Mendung

1313 Words
Udara yang berembus di luar jendela, membuat ranting-ranting pohon berderak, lantas memukul-mukul kaca jendela. Mata Alec yang tengah terpejam, mendadak terbuka. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, bahkan mengalir hingga membuat kausnya basah di beberapa tempat. Dia bangkit lantas duduk, menyisir rambut dengan jari-jarinya yang terbuka. Napasnya yang memburu, berkejaran dengan detak jantungnya yang menggila. Gerakan yang tiba-tiba itu membuat kepalanya sedikit pening. Sembari memicingkan mata, dia melihat jam dinding. Masih pukul enam pagi. "Sial! Mimpi itu lagi!" umpatnya seraya menyibak selimut. "Kenapa aku tidak bisa lagi tidur nyenyak akhir-akhir ini?" Kepalanya masih dipegang sambil memberikan sedikit tekanan, Alec berdiri. Tubuhnya yang cukup tinggi membuat dia kesulitan saat membungkuk mencari sandal yang terlempar di kolong nakas. Saat menunduk itulah, liontin batu berwarna ungu yang tergantung di lehernya menggantung. Alec segera menegakkan tubuh kembali, seraya memegang liontin itu. Dilupakannya sandal yang tadi sempat dicari, Alec melangkahkan kaki telanjangnya menuju jendela. Ia bersandar di dinding setelah membuka tirai dengan satu tangan. Satu tangan lainnya menyentuh bandul ungu itu. "Nyonya, di manakah dirimu? Apakah Anda baik-baik saja?" Alec bicara sendiri sembari memegang liontin itu. Pikirannya campur aduk, mengingat mimpinya tentang kematian seorang wanita tua berambut merah. Dia tidak bisa melihat dengan jelas, seolah kejadian itu terhalang kabut. Namun, kata-kata yang diucapkan terdengar jelas di telinganya. "Anastasia ... Imoreti ..., siapa mereka? Apakah ada hubungannya dengan Nyonya pemberi kalung ini?" gumamnya. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Masuk!" teriak Alec pada si pengeruk pintu. "Selamat pagi, Tuan." Seorang pelayan yang terlihat berumur masuk kamar itu, diikuti beberapa pelayan lainnya. "Pagi, Leah," jawab Alec malas. "Tuan dan nyonya, juga adik-adik Anda sudah di meja makan. Mereka akan berangkat ke rumah musim panas siang nanti. Apakah Anda sudah berkemas?" tanya Leah. Alec mengangkat bahu. "Sekolah belum berakhir, aku tidak tahu apakah ikut mereka atau tidak." "Baiklah Tuan Muda, akan siapkan semua." "Terserah kau saja," jawab Alec sembari berjalan ke kamar mandi. * Alec menyambar tas ransel dan juga kunci motornya sebelum keluar kamar. Dengan sedikit tergesa-gesa kakinya menuruni anak tangga melingkar yang cukup lebar untuk dilewati lima orang secara bersamaan. Tangga utama itu menghubungkan lantai dua rumah mewah kediaman Pruidze, dengan lantai bawah yang berujung di depan ruang makan. Lalu lalang pelayan yang sedang membersihkan rumah sama sekali tidak membuatnya terganggu. Meskipun seluruh penghuni rumah itu sudah ramai beraktivitas, Alec selalu merasa sendirian. Dia mungkin adalah putra pertama Senator Rezy Pruidze, orang penting di Georgia. Namun, semua itu sama sekali tidak berarti baginya. "Alec! Ayo sarapan dulu!" seru Vaskha dari meja makan, saat Alec terlihat melintas. "Oke." Alec menghentikan langkah, lantas berbelok ke ruang makan. Sebenarnya dia ingin langsung pergi ke sekolah, mengunjungi tempat kesayangannya di atas atap. Namun, karena Vaskha yang menghentikannya, Alec menyerah. "Kau tidak akan meninggalkan sarapan bersama bukan? Duduklah," ujar Diane. Ibu tiri Alec itu terlihat memesona dengan gaun formal berwarna krem selutut. Penampilannya memang sangat cocok sebagai seorang nyonya rumah dan sosialita kelas atas, semenjak menikahi Rezy Pruidze. Alec tidak menjawab, hanya menghempaskan tas di kursi kayu merah yang berukir itu. Ayahnya duduk di singgasana, pada kursi ujung meja makan mahal yang menjadi hadiah perkawinan dari seorang kolega. Tatapannya tidak menyambut Alec, malah fokus pada sup yang menjadi menu sarapan pagi itu. Sementara dua adik tiri Alex, duduk di sebelah kanan dan kiri ayahnya. Mereka berdua juga makan tanpa terganggu kehadiran putra tertua Pruidze. Hanya Vaskha yang menyambutnya. Meletakkan serbet di pangkuan Alec, kemudian menepuk-nepuk punggung pemuda itu. "Thanks, Vaskha," ucap Alec tulus. "Your welcome, Bro," balas Vaskha dengan riang. Putra angkat keluarga Pruidze itu memang menjadi penceria suasana. Kepribadian Vaskha memang seratus delapan puluh derajat berkebalikan dengan para penghuni rumah. Dia sangat ramah, banyak bicara dan juga pandai melempar humor. Mungkin perbedaan karakter itulah yang membuat Rezy Pruidze berkenan mengadopsinya. Setidaknya satu hal itu yang selalu Alec syukuri dari ayahnya. Dia memberikan Alec teman sekaligus saudara sebaya sehingga putra pertama Pruidze itu tidak kesepian, setelah kematian ibunya. Pelayan pun menghidangkan menu yang sama di hadapan Alec. "Makanlah," kata Vaskha yang sedang mencomot selembar roti bakar. "Kau mungkin butuh banyak energi untuk hari ini." "Ada apa memangnya?" tanya Alec sembari mulai menyendok sup. "Sepulang sekolah, kalian kan pergi ke rumah musim panas," jawab Vaskha. "Kau tidak ikut?" tanya Alec. "Aku akan menyusul. Sebentar lagi kan ada karya wisata budaya, aku akan pergi setelah acara itu usai," jelas Vaskha. "Ehem!" Rezy Pruidze berdeham. "Jangan bicara selagi makan. Barangnya sudah siap?" tanyanya pada Alec. Alec tidak menjawab, hanya mengangkat bahu. Rezy menatap putra sulungnya dengan serius. Sementara Alec tidak mengindahkannya, dan malah makan. Diane yang melihat ketegangan itu angkat bicara. "Mungkin Alec akan menyusul kita, benarkan Sayang?" tanya Diane yang sama sekali tidak mendapat jawaban. "Alec mungkin ingin ikut karya wisata budaya bersamaku," sela Vaskha, mewakili. Alec seketika berhenti makan, langsung memberikan tatapan melotot pada Vaskha. "Kapan aku bilang begitu?" "Kau bilang akan mempertimbangkannya. Ini hari terakhir pendaftaran, Alec. Kau tidak lupa menyimpan formulir itu bukan?" imbuh Vaskha. "Oh, karya wisata itu ya," sahut Diane, berpura-pura paham apa yang dibicarakan kedua putranya yang sudah besar itu. "Hemm, jadi kalian menyusul?" tanya Rezy lagi. "Iya, Papa. Anda jangan khawatir, aku akan memastikan Alec baik-baik saja," kata Vaskha. "Bagus. Aku selalu bisa mengandalkanmu," kata Rezy sembari meletakkan serbet di meja. Dia pun berdiri. "Aku masih ada beberapa pertemuan pagi ini," katanya pada Diane. "Sampai ketemu nanti siang." Dikecupnya puncak kepala istrinya itu, lalu pergi dari ruangan. Diane tidak sempat menjawab kata-kata suaminya. Terdengar embusan kesal dari mulutnya. Perwujudan kekecewaan akan sikap suaminya yang cuek dan sama sekali tidak perhatian. Namun, demi dua putra kembarnya dia harus bersikap manis pada pria dingin itu. "Baiklah Rowan, Ronald. Habiskan sarapan kalian, dan bersngkat sekolah. Kau dan Vaskha juga, Tuan Muda Pruidze. Kuharap jangan mengacaukan liburan kita. Jika kalian ingin ikut karya wisata, sebaiknya tidak perlu datang ke rumah musim panas," katanya ketus. "Baik, Ma'am," jawab Vaskha formal. Lantas wanita modis itu meninggalkan ruangan juga. "Kakak tidak ikut?" tanya Rowan. "Entahlah," jawab Alec. "Musim panas ini akan membosankan!" sahut Ronald. "Seandainya saja ada acara berkemah juga di sekolah," imbuh Rowan. Si kembar itu masih duduk di kelas delapan. "Sudahlah, kalian sebaiknya ikut acara itu. Menghadiri acara amal dan barbeque pasti.menyenangkan. Kalian akan kenal teman-teman baru dari kalangan atas," ujar Vaskha sembari menirukan gaya formal Rezy Pruidze. Tak ayal lagi, duo kembar itu terbahak-bahak. Sementara Alec hanya sedikit menarik ujung bibirnya. "Sudahlah. Aku mau berangkat," kata Alec. "Kau tidak bareng kami?" tanya Vaskha. Alec menggeleng. Mereka berempat memang belajar di sekolah swasta yang sama. Satu yayasan terkemuka milik dinasti Pruidze, sekolah swasta terbaik di Georgia. Alec dan Vaskha kelas 12 sementara Rowan dan Ronald kelas delapan. Namun, seringnya hanya Vaskha, Ronald dan Rowan yang pulang pergi diantar sopir. Sementara Alec memilih menggunakan motor kesayangannya. "Kalian hati-hati lah di jalan," ucapnya sebelum pergi. "Kakak juga!" teriak Ronald, adik bungsu yang selalu mengidolakan Alec. Walau berbeda ibu, kadang Alec seperti melihat dirinya di masa kecil dalam sosok Ronald yang sakit-sakitan. Memang warna rambut dan iris mata mereka berbeda, tapi wajah keras dan aristrokrat selalu dominan menurun dalam darah keluarga Pruidze. Membuka pintu depan, Alec tersenyum menghampiri motor besar yang sudah siap terparkir di halaman. Para pelayan sudah hafal dengan perilaku tuan muda yang satu itu. Tidak ada yang boleh menyentuh motor itu hanya Alec dan Vaskha saja. Karena itulah, tidak ada yang berani memindahkan motor itu, di manapun Alec memarkirnya. Setelah mengenakan helm, Alec naik ke atas motor itu. Embusan angin dingin tiba-tiba menerpa. Menyadari sekeliling yang tadinya cerah mendadak sedikit redup, Alec mendongak. Dipandanginya langit biru yang tiba-tiba di tutupi awan. Gumpalan-gumpalan kelabu itu bergerak cukup cepat, seolah tidak wajar. Perasaan Alec menjdi tidak enak. Lantas secara otomatis dia menyentuh liontin ungu di dadanya. Dia sedikit terkejut, saat angannya merasakan getaran halus yang hangat. "Ada apa ini?" bisiknya. Lalu, Alec bergegas menyalakan motor dan memacunya ke sekolah. *** bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD