Rooftop

1301 Words
Biasanya Alec tidak terlalu tertarik pada siapa pun di kelas. Kecuali gadis yang baru saja datang dengan terengah-engah itu. Namun begitu, selain penampilannya yang terlalu berantakan, Alec tau kalau gadis itu berbeda. Setelah Letta memperkenalkan diridi depan kelas, Alec masih saja menguntit gadis mungil itu dengan ekor matanya. Melihatnya dengan samaran ditutup buku, ketika gadis itu mengambil tempat paling pojok yang tidak diinginkan siapa pun. Gerak geriknya sedikit serampangan, bahkan beberapa kali Alec mendapati pena gadis itu terjatuh akibat sering dimainkan saat mengerjakan tugas Kimia. Dia ragu gadis itu bisa menyelesaikan tugas yang diberikan, karena beberapa kali menggaruk kepala dan membolak balik buku. "Ah, mungkin dia salah kelas. Mana mungkin gadis berantakan macam itu masuk kelas akselerasi. Bahkan dia terlihat bodoh," cibir Alec. Bosan melihat Letta, Alec berdiri. Dia sama sekali tidak mengerjakan tugas. Yang dilakukannya sedari tadi hanya mengutak-atik ponsel pintarnya dengan memainkan game online. Setelah ponselnya dimasukkan dalam saku, Alec menyelinap keluar lewat pintu geser ke balkon. Tasnya ditinggal begitu saja. "Mau ke mana?" tanya Gordon, sang ketua kelas. "Urusi saja orang lain," jawab Alec singkat sebelum menutup pintu. Setelah sampai di keluar, lantas dia memanjat railing balkon, dan dengan kemampuannya memanjat tebing sampailah Alec di atas atap lantai dua. Sebenarnya ada tangga menuju rooftop gedung sekolah. Yaitu melalui tangga di sudut koridor gedung. Namun, untuk ke sana artinya harus keluar kelas dan melewati ruang guru dan pengawas. Dua ruangan itu sangat dihindari Alec. Pemuda itu memang sudah sering bolos jam pelajaran dan melarikan diri ke atas atap, atau ke ruang olah raga. Beberapa guru bahkan berniat memberinya hukuman. Sayang sekali hal itu tidak berani mereka lakukan mengingat Alec adalah putra Senator yang juga pemilik yayasan Pruidze. "Geez, ada apa dengan cuaca hari ini. Permulaan musim panas seharusnya tidak ada hujan. Kenapa sekarang mendung?" kata Alec pada dirinya sendiri. Di kejauhan bahkan terlihat kilat menyambar-nyambar. Alec yang sedikit gelisah, duduk di pinggiran rooftop seperti biasa. Tiba-tiba bandul liontin ya terasa bergetar. Alec memegang batu ungu itu. "Kenapa batu ini semakin lama seperti bergetar?" Baru saja ucapannya itu selesai, mendadak ada angin kencang yang menerpa. Sama seperti saat berangkat tadi. Angin itu seperti melingkupi tubuhnya, lalu berpilin di sekelilingnya. Batu itu bergetar semakin keras, seiring bertambahnya angin yang berputar di sekitarnya. "Ada apa ini!" pekik Alec. Terdengar suara-suara asing di telinganya. Macam gumaman yang jelas, tapi dia tidak mengenali bahasa itu. Alec bergidik ngeri, lantas berdiri dan berjalan ke tengah rooftop. Dia khawatir angin itu akan menjatuhkannya dari pinggiran atap. Tiba-tiba pilinan angin itu berhenti, dan begitu pula mendung yang menaunginya menghilang. Untuk menenangkan detak jantungnya yang kacau, Alec mengelus d**a. Seketika itu tangannya bersentuhan dengan bandul kalung di dadanya. Ada getaran halus yang melingkupi batu berwarna violet pemberian orang asing beberapa tahun lalu. Seorang wanita cantik yang menyelamatkan hidupnya. Kejadian ketika ia berumur tiga belas tahun itu otomatis kembali berputar jelas di benaknya. Malam itu Alec sangat marah pada ayahnya yang tidak memperbolehkannya pergi ke pasar malam. Bukan hanya itu saja, Rezy Pruidze juga melupakan ulang tahun putra pertamanya yang bertepatan dengan festival petik anggur. Ayahnya pergi mengunjungi pekan raya malam itu bersama ibu tiri dan kedua saudara tirinya. Sementara dia harus tetap tinggal di Villa karena kesehatannya yang kurang baik. Memang Vaskha selalu menemaninya setiap saat. Bahkan sahabatnya itu memberikan kejutan sebuah kembang api dan perang kue tart buatan koki Villa untuk merayakan ulang tahun mereka berdua. Namun tetap saja Alec merasa sedih, setelah pesta kecil mereka berakhir. Dia teringat almarhum ibunya yang wajahnya lama kelamaan memudar dari ingatannya. Rezy Pruidze telah mencopot dan memusnahkan foto ibu Alec—Livia—setelah menikahi Diane. Alec mengajak Vaskha pergi diam-diam ke pasar malam tanpa sepengetahuan bodyguard mereka. Sahabatnya itu mendukung ide gila itu begitu saja. Dia lebih bersemangat melihat langit yang penuh dengan kembang api dan musik menggema dari komidi putar di luar sana. Setelah lolos dari penjagaan, mereka berdua menerobos tumbuh-tumbuhan pagar hidup villa, untuk pergi ke luar. Berhasil! Alec tersenyum senang dan segera berlari meninggalkan Vaskha di belakang. Anak tiga belas tahun itu kegirangan melihat atraksi penari api hingga tidak memperdulikan sahabatnya. Adrenalinnya terpacu ketika beralih ke tontonan sirkus di ketinggian. Lantaran asyik menonton, tanpa sengaja dia menyenggol seorang pria. Sialnya lagi, pria berbadan tegap itu terdorong ke arah kekasihnya. Gadis itu menumpahkan gelas berisi coklat hangat yang baru seteguk diminumnya. "Maaf, Mister. Saya tidak sengaja," kata Alec memelas. Pria itu berbalik ke arah Alec dengan muka memerah menahan marah. Tangannya terkepal siap untuk melayangkan tinjunya. Tanpa bisa dicegah satu pukulan mendarat di pipi anak laki-laki itu hingga ia jatuh tersungkur. Dia tidak mengaduh, hanya memegangi pipi yang baru saja terpapar pukulan. Kekhawatiran terbesarnya adalah jika Ayahnya sampai mengetahui bekas lebam yang membiru esok hari. Kenyataan itu membuat serangan kecemasan akutnya kambuh. Dadanya terasa sesak sehingga dia sulit bernapas. Sayangnya ia lupa membawa inhaler karena terlalu antusias untuk melarikan diri. Pria tadi berlalu dari tempat itu karena tidak ingin menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. Apalagi gadisnya segera menariknya pergi setelah melihat anak laki-laki yang dipukul tadi terlihat sangat pucat dan hampir pingsan. "Help. Help me please," pinta Alec lirih. Beberapa orang yang melihat acuh tak acuh padanya. Vaskha juga tidak terlihat di mana pun. Sebelum dia hampir pingsan, sebuah tangan yang hangat menyentuh dadanya. Seketika itu Alec merasa kehangatan tadi melancarkan kembali napasnya yang tersengal. Matanya terbuka perlahan. Dia mendapati sesosok wanita berambut merah yang terlihat semakin jelas di hadapannya. Selain warna rambutnya yang unik, Alec terpaku melihat iris mata wanita itu yang berkilat-kilat dan berpendar memancarkan cahaya violet. Ketakutan menyergapnya. Namun senyuman tulus dari bibir wanita itu, mengingatkan Alec pada almarhum ibunya. "Sssst tenang. Aku hanya ingin membantumu," sahut wanita itu begitu melihat reaksi Alec. Mata wanita itu kembali normal dan menyisakan warna biru terang. Dia tersenyum seraya berdiri. Diulurkannya tangan untuk membantu Alec berdiri. Anak laki-laki itu menyambutnya dan berdiri dengan kikuk. Ternyata wanita itu hanya sedikit lebih tinggi dari Alec. "Mana orang tuamu?" tanya wanita itu ramah. "Emm-mereka pergi duluan. Eh ma-maksudku ka-kami terpisah," jelas Alec terbata. Wanita bergaun nyentrik ala zaman pertengahan itu tidak yakin mendengar pengakuan Alec. Dia memegang pundak anak laki-laki yang terlihat gugup itu. "Listen to me, Young Man. Jangan pernah pergi ke mana pun tanpa izin. Banyak hal buruk bisa terjadi di keramaian seperti ini. Apalagi, kau terlihat bukan seperti orang kebanyakan. Bisa saja ada orang yang berniat jahat dan menculikmu untuk tebusan." Setelah berkata serius seperti itu, pandangan wanita itu melunak. "Okay, Mam," jawab Alec. "Satu lagi. Tubuhmu terlalu kurus, banyak-banyaklah berolah raga. Anak seusiamu harus banyak bermain di luar. Jangan khawatirkan penyakitmu. Itu hanya akibat kesedihan berlebihan yang kau pendam. Lepaskan apa pun bebanmu, pergilah memancing, bersepeda, main sepak bola, jika kau merasa sedih." Alec hanya mengangguk mendengar penuturan wanita itu. Entah mengapa dia bisa mempercayainya begitu saja. Pil-pil dokter dan berbagai alat nebulizer memang membuatnya merasa lemah. Namun dia menyerah pada semua itu dan semakin larut dalam dukanya sendiri. Hanya Vaskha yang selama ini menghiburnya, sehingga Alec mampu bertahan. Melihat senyum Alec, wanita itu ikut tersenyum. Kemudian tangannya meraih bagian belakang kepala dan melepaskan sebuah kalung silver yang melingkar di lehernya. Kalung itu memiliki liontin dari batu berwarna violet tembus pandang dengan bentuk pasak persegi panjang. Wanita itu meraih tangan Alec dan meletakkan kalung itu di telapak tangannya. "Ini hadiah untukmu, anak muda. Jangan bersedih lagi ya," tukasnya. Alec memandangi kalung perak itu dan liontinnya dengan takjub. "Terima kasih, Nyonya." Namun ketika dia mendongak, wanita itu sudah tidak ada lagi di sana. Alec menoleh ke kanan kiri dan berlari kecil mencari wanita itu ke segala arah, nihil. Beberapa saat kemudian, Vaskha menemukannya. Alec menyimpan kalung itu di sakunya untuk sementara dan akan memakainya nanti setelah kembali ke Villa. Entah kenapa ingin disembunyikannya pemberian itu dari Vaskha sampai sekarang. *** bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD