulai berjalan menenteng tas punggungnya. "Dia berjalan kemudian berhenti tepat di samping Robby. "Pindah." perintahnya tegas dengan nada mengancam. Angel tersentak, dia lalu mendongak menatap asal suara yang terdengar jelas ditelinganya. "Kau mengatakan sesuatu?" Angel membeo seperti orang bodoh, pura-pura tidak mengerti arah pembicaraan William. "William mengangkat sebelah alisnya. "Pindah... itu yang ku katakan. Apa kau sudah mendengar dengan jelas?" sindirnya kemudian. "Tidak mau!" satu kalimat yang terlontar dari mulut Robby sontak membangunkan singa tidur di dalam jiwa william. "Aku tidak suka mengulang kalimatku." desis William tajam, menahan amarah yang mulai muncul di permukaan. Semua orang yang memujanya seakan hilang ditelan bumi, bukan tatapan kagum lagi yang ada dimata mereka melainkan ketakutan. Dalam sekejap, mereka kompak menundukkan kepala menyembunyikan rasa takut saat William terlihat seperti monster yang siap menerkam mangsanya. Angel menyipitkan kedua matanya, menatap jengkel William yang balik menatapnya. "Biar aku yang pindah, kau bisa duduk ditempatku." dengan sangat terpaksa Angel memilih untuk melunak. Dia sangat membenci keributan. Tanpa menunggu lama lagi, Angel langsung merapikan buku-bukunya. "Aku tidak menyuruhmu!" teriak William dengan d**a naik turun pertanda emosi yang memuncak hingga membuat Angel memekik kaget. "Jangan berteriak, aku membencinya." Angel menatap marah William yang dengan tanpa perasaan menyebarkan rasa takut bagi semua orang. Matanya bergerak liar melirik sekilas manusia yang masih menunduk takut bahkan ibu Annisa juga melakukan hal yang sama. "Suruh dia pindah atau aku akan menghancurkan seluruh sekolah ini." William berujar tajam dengan nada mengancam, tak peduli bahwa mereka sudah menjadi tontonan gratis. Sementara itu, Robby sudah sangat ketakutan di tempatnya, tanpa menunggu lama lagi, dia segera beranjak meninggalkan tempat duduknya. "Apa yang kau lakukan Robby?" Angel berseru kencang yang hanya dibalas kebungkaman. William tersenyum miring. "Biarkan saja, dia sudah melakukan yang benar." ujarnya santai lalu mendaratkan bokongnya. Angel masih diam menatap wajah pria disampingnya, sesekali dia mencuri pandang kearah ibu Annisa. Sayangnya, ibu Annisa sama sekali tidak berkutik di hadapan pria ini. "Duduklah!" perintah William. Angel masih diam dan tak terusik sama sekali. Dia mengepalkan kedua tangannya. "Apa kau tuli?" tanya William mendongakkan wajahnya ke arah Angel yang masih berdiri seperti patung. Kekesalannya sudah melampaui batas normal, tak sabar lagi, dengan sekali tarikan, William mendudukan Angel secara paksa. "Apa yang kau lakukan b******k!" sambil meringis Angel menatap benci William yang duduk santai di sampingnya. "Tutup mulutmu, jangan berani mengumpat padaku." balas William datar, tak tersentuh sama sekali dengan wajah kesakitan Angel. "Beraninya kau menyakiti ku!" Angel tak habis pikir melihat kelakuan William yang bersikap layaknya manusia tanpa perasaan. William tersenyum miring. "Bukan menyakitimu, tapi menyukaimu."sahutnya kemudian. "Dasar k*****t sinting!" lagi, sikap William yang acuh tak acuh berhasil membangunkan sisi lain Angel yang tak pernah ditunjukkan pada siapa pun. William hanya menoleh sebentar sebelum kemudian dia kembali berujar. "Apa... tontonan gratisnya belum juga usai?" sindirnya sinis, sontak membuat Anisa tersentak kaget. "Ba... Baiklah, mari kita mulai." Anisa terbata-bata kemudian memulai tugasnya, saat berbalik Annisa menghela nafas lega. Sementara Angel terdiam membiarkan pikirannya berkelana sendiri mencari jawaban dari beribu pertanyaan yang sudah singgah di benaknya. Siapa sebenarnya William ini? Kenapa dia begitu ditakuti? Angel membatin. Keheningan menyapa sekelompok manusia yang tengah serius menatap ke arah depan, sepanjang pelajaran berlangsung, Angel benar -benar tidak fokus. Dia benar-benar risih saat mendapati William tengah menatapnya. Pria itu memilin-milin rambut Angel dengan jarinya, sesekali dia juga mengusap lembut kepala Angel. Semua itu tidak luput dari perhatian ibu Anisa, dia hanya menatap datar lalu melanjutkan pelajaran. "Bisakah kau berhenti menggangguku?!" geram Angel tertahan tanpa mengalihkan tatapannya dari papan tulis. "Kau sangat cantik." William menumpukkan wajahnya di atas meja, menatap menggoda wajah cantik Angel "Berhentilah menggangguku, aku harus belajar. Aku tidak ingin beasiswaku dicabut." pinta Angel lirih mencoba memberi pengertian pada William. "Coba saja jika mereka memiliki nyawa cadangan." William memang berujar ringan tapi diujung kalimatnya terselip nada mengancam yang pasti. Angel menghela nafas kasar, sama sekali tidak tertarik dengan celoteh ringan William. "Liam, ku mohon." ujarnya lagi dengan memelas. William seketika menghentikan kegiatan tangannya di rambut Angel. "Liam? Menarik, aku menyukainya." Angel mengeleng kepala pelan, tak ingin memperpanjang perdebatan mereka dia lebih baik memilih untuk berdiam diri. "Angel, apa boleh aku memanggilmu Ella? tanya William tiba-tiba memandang penuh harap. Angel mengangkat sebelah alisnya. "Terserah padamu." singkat, jelas dan dingin tapi mampu membuat William tersenyum bahagia. "Benarkah? Apa aku boleh memanggilmu Ella?" seperti seorang anak kecil yang mendapat kado William berbinar-binar ketika mendapat persetujuan dari Angel. "Aku kan sudah bilang terserah mu, berhentilah menggangguku." Angel hampir putus asa menghadapi tingkah konyol William. Mendengar nada kesal Angel, William semakin melancarkan aksi menggodanya. "Ella?" panggilnya lagi. "Apa lagi?" Angel berujar malas sembari memutar jengah kedua bola matanya. Lagi, William selalu berhasil mengusik ketenangannya. Angel menatap was-was, rasa penasaran menyeruak di dadanya saat melihat tatapan lekat William, hingga sebuah kalimat yang tak pernah terduga olehnya membuat tubuhnya membeku. "Apa kau mau menjadi kekasihku?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD