Welcome

1380 Words
"Bye, Niko." Letta turun dari mobil, melambaikan tangan pada sopirnya lalu segera berlari masuk ke gedung. Di seberang lantai dasar gedung itu terpampang tulisan ‘kantor administrasi’. Letta beruntung tidak membutuhkan banyak tenaga untuk menemukannya. Dengan napas masih terengah-engah, dia mendorong pintu kaca ruangan itu hingga terbuka. Di belakang meja resepsionis seorang wanita paruh baya dengan blazer hijau lumut dan mengenakan kacamata berframe coklat melihat siapa yang datang. "Selamat pagi, Madam. Saya Letta, maksud saya Violetta Izhidar Aachivelli, siswa pindahan. Bisakah saya minta rundown semester ini? 12th grade. " Wanita berambut coklat sebahu itu memandangnya dengan tatapan penuh selidik. Dia melihat penampilan Letta dari atas ke bawah. Wajah tirus, kulit putih seperti pualam, mata lebar berwarna biru, rambut merah dikuncir ekor kuda. Seragamnya tampak baru, dipadu cardigan rajut hijau lumut yang jatuh di atas pinggang. Legging hitam hingga mata kaki serta sepatu flat hitam dari bahan beledu membalut kakinya yang jenjang. Penampilan yang ‘terlalu biasa’ untuk seorang pewaris Aachivelli. Setelah puas menilai lawan bicaranya, wanita yang sedang menghadap sebuah komputer itu berkata, "Selamat pagi Miss Aachivelli. Pelajaran sudah berlangsung sekitar 10 menit yang lalu. Namun, karena ini hari pertama maka keterlambatan masih dimaafkan." "Maaf, Madam. Ada sedikit masalah dengan pemanas air di rumah," elak Letta. Almarhum Mama sudah seringkali menegur kebiasaan buruknya yang suka tidur. Letta selalu beralasan bahwa tidur yang cukup akan membuat otaknya bekerja dengan baik. Sayang, alasan itu hampir selalu membuatnya mengabaikan waktu. Di sisi lain, gadis 16 tahun itu sangat bersyukur memiliki otak yang menurutnya sangat ajaib, karena dia bisa menemukan berbagai alasan spontan untuk keterlambatannya. Wanita itu tidak sedikit pun menunjukkan rasa simpati. Dia tersenyum sekilas seolah paham dengan 'alasan' yang dibuat Letta. Lalu jarinya menari di keyboard komputer. Setelah menekan satu tombol, selembar kertas otomatis keluar dari printer yang ada di samping kirinya. Diraihnya kertas itu lalu dibaca dengan suara keras. "Kelas pertamamu sains kimia. Ruangannya di ujung koridor utara lantai dua. Pengajarnya adalah guru terbaik dan terdisiplin di sekolah ini, Madam Elene Chelize." Kertas itu kini berpindah tangan pada Letta. Letta menelan ludah. Sejak first grade dia sudah sering berurusan dengan guru yang disiplin. Namun karena nilai-nilainya yang selalu menakjubkan, dispensasi selalu didapatnya. Kertas putih itu dibacanya dengan perasaan campur aduk. Letta mempertimbangkan untuk melewatkan pelajaran pertama, tapi wanita resepsionis itu seolah bisa membaca pikirannya. "Jangan coba-coba membolos, Nona Muda. Peraturan kami memberikan poin negatif yang sangat besar untuk membolos." Dia menurunkan kacamatanya dan tersenyum sinis. "Jadi, apakah aku perlu mengantarmu, Miss ... siapa namamu tadi?" "Violetta, tapi panggil saja Letta." "Oh iya, perkenalkan saya adalah Galina Dementieva Pruidze kepala sekolah Wenston International school. Kebetulan Madam Laura–yang bertugas sebagai petugas administrasi–sedang ke belakang." Profesor Galina berdiri dan mengulurkan tangannya. Letta menyambut uluran tangan kepala sekolah setelah mengelap telapak tangannya yang basah ke sisi rok. Mereka bersalaman. "Jadi apakah Anda bersedia saya antar?" "Oh, tidak perlu. Saya rasa bisa menemukan sendiri kelasnya, terima kasih." "Baiklah Miss Letta, silakan menuju kelas. Selamat belajar," kata Madam Galina menyudahi percakapan pagi itu. Letta menganggukan kepalanya setelah Madam Galina kembali duduk di meja resepsionis dan memperhatikan layar monitor. Dia tidak tahu, bahwa Kepala sekolahnya itu sedang meneliti berkas-berkas file kepindahannya yang dikirim melalui e-mail oleh sekolah lamanya seminggu lalu. Galina sedikit tertarik dengan pewaris Aachivelli ini. Melihat latar belakang akademik serta kegiatan harian Letta membuatnya cukup terkesan. Gadis yang penampilannya biasa saja itu ternyata menonjol pada prestasi akademis di bidang Sains dan Bahasa Inggris. Tapi seperti biasanya, tidak ada yang sempurna. Letta lemah di kegiatan olah raga, kurang bersosialisasi, dan tidak disiplin. Galina tersenyum penuh arti. Letta keluar dari ruang resepsionis menuju koridor, menduga-duga letak tangga. Tebakannya tepat, setelah melewati koridor pertama terlihat tangga ke lantai atas dengan tanda panah warna merah bertuliskan 'sains and art' tergantung di langit-langit. Sambil menaiki anak tangga, dia berharap tidak membuat masalah pada hari pertamanya di sekolah baru. Kembalinya ke Georgia bukan karena sesuatu yang menggembirakan. Dia sudah nyaman tinggal di Boston, tempatnya mendapatkan beasiswa. Ia memiliki banyak teman--walaupun bukan teman dekat--guru-guru sudah mengenalnya, petugas perpustakaan sudah hapal dengannya, dan satu lagi kamar kesayangannya terpaksa harus ditinggalkan. Kamar yang didesain oleh dirinya sendiri, dicat dengan warna pilihannya--violet bergradasi--didekorasi dengan stiker bintang di langit-langitnya yang menyala jika lampu dimatikan. Tapi, semuanya berubah ketika Granny yang nyentrik yang sangat disayanginya meninggal. Granny Anastasia adalah wanita unik dan menarik yang Letta kenal. Kecintaannya pada alam membuatnya betah tinggal di Georgia, tanah kelahiran papa sekaligus Violetta. Granny menunjuk Letta sebagai pewaris tunggal rumah serta perkebunan anggur di Svaveti Georgia ketika usianya genap 18 tahun nanti. Untuk sementara, segala sesatunya telah diserahkan pada madam Debora. Madam Debora--orang kepercayaan neneknya--telah mengurus semuanya dengan baik. Bahkan tanpa Letta datang ke Georgia pun semua pabrik dan perkebunan akan tetap berjalan baik di tangannya. Dia juga meyakinkan Letta untuk memilih Wenston International School, sekolah privat terbaik di Georgia. Apalagi Letta hampir berusia 18 tahun dan sebentar lagi lulus Highschool. Sejak lama ia merencanakan kuliah di Tvidiani Medical Academy Georgia, setelah menyelesaikan beasiswa di Boston. Jadi kepindahannya ini seperti dipercepat satu tahun dari rencana semula. "Lantai dua, sebelah utara." Letta berguman sendiri ketika sudah sampai di puncak tangga, mempertimbangkan untuk berjalan menuju koridor kiri atau kanan. Apalagi dia masih buta arah–selain atas, bawah, serta kiri kanan tentunya–dan tidak tahu pasti mana utara atau selatan. "Seharusnya aku tadi minta diantar saja,"dia berhenti sejenak, "tapi, semua orang pasti pernah tersesat di hari pertamanya bukan? Jika ke kiri salah maka nanti bisa kembali ambil koridor kanan." Letta bicara pada dirinya sendiri dan akhirnya mengambil koridor di sebelah kiri sesuai instingnya. Dia berjalan menyusuri sepanjang koridor sambil mengedarkan pandangan, di kanan kirinya terdapat ruang kelas yang saling berhadapan. Sepertinya tiap kelas menggunakan peredam suara sehingga suara dari dalam tidak terlalu keras terdengar dari luar. Koridor itu benar-benar sepi, tidak ada seorang pun yang berkeliaran. Tentu saja, pelajaran sudah di mulai. Lalu pandangan Letta tertuju pada papan besar yang menempel di dinding, di situlah dia menemukan peta ruang kelas lantai dua. "Yeah, I am on the right place. Dua kelas lagi dan di ujung koridor itu pasti kelas Sains." Sesampainya di depan pintu ganda berwarna cokelat muda itu, ada jendela kaca kecil di bagian atas pintu. Letta mengintip. Terlihat seorang wanita berdiri di depan kelas mengenakan blouse biru muda dan rok pensil hitam panjangnya hingga di bawah lutut. "Owh, mungkin itu profesor Elene," pikirnya. Letta mengetuk pintu dua kali. Lalu dia memutar handle pintu setelah dipersilahkan masuk. "Yes, what can I do for you?" tanya wanita cantik berkacamata itu setelah Letta masuk kelas. "Saya, Violetta siswa pindahan. Apakah benar ini kelas sains kimia dengan Profesor Elene?" Terdengar keributan kecil di kelas, semua orang memandang Letta. "Owh, I see. Its okey, dear. Kelasnya tepat di seberang koridor. Oh iya saya lupa memperkenalkan diri tadi, Miss Gretta, pengajar Sejarah Budaya." Senyum ramah Miss Gretta yang merekah membuat tenang Letta. "Saya benar-benar minta maaf, Mam. Sudah mengganggu kelas Anda." Letta memberikan anggukan penuh hormat, lalu dia keluar kelas. Setelah menutup pintu, Letta mengembuskan napasnya perlahan sambil melihat kelas di seberang koridor. Rupanya memang instingnya tidak terlalu tajam, sehingga bisa salah kelas. Dia berjalan menuju kelas di seberang. Letta lagi-lagi ingin mengintip dari jendela kaca. Langsung saja diketuknya pintu itu tapi tidak ada jawaban. Ia membuka pintu lalu masuk ke dalam. Tidak ada guru di sana, hanya keriuhan siswa-siswa yang menghela napas setelah tahu bukan guru yang datang. "Aku Violetta, anak baru. Apa benar ini kelas sains kimia?" Seseorang menyeletuk, "You are lucky, girl. Miss Elene sedang ada perlu, jadi kami disuruh mencatat dan membuat resume," kata cowok itu. Letta hanya diam terpaku. "Jadi masuk atau tidak?" "Eh, iya-iya." Letta masuk kelas dengan kikuk. Entah mengapa suasana kelas itu terasa mencekam. Semua mata memandang tanpa bersuara, seolah dia menjadi pengganggu kedamaian di kelas itu. Letta berdiri di depan kelas, lalu mencoba ramah pada semuanya. "Hallo teman-teman. Perkenalkan nama saya Violetta Aachivelli, siswa baru pindahan dari Boston. Senang bertemu kalian dan mohon bantuannya," sapanya. Kelas hening. "Duduklah di mana pun kau suka, Lucky Girl," kata cowok bermata biru itu. Tatapannya sama sekali tak disadari oleh Violetta. Kelas kembali riuh dan acuh tak acuh pada Letta yang mematung di depan kelas. "Welcome to the junggle, Letta," sambutnya pada diri sendiri. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD