First Met

1449 Words
"People change so fast, yesterday they cared, today they don't." Ready for Liam and Angel story? Happy reading guys. A few years ago. Byurrrrrr..... Aku terbangun dari mimpi indahku saat sesuatu yang dingin menyentuh wajahku. Aku terduduk dan langsung meraup nafas sebanyak mungkin, dadaku terasa sesaat saat air itu masuk melalui celah hidung, tanganku bergerak untuk mengusap wajahku. Baru saja nyawa ku terkumpul perlahan-lahan, suara teriakan nyaring tiba-tiba menyapa pendengaran ku. "Bangun sialan! Dasar sampah!" teriak seorang gadis lalu beranjak keluar. Blam.......!!! Suara pintu tertutup kembali membuatku berjengkit kaget, ku arahkan mataku melirik kearah nakas. Aku menghela nafas pelan lalu membuka selimut, tiba-tiba mataku terpatri pada sebuah kelender kecil bercentang merah yang bertengger di meja belajarku. Hari ini, adalah hari ulang tahunku. Aku beranjak mengambil kelender mini itu, mengelusnya sebentar, sebelum sebulir air mata jatuh tepat ditanda merah itu. Aku mengusap wajahku yang sudah basah akan air mata, seperti biasa tidak ada yang istimewa di hari ini. Sejak kematian ayahku beberapa tahun lalu, hidupku berubah sepenuhnya, tidak ada lagi tawa yang ada hanya kesedihan dan penderitaan. Aku meletakkan kalender mini ketempat semula, ku gulung rambut hitam sebahu lalu melangkah ke dapur melakukan rutinitas seperti biasa. Upik abu, aku tidak jauh berbeda dengan dia, hanya saja dia berada di dunia dongeng sedangkan aku di dunia nyata. "Apa kau sedang bersemedi di dalam kamarmu?!" seru seorang wanita paruh baya saat melihatku mulai menuruni anak tangga. "Maafkan aku." ujarku datar tanpa menoleh ke arahnya. Pagi ku sudah terbiasa bersambut teriakan, setidaknya itu lebih baik dari sekujur luka di tubuhku. "Jangan lupakan satu hal, ayahmu sudah mati. Kau bukan tuan Puteri lagi disini." kata wanita itu sinis lalu meninggalkanku seorang diri. Aku hanya diam, ku mulai ritual pagiku mengolah berbagai bahan dapur ini menjadi berbagi jenis makanan. Namaku Angela Gabriella Rivano, hari ini aku berusia 17 tahun. Orang bilang usia 17 tahun adalah usia yang paling menyenangkan, di usia itu, para remaja yang mulai beranjak dewasa akan mulai jatuh pada pesona lawan jenisnya. Para dewasa awal akan menjalin hubungan lain selain persahabatan. Itulah mengapa di 17 tahun disebut sweet seventen karena banyak hal yang manis terjadi di usia itu. Tapi tidak bagiku, aku tidak berani bermimpi sejauh itu. Bagiku hidup hanya sebatas hidup, aku hanya perlu berjuang sampai alam memanggilku kembali. Tidak ada yang ku inginkan di dunia ini selain bertemu kembali dengan ayah. Selain itu, aku seorang siswi di salah satu sekolah menengah atas terbesar di Jakarta. Aku punya seorang kakak perempuan bernama Monica Rivano dan ibuku bernama Rose Sisylia Rivano. Ayahku bernama Ben Abraham Rivano, sayangnya ayahku sudah terlebih dahulu sejak usiaku 10tahun. Sejak saat itulah Tuan Puteri berubah menjadi Upik Abu. "Hey Angel?!" panggil seorang gadis, siapa lagi kalau bukan Monika. "Ada apa?" tanya Angel sambil melepas celemek yang menempel ditubuhnya sedari tadi. "Kerjakan PR ku! Aku meletakkannya di atas meja belajarku." perintah Monica tak terbantah. "Aku tidak mau, tulisan kita nanti sama. Aku tidak ingin dimarahi guru." tolak Angel cepat mencoba memberi pengertian. Tiba-tiba Angel merasakan sakit di kepalanya, Monika menjambak surai hitamnya dengan kuat. "Apa kau mulai menantangku?!" geram Monica semakin memperkuat tarikan tangannya di rambut Angel. "M-monic, s-sakit." ringis Angel sembari mencoba melepas tangan Monica dari rambutnya. Rasanya benar-benar sakit. Monica melepas jambakannya hingga helaian surai hitam itu menempel di sela-sela jarinya. "Jangan lupa diri Angel, kau hanya sampah. Cepat kerjakan! kita beda kelas, meskipun gurunya sama, dia tidak sepintar itu bisa mengenali tulisanmu." kata Monika berlalu meninggalkan Angel yang masih meringis kesakitan. Angel menyentuh bekas jambakan Monica, rambutnya rontok berserakan di bajunya. Angel menepuk-nepuk bahunya membersihkan helaian rambut yang menempel di bajunya. selalu seperti ini, kapan ini akan berakhir. Angel menaiki gundukan anak tangga, dia mengambil buku PR Monica lalu buru-buru mengerjakannya saat dilihat matahari mulai menampakkan sinarnya. Angel mamatut dirinya di hadapan kaca, dia sudah berpakaian lengkap. Wajahnya berseri-seri mengingat bahwa hari ini dia sudah sebulan menjadi siswi kelas 3 menengah atas. Meskipun usianya tergolong muda namun Angel memiliki otak yang cerdas bahkan IQnya berada di atas rata-rata. Setidaknya Tuhan masih menitipkan harapan di atas deritanya. Angel mengambil sebuah bingkai photo di atas meja riasnya, seorang pria tampan dan gadis mungil tertawa bahagia didalam sana. Angel mengelus photo itu dengan ibu jarinya, ingatannya melayang pada peristiwa beberapa tahun lalu. "Ayah, apa malaikat itu ada? tanya gadis kecil itu dengan bibir mungilnya. "Tentu ada sayang, malaikat itu adalah angel." jawab pria itu seraya mencubit pelan pipi tembam Angel. "Benarkah? Jadi, Angel adalah malaikat? Horeee... !! Aku malaikat! Aku malaikat! Ayah, Angel malaikat! serunya dengan riang hingga membuat Pria itu tak kuasa menahan tawa bahagia melihat tingkah gadis kecilnya. Angel tersenyum pedih mengingat potongan kenangan manis mereka dia membawa bingkai photo itu kedalam pelukannya. Aku sangat merindukan ayah, benar-benar merindukan mu. Tak ingin berlarut dalam kesedihan, Angel segera mengambil tas punggungnya bersiap untuk berangkat sekolah . Kaki mungil Angel menuruni anak tangga rumah dengan cepat. Dia tidak ingin terlambat kesekolah. "Jangan lupa bayar uang kontrakan rumah!" Rose menodong Angel dengan nada marah, yang seketika menghentikan langkahnya, Angel berbalik perlahan. "Bukankah aku sudah memberikannya pada ibu?" tanya Angel lirih. "Uangnya sudah habis! Ibu dan Monica kan harus perawatan, kami tidak ingin punya kulit sepertimu." tanpa rasa bersalah sedikitpun kalimat itu meluncur sempurna dari mulut Rose. Monica tersenyum miring, dia mendekati Angel lalu berbisik di telinganya. "Kau itu jelek, dan Men-ji-jik-kan." ujarnya menekan kata terakhir. Angel tidak menanggapi hinaan Monica, baginya hinaan itu sudah seperti pelengkap paginya. "T-tapi Bu, Angel tida..... PLAK...!!!! Belum sempat Angel menyelesaikan kalimatnya, sebuah tangan mendarat di wajahnya. Angel meringis kesakitan, wajahnya terlempar kesamping. "Apa kau sudah bosan hidup?!" Rose menggeram marah, matanya melotot seperti ingin menelan Angel hidup -hidup. "Baiklah Bu, aku akan membayar kontrakan rumah." balas Angel dengan nada datar. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri, dia tidak akan menangis di hadapan mereka yang menindasnya. Air matanya terlalu berharga untuk itu. Dia lalu berjalan keluar meninggalkan kedua anak dan ibu itu. Angel mengayuh sepedanya, dia ingin segera sampai ketempat yang membuatnya nyaman. "Dasar bodoh." gumam kedua wanita itu bersamaan, suara tawa kemenangan terdengar dari mereka. Angel termenung diatas atap sekolahnya, dia meraba pipinya yang masih meninggalkan rasa panas. Sakit di pipinya tidak sebanding dengan sakit hatinya. Angel melepas nafas lelah perlahan, mengusir kesedihan yang menghinggapi benaknya. Dia lalu menutup mata, merentangkan kedua tangannya, menikmati hembusan angin di wajahnya . Hembusan angin itu menerbangkan rambut hitam sebahunya kesana kemari, hingga menutupi wajah cantiknya. Kesenangannya terganggu ketika mendengar sebuah suara berat dan seksi dari sisi kiri. "Katakan pada angin, jangan bertiup terlalu kencang. Aku tidak ingin wajah cantikmu tertutupi rambut indahmu." kata seorang pria yang memakai seragam seperti Angel, matanya tak lepas menatap lekat wajah Angel dari samping. Angel menolehkan kepalanya, manik hitamnya bertubrukan dengan manik biru pria itu. Dia mengamati pria itu dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Tampan. batin Angel berbisik. Wajahnya perawakan bule, hidungnya mancung, bibir bawahnya sedikit tebal menambah kesan seksi, sepasang mata biru nan tajam yang dapat membuat siapa saja terpesona dalam keindahan. Angel larut dalam amatannya, hingga suara itu kembali menyadarkannya. "Apa aku segitu mempesona nona?" Ujar si pria tersenyum menggoda sembari mengerlingkan sebelah matanya. Angel mengubah raut wajahnya kembali datar, dia lalu mengembalikan pandangannya seperti semula. "Who are you?" tanyanya kemudian tanpa menoleh kearah pria itu. "Tatap aku saat bicara, nona." si pemilik manik biru merasa tersinggung melihat tingkah konyol gadis cantik di sampingnya, kali pertama selama hidupnya melihat gadis berpaling dari ketampanannya. Angel bungkam, tanpa menghiraukan pria disampingnya. Dia segera beranjak dari atap sekolah, berjalan menjauh dari pria itu. "Selamat ulang tahun." langkah Angel terhalang sesaat setelah pria itu mengucapkan sepenggal kalimat yang membuat kinerja jantungnya berkali-kali lipat. Angel membalikkan badan. "Siapa kau?" tanyanya kemudian, menatap heran lawan bicaranya. "Aku? Aku adalah sseorang yang akan selalu hadir dalam hidupmu." ujar si pemilik mata biru santai dengan mengukir senyum manis menampilkan deretan gigi putihnya yang berjejer rapi. Mendengar kalimat bualan pria itu, Angel tak menanggapi sama sekali. Dengan santai dia berbalik melanjutkan langkahnya, sebelum kemudian sebuah suara yang sama mengurungkan niatnya kembali. "Selamat hari ulang tahun Angela Gabriella Rivano...." seringai licik terpatri jelas di wajah pria bermata biru. Deg deg deg !!!!! Angel tersentak kaget, kegelisahan mendadak menggerogoti benaknya, punggung Angel menegang. Jantungnya berdegup kencang seakan ingin meloncat keluar. Satu kata yang dapat menyimpulkan semua yang dirasakan Angel saat ini, ketakutan. Tanpa pikir panjang lagi, Angel berlari kencang menjauh dari pria aneh itu. Pikiran buruk mulai menghantuinya, menjauh adalah cara terbaik menyelamatkan diri saat ini. Selepas kepergian Angel, pria itu tersenyum miring melihat Angel berlari ketakutan. "Menarik."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD