Meet Again

1689 Words
"People don't meet by accident. They are meant to cross our path. Either become blessing, or become lesson." Tap... tap... tap.... Bunyi sepatu menapaki lantai begitu mencekam mengisi keheningan. Seorang gadis bermandikan keringat tengah menahan nafas di balik kegelapan. "Ella?.........." "Ella?........." "Sayang?....." "Aku datang......" "Ella?.........." "Cin-de-rel-la?..........." Suara lembut mengerikan menusuk kalbu, menembus jantung Ella tatkala sepasang telinga menyambut. Ketukan sepatu yang menggema menghantarkan getar takut tak terkendali. Ella meringkuk seorang diri di sudut ruangan gelap dan kotor, bersembunyi memohon harap pada Sang Pemilik Hidup. Tubuh mungil tak kuasa menahan gejolak jantung yang semakin liar berdendang. "Aku mohon selamatkan aku." Ella merapal kalimat itu berulang kali. Pada siapa lagi dia memohon kalau bukan padaNya, takdir hidup yang menyakitkan membuat dirinya harus terikat dengan sosok pria itu. "Sayang, aku mendengar suara tangis mu. Kau menangis?" Pria itu berujar dengan melemah, menyentak sekujur tubuh Ella yang membeku. Dengan cepat, telapak tangan Angel membungkam mulutnya menyembunyikan isak tangis. "Jangan menangis, aku disini. Keluarlah, aku tidak akan menyakitimu." Suara lembut bernada mengancam pria itu membuat Ella semakin meringsut. "Ella, kau lari dari ku dan itu membuatku marah. Kau tidak boleh meninggalkan ku, sama sekali tidak boleh. Kau harus tetap berada disisi ku." sedetik kemudian tangis pria itu pecah mengisi ruangan gelap dan mencekam, Ella menggigit bibirnya kuat menahan suara tangis ketakutan yang hampir lolos. "Baiklah, permainan selesai. Aku sudah bosan bermain." derap langkah kaki mengancam kembali terdengar, Ella berubah waspada, dia semakin menenggelamkan diri di kegelapan. Ella tiba-tiba terkesiap tatkala telinganya menangkap kesunyian, dengan perlahan dia menjulurkan kepala mengintip cahaya kecil di ruangan itu. Detik itu juga jantungnya seakan lepas mendapati sepasang manik biru menatap tajam dirinya, pandangan mereka bertemu. "Mau kemana sayang." Seringai menakutkan terpatri di wajah pria itu. Ella tak kuasa menahan tangis, dengan berderai air mata dia menggelengkan kepala kuat ketika manik hitamnya mengedik ke arah belati yang sudah berlumur darah. "Jangan bunuh aku, ku mohon jangan lakukan itu." Desakan air mata bertubi-tubi tak lagi bisa dibendung membasahi pipinya. "Ssttttt.... Air matamu menyakiti ku." Sebuah jemari panjang menghapus derai air mata di wajah Elena, bunyi ketukan belati yang beradu di lantai membuat Ella lagi-lagi menangis ketakutan. "Aku mohon maafkan aku." Suara iba menyayat hati. Sosok lelaki itu menghentikan tangannya, dengan kasar menarik tubuh Ella berdiri dari lantai. Seperti monster, mata birunya menatap marah wajah pucat Ella. "Aku bilang jangan menangis!" bentak sosok pria itu yang membuat sepasang bola mata Ella terpejam takut. "Aku.... aku... tidak akan menangis. Aku... akan menutup mulut ku." Ella berujar terbata-bata melipat bibirnya meredam tangis. Suara kekehan sosok pria di hadapannya membuat bulu kuduk Ella berdiri. "Kau harus di hukum sayang." desis pria itu tajam. Ella memekik kaget saat benda dingin berbibir tajam menyusuri wajahnya, sorot matanya mengikuti pergerakan belati yang mengitari seluruh wajahnya dengan perlahan. Srakkkkk......... "Ahhhkkkk......" Ella menjerit keras saat belati itu mengoyak permukaan kulit wajahnya, dia meraung-raung kesakitan. "Kau cantik sekali, aku semakin ingin mempercantik wajah mu dengan belati ini." Pria itu memasang wajah bahagia melihat hasil karyanya, jemarinya bergerak mengusap lembut air mata Ella yang sudah bercampur darah. "Lepaskan aku, ku mohon. Lepaskan aku." tangis Ella pecah, rasa sakit dan perih bercampur menjadi satu. "Aku sangat membenci setiap kau meminta untuk lepas dari ku Ella. Aku tidak akan pernah melepaskan mu." Bunyi gemelutuk gigi yang beradu membuat sekujur tubuh Ella menggigil. Kelopak matanya terpejam rapat menghindari tatapan membunuh pria itu. "Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya sayang, aku mencintaimu." Jlebbbb..... Belati itu menancap sempurna di jantung Ella, tubuh mungil bernoda darah terkapar tak bernyawa di atas lantai dingin. Matanya melotot, mulutnya mengeluarkan darah segar. "Aku akan menyusul mu, kita akan segera bertemu." "Tidak.........." Angel terbangun dari mimpinya dengan nafas tersengal-sengal, tangannya bergerak liar meraba seluruh tubuhnya, memastikan sekujur tubuhnya baik-baik saja. Angel melepas nafas lega, jemarinya bergerak menyugar surai hitam panjangnya ke belakang dengan kasar. "Sialan, mimpi itu lagi." Angel berdecak kesal, sudah kesekian kali mimpi buruk itu menghantui dirinya. Dia melirik ke samping nakas dengan ekor matanya, dengan cepat menyibakkan selimut yang membungkus tubuhnya lalu beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Angela Gabriella Western, putri tunggal dari pasangan Thomas dan Anastasya Western. Seorang gadis muda berparas cantik dengan tubuh mungil, alis mata tebal, mata bulat berwana hitam pekat, hidung mancung, bibir mungil berwarna pink, dan lesung pipi di kedua wajahnya, kecantikan yang layak seperti boneka. Menyandang status Western tidak membuat Angel besar kepala, dia tetap memilih berdiri sendiri diatas kakinya. Di usianya yang baru 24 tahun, dia susah berhasil menjadi seorang sekretaris perusahaan Handerson, perusahaan nomor satu di dunia. Cantik, pintar dan kaya semuanya melekat di dalam diri Angel. Hampir setengah jam sudah Angel menghabiskan waktu untuk bersiap, dia menuruni anak tangga lengkap dengan pakaian kantor yang membungkus tubuhnya rapi. "Morning honey." sapaan lembut dari ibunya Anatasya membuat senyum kecil terbit di wajah Angel. "Morning mom, dad." sapa Angel tak kalah lembut, dia lalu mengambil tempat duduk bergabung dengan pasangan itu di meja makan. "How was your slept?" Thom akhirnya menimpali percakapan kedua wanita itu yang sedari tadi asyik dengan makanannya. "Very well dad." Angel membual dengan tersenyum hangat menutupi kecemasan yang tiba-tiba hinggap di benaknya. "That's awesome." ujar Thom membalas senyum Angel tanpa menyadari perubahan raut wajahnya. "Kau butuh istirahat sayang, jangan bekerja terus. Sesekali manjakan dirimu, ayah mu tidak akan bangkrut meskipun kau tidak bekerja sama sekali." Anatasya berujar lembut dengan nada menyindir. Angel hanya menganguk kepala cepat sebagai jawaban, telinganya sudah terbiasa dengan sindiran Anastasya. "Baiklah, aku harus berangkat." ujar Thom segera beranjak dari tempat duduknya. "Aku juga, hari ini perusahaan Handerson kedatangan kolega bisnis dari Korea. Aku harus cepat sampai di kantor." jelas Angel sambil mengambil Sling bag yang ada di atas sofa. "Kalian selalu seperti ini, meninggalkan ku sendiri." Wajah cemberut Anastasya membuat Thom dan Angel menggeleng kepala bersama. "Sayang, jangan seperti ini. Aku janji kita bertiga akan berlibur akhir pekan ini, tidak ada kantor, meeting, deadline atau apa pun itu. Kalian berdua bebas memiliki ku." rayuan manis dengan wajah meyakinkan berhasil meluluhkan Anastasya. Angel mengukir senyum tipis, pasangan Adam dan Hawa itu selalu berhasil menggelitik hati kecilnya. Ayahnya dengan sikap tegas tak terbantah, ibunya yang lemah lembut dan sabar. Benar-benar pasangan yang sempurna. "Boleh aku bergabung?" Angel bertanya dengan nada menggoda ketika melihat pasangan itu berpelukan tanpa memikirkan kehadirannya. "Kemari sayang." Thom menjulurkan tangannya yang langsung disambut Angel cepat. "Aku sangat mencintai kalian berdua melebihi apa pun, bahkan diriku sendiri." Satu kecupan lembut mendarat di pelipis Anatasya dan Angel. Mereka berpelukan cukup lama. "Aku harus pergi, waktu ku tidak banyak lagi." Angel langsung melepaskan diri dari pelukan mereka. "Hati-hati sayang." peringat Anastasya tegas sebelum mendaratkan kecupan ringan di wajah Angel. "Siap nyonya." Angel langsung menjawab cepat, dia tidak ingin mendengar ceramah lebih panjang lagi. "See you later dad." ujar Anger Angel sebagai percakapan terakhir mereka. Mobil silver itu melaju dengan kecepatan sedang menembus jalanan yang masih sepi dari keramaian. Tak berselang lama, mobil itu memasuki area parkir luas khusus untuk pegawai Handerson Corp. Angel memasuki perusahaan dengan santai, sesekali bibirnya tersenyum membalas sapaan dari rekan kerjanya. Langkah Angel berhenti di depan sebuah lift khusus untuk karyawan yang berada di lantai atas. "Angel." sepasang telinganya menangkap suara yang tak lagi asing, dia menoleh segera ke asal suara yang berjalan mendekatinya. "Avery, ada apa?" Angel mengurungkan niat memasuki lift, perhatiannya tertuju pada Elisabeth. Elisabeth Avery, gadis cantik berdarah Inggris, memiliki netra hijau, rambut sebahu berwarna gold, wajah tirus, hidung mancung, dan tubuh proporsional bak model kelas atas. Elisabeth hidup sebatang kara sejak usia remaja, dia sahabat sekaligus rekan kerja Angel. "Tidak apa-apa, aku hanya memanggilmu saja." Elisabeth melingkarkan tangannya ke lengan Angel, senyum manis terbit di wajahnya. "Kau ini, aku pikir ada sesuatu hal penting yang ingin kau bicarakan." Angel menggeleng pelan, tingkah konyol Elisabeth selalu membuatnya terhibur. Seperti saat ini, dia tak bisa menyembunyikan senyumnya. "Kau terlihat pucat Angel." Elisabeth mengamati raut wajah Angel dalam. "Benarkah? Apa aku seburuk itu?" tanya Angel meraba wajahnya mencoba meyakinkan pendengarannya. "Kau bermimpi buruk lagi?" Elisabeth melempar Angel dengan pertanyaan lagi. "Aku sudah seminggu bermimpi yang sama, bahkan aku sudah hapal seluruh isinya." suara Angel melemah mengingat mimpi buruk yang belakangan ini menghantuinya. "Aku pernah dengar, kalau kita bermimpi yang sama berulang kali, ada sesuatu yang ingin disampaikan." Elisabeth mengetuk-ngetuk jemari telunjuknya di dagu seperti sedang berpikir. "Kau ini, mengada saja yang kau tahu." Angel melangkah memasuki lift cepat yang langsung diikuti Elisabeth. "Aku serius Angel." Elisabeth tetap berusaha meyakinkan Angel. Angel diam mengabaikan celotehan Elisabeth, dengan tenang dia menunggu lift itu membawanya ke lantai atas. Meyelamatkan diri dengan diam adalah cara terbaik saat ini. "Mungkin....... dia merindukanmu." Deg! Ting! Lift berhenti, diwaktu yang sama detak jantungnya juga berhenti. Ketakutan, sekelebat potongan mimpinya yang mengerikan menari-nari di dalam kepala Angel. "Angel, kita sudah sampai." Elisabeth menyentak Angel dari lamunan. "Huh? Kita sudah sampai?" Angel bertanya meyakinkan pendengarannya. "Ada apa dengan mu? Kau tidak lihat di sana ada tulisan sekretaris" Elisabeth mengedik dagu menunjuk sebuah ruangan bewarna coklat. "Kau benar, aku pikir belum sampai." Angel keluar dari dalam lift, tanpa sadar dia meninggalkan Elisabeth yang masih berdiri dengan mulut menganga lebar. "Si bodoh ini, kenapa dia meninggalkan ku." Elisabeth bergumam kesal menghentakkan ujung heelsnya ke lantai. Angel menyandarkan punggungnya di kepala kursi, perasaannya semakin gelisah tak karuan. Perkataan singkat Elisabeth benar-benar mengganggunya. Dia tak lagi ingin mengingat kenanga pahit itu. Tiba-tiba Angel memekik kaget saat menyadari kebodohannya, dia harus segera ke ruangan CEO. "Bodohnya kau Angel." dia memaki dirinya sendiri yang lalai akan tugasnya. Beberapa menit kemudian, Angel sampai di depan sebuah ruangan yang bertuliskan CEO, dengan perlahan tangannya terangkat mengetuk pintu. Suara berat dari dalam memerintah Angel untuk masuk. Angel menghela nafas sebelum kemudian melangkah masuk. "Permisi pak, ada beberapa berkas yang membutuhkan tandatangan bapak." Angel berujar hati-hati, keningnya berkerut bingung melihat kursi itu berbalik memunggunginya. "Pak." Sekali lagi, suara Angel mengintrupsi ruangan itu saat keheningan kembali menyapa dirinya. Sekian lama terdiam, sebuah suara dingin menusuk akhirnya terdengar dari balik kursi itu. "Long time no see, Ella...My.. Cinderella." Deg! Deg! Deg! Li-liam?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD