MARET, 2018
Suasana salah satu ruangan VIP di salah satu hotel di Kota Malang saat ini sedang ramai. Di hias sedemikian indahnya. Berbalut nuansa taman bunga dengan kain putih serta merah muda mendominasi.
Hari ini, hari terbaik Sarah. Dia akan bertunangan. Dengan seorang pria yang telah bersamanya selama dua tahun. Pria yang bersedia menerima Sarah apa adanya.
Pertemuan pertama mereka adalah di salah satu Universitas terbaik di Malang. Ketika itu, Sarah masih mahasiswi baru. Dan Rama, satu tingkat di atasnya.
Sarah mungkin harus bersyukur karena tersesat di kampus pada saat itu. Karena itu adalah suatu ketidaksengajaan yang berujung indah.
Rama pria yang baik, sangat sabar dan penyayang. Dia tak pernah sedikit pun bersikap kasar pada Sarah. Sekalipun kekasih cantiknya itu seringkali membuatnya naik pitam. Entah kenapa mereka selalu berhasil melewati pertengkaran demi pertengkaran. Sikap Sarah tidak bisa di katakan baik, jika ada satu hal yang tidak cocok dengan hatinya. Tentu kali ini, tidak ada yang tidak pas di hatinya. Sejak tadi, senyum tidak sedikitpun surut dari wajahnya.
"Meskipun, seharian kau berdandan. Tetap saja, jelek mbak," ledek Aldi. Sejak tadi bersandar di bibir pintu.
Sarah meliriknya. Mengayunkan kuas pipi ke wajahnya.
"Kau tak bisa, ya? Bicara sedikit manis?" katanya kesal.
"Wajahmu.. Mirip bibi penjual gorengan di seberang jalan, haha."
Ledekan Aldi kini membuat Sarah habis kesabaran. Memejam seraya mendesah kesal, lalu berbalik badan menghadap Aldi yang berpangku tangan dengan santainya. Mata sipit warisan ayahnya, seolah bersiap menggoda Sarah lebih jauh.
"Mulutmu selalu kau tinggal saat berangkat sekolah? Tidak ada sopan santunnya sama sekali. Tak heran sih, tidak ada gadis yang mau kencan denganmu!"
Aldi berdecak berulang.
"Salah besar. Aku tak memiliki pasangan karena belum ada yang cocok. Belum ada yang beruntung mendapatkan laki-laki yang tampannya seperti Leonardo Di Caprio ini."
"Iya. Kau memang mirip sama pantatnya Leonardo!"
"Ngomong-ngomong, aku kasihan dengan Mas Rama."
"Kasihan? Kenapa?" tanya Sarah. Mengernyitkan dahi.
"Mas Rama.. Ganteng bak seorang pangeran. Sayangnya, dia harus menikahi penyihir sepertimu," celoteh Aldi disusul tawa.
"Apa?! Penyihir? Aldi! s****n kau!" teriaknya.
Sarah melemparkan kuas pipi ke arah Aldi. Namun, sayang, gerakan Aldi lebih cepat. Dia sudah berlari keluar.
Tak lama kemudian, berganti sang ibu yang masuk ke dalam kamar.
"Sarah, kamu sudah siap?"
Sarah berdiri. Memeluk ibunya. Sangat erat. Baginya, dengan merasakan detak jantung sang ibu, yang berirama indah akan menciptakan perasaan nyaman.
"Aku gugup, bu," kata Sarah.
"Itu wajar. Kau tak perlu khawatir. Ibu, selalu ada di sampingmu."
Sarah menarik setengah tubuhnya ke belakang.
"Apa aku terlihat cantik?"
"Sangat," jawabnya. "Acara segera di mulai. Ayo, kita masuk."
Tanpa kembali basa-basi, Sarah segera berjalan masuk menuju ruangan yang sudah di sulap oleh penyelenggara acara. Bersama sang ibu, yang berada di sampingnya. Memegang erat tangan Sarah.
Semua mata tertuju padanya. Bak seorang artis yang sedang berjalan di karpet merah. Gaun merah muda tanpa lengan yang sangat elegan pun membuatnya aura kecantikannya semakin terpancar. Rambutnya dibiarkan terurai sehingga angin bisa menerpanya.
Terlihat beberapa orang yang familiar, telah menunggu. Adiknya, teman-temannya, keluarga Rama. Semua berkumpul di sini hari ini. Saat seperti ini yang sebenarnya ia rindukan sejak lama. Sejak kepergian ayahnya, rumah Sarah menjadi sangat sunyi.
Ayahnya meninggal ketika ia masih duduk di bangku SMP. Dokter memvonis hidup ayahnya tidak akan lama, karena tumor otak yang di deritanya.
Seakan tak ingin melewatkan momen tersebut, sesekali Sarah melambaikan tangan pada mereka. Tapi, netra coklatnya hanya tertuju pada sosok pria yang mengenakan jas dan dasi kupu-kupu di lehernya. Tentu saja, Rama orangnya. Pria yang sangat di cintainya. Rama tersenyum ringan pada Sarah.
Begitu berada di sampingnya , Sarah mengulurkan tangan. Membiarkan jemari Sarah menggenggamnya erat. Lalu naik ke podium.
Sementara Ayah Rama, berdiri di belakang mikrofon untuk membuka acara.
"Hari ini, adalah hari yang paling membahagiakan untuk saya. Dan, tentunya kedua anak yang sedang senyum-senyum melihat saya. Entah, bagaimana awalnya, anak saya yang jelek itu mendapatkan cinta dari seorang gadis yang sangat luar biasa. Mungkin tidak banyak yang ingin saya katakan. Ayah.. Hanya berharap kalian selalu bahagia dan mampu menjaga hubungan ini hingga pernikahan di laksanakan," tuturnya.
Tepuk tangan menyambut kemudian.
"Sekarang kita mulai saja pertukaran cincinnya. Makanan sudah menunggu di belakang."
Gelak tawa tamu undangan terdengar renyah.
Sementara Rama dan Sarah saling menukar pandang. Tampak kebahagiaan terpancar di mata mereka.
"Kau.. Cantik Sarah."
Pipi Sarah menjadi merah muda.
"Kau, gugup?" tanya Rama.
"Sedikit," Sarah menjawab dengan mengerutkan hidung jenaka.
"Ini hanya pertunangan. Bukan perang," canda Rama.
Sarah terkekeh.
Sedangkan dari sudut para tamu, Niko hanya mampu mendesah panjang, berdiri melihat dua sahabatnya, dengan tangan di masukkan ke dalam saku. Satu lagi membawa sebuah kotak kecil berwarna merah.
Niko adalah sahabat Rama sejak SMA. Dan juga kebetulan satu kampus dengan keduanya.
"Kalian berhasil buat aku iri, selamat," kata Niko begitu berada di dekat mereka, menyerahkan kotak cincin berwarna merah yang ia bawa.
"Cepat cari jodohmu," sindir Rama.
Niko hanya tersenyum.
Setelah Niko kembali ke tempatnya, Rama segera menyematkan cincin ke jari Sarah. Begitu juga sebaliknya. Kilatan Flash kamera saling bersahutan setelah itu. Di iringi tepuk tangan.
Beberapa tamu undangan mendekati mereka dan memberi ucapan selamat. Beberapa lagi menikmati hidangan yang sudah tersedia.
"Sarah! Selamat!"
Dua gadis mendekati Sarah dengan heboh. Memeluknya bergantian.
"Kau sangat cantik! Aduh, aku jadi iri, nih," kata Yura, salah satu sahabat Sarah.
"Kau juga cantik hari ini," balas Sarah.
"Mas Rama.. Selamat ya, kau jadi bagian dari keluargaku," kata Aldi.
"Makasih." Rama menepuk ringan bahu Aldi.
"Tapi.. Kau yakin tidak menyesal? Selamanya, kau akan terjebak dengan penyihir jelek ini," goda Aldi.
"Aldi.. Ingat ya, aku memakai Heels. Jangan sampai, ini berakhir di mulutmu."
Sejurus picingan tajam di berikan pada Aldi. Alih-alih merasa takut pada kakaknya, Aldi menjulurkan lidahnya, mengejek.
"Entahlah.. aku akan menyesal atau tidak," goda Rama dengan meletakkan lengannya di bahu Sarah.
"Hei, kau harusnya beruntung mendapatkan Sarah. Kalau kau seperti itu, nanti aku akan merebutnya darimu!" sahut Niko.
"Haha. Aku cuma bercanda. Kau sensitif sekali hari ini," kata Rama. "Emmm.. Bagiku, Sarah adalah dewi yang di kirimkan Tuhan hanya untukku."
JANUARI, 2019
"Undangan sudah.. Gedung selesai. Katering siap. Apa, ya yang kurang?" Bola mata Sarah berputar pelan, memikirkan segala persiapan yang mungkin tertinggal.
Pernikahannya dengan Rama tinggal satu bulan lagi. Namun, masih banyak hal yang harus di kerjakan.
"Sarah, kau sudah coba gaun pengantinnya?" tanya Dina, sahabatnya.
"Ah, iya! Gaun pengantin," ucapnya, seraya menjentikkan jari.
Sarah mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan menghubungi Rama. Sepersekian detik ia menunggu, Rama tak kunjung menjawab teleponnya.
"Apa mungkin dia sibuk, ya?" gerutunya. Memandang layar ponselnya.
Lelah menelepon tak kunjung di angkat, ia mengirim pesan pada Rama.
"Kau dimana? Kenapa tidak angkat teleponku? Sibuk?"
Setelah itu, ia tetap menggenggam ponsel layar sentuhnya, sambil berjalan kesana kemari. Menunggu balasan dari Rama.
Satu menit.
Lima menit.
Hingga 25 menit, Rama tak juga membalas pesannya. Sarah mulai jengkel. Menggerutu tidak jelas.
"Rama itu Direktur.. Pasti, dia sedang banyak pekerjaan. Sabar dulu," hibur Dina, yang tengah sibuk mengecat kukunya.
Sarah hanya mampu melirik seraya berdecak kesal, bersamaan dengan ponselnya berbunyi.
Rama menelepon.
"Sarah, maaf hari ini aku sedikit sibuk. Ada apa kau meneleponku?"
"Kita belum fitting pakaian. Pernikahan kita kurang satu bulan lagi. Sudah tidak ada waktu."
"Ah, iya. Maaf, aku lupa. Kapan kita berangkat? "
"Lupa? Sesuatu yang penting kau bisa lupa?!"
"Maaf, sayang.. banyak yang harus dilakukan olehku akhir-akhir ini. Kita berangkat sekarang?"
"Iya, kita pergi ke sana sekarang."
***
Sesampainya di toko, Sarah segera mencoba gaun pengantin pilihannya.
"Wah, kau sangat cantik Sarah," kata Dina. Berdecak kagum.
"Benarkah? Aku tidak terlihat gemuk?" tanya Sarah. Memutar badannya, melihat cermin.
Rambut yang di gulung menjadi satu, di sisakan sedikit di bagian kiri dan kanannya, semakin menambah keanggunannya. Memperlihatkan leher kurus cantiknya.
"Tidak, benar-benar cantik dan seksi."
Kali ini, ia menatap Rama yang sedang berdiri, beberapa meter di depannya.
"Bagaimana menurutmu?"
Rama berjalan perlahan. Mendekati Sarah. Pandangannya tidak teralihkan sedikitpun. Melihat Sarah dari atas sampai bawah. Di rasa sudah sangat dekat dengan Sarah, ia menghentikan langkah. Diam. Lalu tersenyum. Menggerakkan lehernya maju. Mencium singkat bibir Sarah. Jantung Sarah berdebar cepat.
"Ra-Rama, Semua orang melihat kita," bisik Sarah, sesaat setelah ciuman berakhir.
Namun Rama tersenyum kecil, tangannya menangkup pipi Sarah dan berkata,
"Kau terlalu cantik.. Aku tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata. Itu.. adalah caraku untuk mengekspresikan keterpesonaanku. Aku mencintaimu."
1 Minggu Kemudian..
Hari minggu adalah waktu yang tepat untuk bersantai. Langit biru. Awan putih terlihat bak kapas terbang yang indah. Sarah duduk di tepi kolam renang di halaman belakang. Menikmati kicauan burung dan pepohonan rindang di sekeliling. Sesekali meneguk jus tomat dalam gelas kaca di sampingnya.
Sementara di tempat lain, tampak Rama sedang mondar-mandir dengan memegang ponsel. Berjalan dengan langkah bingung. Sangat tidak menikmati hari liburnya.
"Aku harus mengatakan padanya," gumamnya.
Dengan ragu menekan nomor Sarah.
"Halo. Ada apa?"
"Oh, Sarah. Kau sedang apa?"
"Hanya menikmati waktu. Kau tidak sibuk?"
"Tidak, aku sedang di rumah. Malam ini, apa kau ada waktu?"
"Kenapa? Kau merindukanku?"
"Iya, aku merindukanmu. Aku akan tiba di rumahmu pukul tujuh tepat."
"Baik, sampai bertemu nanti."
***
Malam menjelang. Rama mengajak Sarah makan malam di sebuah restoran. Duduk berhadapan. Sejak tiba di tempat, raut wajah cemas terus di tunjukkan secara tidak sengaja oleh Rama.
Sarah yang sejak tadi berpura-pura tidak tahu, mulai terganggu.
"Ada yang ingin kau bicarakan?"
"O-oh iya, setelah kita makan, aku ingin membahas sesuatu."
"Okay."
Sekalipun menjawab dengan anggukan pasti, Sarah terus memikirkan, hal apa yang akan di bicarakan oleh Rama. Sepengetahuan Sarah, Kalau Rama sudah terlihat gelisah, di pastikan akan ada sedikit masalah.
Seolah tak ingin membuang-buang waktu, Sarah kembali mengajukan pertanyaan yang sama, sesaat setelah suapan terakhir. Meletakkan sendok.
"Perusahaan kita, mendapatkan proyek di Pulau Jeju, Korea Selatan. Di sana akan dibangun sebuah Resor besar," jelas Rama.
"Wah, serius? Itu berita bagus! Jeju itu pulau yang sangat indah. Banyak wisatawan yang berlibur ke sana. Aku dan Ibu juga sempat ke sana tahun lalu. Dan, memang benar-benar bagus!" kata Sarah. "Bagaimana, kalau kita nanti bulan madu di sana?"
Rama hanya mengangguk.
"Ini berita bagus. Kenapa kau gelisah? Apa ada kendala?"
Rama menatap Sarah dalam-dalam. Meneguk air mineral sebelum bicara.
"Ayah, mengirimku ke sana."
"Tapi.. pernikahan kita kurang 3 minggu lagi. Kata ibu, seharusnya kita tidak boleh berpergian kemana-mana. Kenapa kau yang harus ke sana?"
"Ayah, tidak mau pekerjaan ini di urus orang lain. Hanya satu minggu Sarah. Aku janji akan segera pulang, kalau sudah selesai. Kau, percaya aku, kan?"
Rama menggenggam tangan Sarah. Meyakinkan.
"Kalau begitu.. kau harus janji memberiku kabar setiap 1 jam. Tidak-tidak 30 menit. Emm, bukan 20 menit! Jangan. 5 menit. Ya 5 menit sekali kau harus memberikan kabar, setuju?"
Rama tertawa mendengar permintaan yang baginya sangat mudah itu. "Aku janji, sayang. Setiap 5 menit aku akan memberikan kabar, aku janji!"
Enam Hari Kemudian..
"Besok, kau pulang ke Malang, kan?"
"Iya, penerbangan ku besok pagi."
"Aku rindu padamu."
"Aku juga. Aku membelikan mu sesuatu."
"Benarkah? Apa itu?"
"Rahasia."
"Ck, Kau selalu membuatku penasaran. Hmm, Aku tidak sabar bertemu denganmu."
" Tunggu, aku sayang, Aku pasti pulang."
Esoknya..
Sarah sedang bersantai di ruang tengah, selesai sarapan. Menonton tv dengan Aldi.
"Sarah, tolong bantu ibu membersihkan meja," ibunya berteriak dari dapur.
"Iya, bu."
Sarah bergegas berlari kecil ke meja makan yang tidak terlalu jauh dari ruang tengah. Menumpuk piring kotor. Membawanya sekaligus.
"Breaking News.. Telah terjadi kecelakaan pesawat dari Indonesia Air Boeing 778 pada pukul delapan pagi tadi. Pesawat terbang dari Bandara Internasional Jeju dijadwalkan akan menuju ke Surabaya. Pesawat tersebut jatuh di perairan dekat pulau Jeju, dilaporkan membawa 251 penumpang. Sekitar 30 penumpang berasal dari Indonesia. Sampai sekarang ini belum memungkinkan untuk menentukan ada atau tidak adanya penumpang yang selamat."
Sarah terperanga mendengar berita itu.
"Itu.. pesawat yang dinaiki Rama."
Seketika ia membeku, melebarkan mata, kakinya gemetar hebat, jantungnya serasa berhenti berdetak dan tubuhnya terasa lemas. Piring yang berada di tangannya pun jatuh begitu saja. Pecah tak karuan. Ibu dan Aldi terkejut dan segera menghampiri Sarah, yang masih terpaku.
"Mbak, ada apa? Kau, tidak apa-apa, kan?"
Aldi membereskan pecahan piring. Sarah tetap diam. Tidak bisa menjawab, bibirnya terasa kaku. Kedua matanya melihat tak tentu arah.
"Sarah, ada apa?" Kali ini, ibunya bertanya dengan cemas.
Alih-alih menjawab pertanyaan mereka, Sarah segera berlari ke lantai dua. Masuk ke kamar. Diraihnya ponsel di atas nakas. Mencoba untuk menghubungi Rama. Berharap dia tidak dalam penerbangan tersebut. Namun, sayang, hanya mesin penjawab yang terdengar. Lagi, dia menelepon Rama. Berulang dan berulang.
"Ayolah. Aku, mohon."
Sarah berjalan mondar-mandir. Menggigit kuku jari. Sesekali menatap layar ponsel. Mendekatkan ponsel pada telinga. Hingga pada akhirnya, ia menjerit. Mutiara beningnya mengalir begitu saja. Bersamaan dengan bingkai fotonya jatuh tanpa sebab. Spontan ia membalikkan badan ke arah tempat tidur. Dilihatnya bingkai foto pertunangannya bersama Rama tergeletak di lantai, kacanya hancur berkeping. Dengan langkah gemetar , ia mendekat kearah pecahan tersebut, kemudian membungkuk untuk mengambilnya.
"Bagaimana, ini bisa terjadi?" Ucapannya terdengar gemetar. "Kamu dimana sekarang?"
Tangannya menggenggam foto itu dan menangis, tubuhnya mulai berguncang hebat, mutiara beningnya tidak berhenti mengalir. Menyesali yang telah terjadi. Terus menangis dan menangis. Berharap kejadian ini hanyalah mimpi. Untuk sepersekian menit ia dalam keadaan seperti itu. Hingga akhirnya ia berdiri seraya menyeka air mata.
"Aku tidak bisa menangis di sini, aku harus pergi ke sana."
Sarah bergegas mengganti pakaian, mengambil tas dan berlari menuju lantai bawah.
"Aldi, ikut aku. Ambil kunci mobil."
"Kita mau ke mana?"
"Ikut denganku!" Sarah berteriak.
"Sarah, kau mau kemana?"
Pertanyaan yang dilontarkan sang ibu, seolah seperti angin baginya, saat ini. Tak berhenti disitu, sang ibu menanyakan hal yang sama sekali lagi, tapi kali ini nada bicaranya sedikit tinggi.
"Kau mau ke mana, Sarah?!"
Namun, ia terus mengabaikan ibunya dan berlari menuju halaman depan.
"Kau yang mengemudi."
Memberikan kunci pada Aldi. Dan segera masuk ke dalam mobil. Kemudian mobil melaju, setelah aldi turut masuk dengan kebingungan.
Bahkan di dalam mobil, ia tak sedikitpun menjelaskan apapun pada Aldi. Jemarinya dengan lincah mengutak-atik ponsel. Untuk mencari tahu tentang perkembangan berita kecelakaan pesawat sebelumnya.
"Mbak, sebenarnya kita mau ke mana? Tolong jelaskan apa yang terjadi? Kenapa kau menangis?"
" Kita ke bandara Surabaya."
"Bandara?"
"Kita berangkat ke Pulau Jeju."
"Jeju? Kenapa kita pergi ke sana? Aku tidak membawa paspor ku."
"Aku sudah membawanya."
Aldi terus mendesak Sarah, dengan bermacam-macam pertanyaan.
"Diam saja! Konsentrasi mengemudi!"
Merasa jengkel, Aldi segera membanting setir ke kanan. Menepi. Menatap Sarah lamat-lamat. Tanpa bicara sedikitpun. Akhirnya Sarah mendesah panjang. Menggeser sedikit tubuhnya. Menghadap Aldi.
"Rama.. Ikut dalam penerbangan pesawat yang jatuh tadi."
"Apa? Kau serius?"
"Aku sudah mencoba menelepon ponselnya tapi tidak bisa. Maaf, Aldi. Pikiranku berantakan," Suara Sarah bergetar.
Pipinya basah dengan air mata sekali lagi. Desahan simpati terdengar dari Aldi. Menarik tangan sang kakak.
"Mbak, kau harus tenang. Jangan gegabah. Dan juga, kau harus yakin kalau Mas Rama pasti selamat. Berdoa mbak."
Membutuhkan waktu 24 jam lebih untuk tiba di Bandara Jeju. Transit beberapa kali. Membuat Sarah semakin tidak karuan. Untuk minum pun ia tak sanggup. Waktu tiba, di Bandara, pemandangan tak mengenakkan terlihat. Beberapa keluarga korban sedang memenuhi bagian informasi. Anak-anak kecil menangis. Ibu tua renta duduk menunggu kabar dengan gelisah. Sisanya yang lain semburat ke berbagai arah. Sarah segera menuju meja informasi.
"Sorry, I want to ask about news of a plane crash that happened yesterday."
( Maaf, saya ingin bertanya tentang kabar kecelakaan pesawat yang terjadi kemarin )
"I am Sorry, we can't provide information, miss. The Airport Authority will hold a press conference in an hour, so please be patient."
( Maaf, kami tidak bisa memberikan informasi, Nona. Otoritas Bandara satu jam lagi akan mengadakan konferensi pers, jadi harap bersabar.)
"Sabar? Sabar, katamu?! Saya terbang kemari membutuhkan waktu yang panjang! Tunangan saya, berada di pesawat itu! Dan sekarang tidak tahu kabarnya, tapi kamu bilang apa? Sabar? Bagaimana, saya bisa sabar?! HAH!!"
Aldi yang berdiri di belakangnya segera menyeret Sarah ke belakang.
"Mbak, tahan emosimu. Kita lagi di Negara orang. Bagaimana, kalau nanti di tangkap gara-gara mbak ribut?Mereka juga sedang berusaha. Kita tunggu saja."
"Tapi-"
"Sudahlah, mbak. Sabar dulu."
Sarah mendesah pasrah. Di detik selanjutnya, ia berjalan ke sana kemari dengan kecemasan. Menunggu kabar dari pihak bandara. Untuk duduk saja, seolah terlalu gugup. Hingga satu jam kemudian, konferensi pers di mulai.
"Selamat sore .. Saya CEO Min g**k Choi dari Bandara Internasional Jeju. Sebelumnya, saya turut belasungkawa atas kecelakaan pesawat yang menimpa keluarga Anda semua. Kami akan memberikan informasi tentang berita para penumpang yang selamat maupun tidak. Kami akan menampilkan daftar nama di layar sisi kanan anda. Berikut adalah nama-nama korban yang meninggal. Sebanyak 140 orang meninggal."
Beruntungnya, CEO tersebut di dampingi oleh penerjemah. Sehingga Aldi dan Sarah tidak kesulitan untuk mengerti bahasanya. Dengan perasaan cemas, Sarah membaca satu persatu nama yang tertera di layar besar tersebut.
"Tidak, tidak ada nama Rama dalam daftar. Rama belum mati."
Senyum pun mengembang di bibirnya.
"Rama masih hidup."
"Iya, mbak! Mas Rama selamat!"
"Berikutnya, adalah nama-nama para penumpang yang selamat. Sebanyak 80 orang. Beberapa di antaranya, ada penumpang dari Indonesia."
Sarah yakin pasti ada nama Rama di dalamnya. Matanya menelusuri daftar nama itu dengan senyum. Namun, ada satu keanehan. Rama juga tidak ada dalam daftar penumpang yang selamat. Kerutan di keningnya segera nampak seraya menatap Aldi.
"Al-aldi, nama Rama tidak ada juga. Apa artinya Rama tidak pernah naik pesawat itu? Apa seperti itu?"
"Sebentar, mbak. Aku tanyakan dulu pada mereka."
Aldi mendekati CEO dan asistennya yang sedang berjalan pergi. Menanyakan soal Rama. CEO mengatakan, kalau Rama mengambil penerbangan tersebut. Namun, belum ditemukan, yang berarti Rama termasuk dalam daftar orang hilang.
Seperti tersambar petir di siang hari, Sarah tidak percaya dengan apa yang telah didengarnya. Dunia tampak berputar dengan lambat sehingga membuat langkahnya goyah. Seperti di hantam batu-batu besar, harapannya hancur. Dia berjalan tanpa arah. Tiba-tiba, ia merasa tubuhnya lemas. Bahkan sangat, hingga membuatnya jatuh tersungkur ke lantai, pandangannya menjadi gelap, didengarnya samar-samar suara Aldi memanggil namanya.
Dalam sekejap, ia tidak sadarkan diri, dengan segera Aldi berlari kearahnya. Dia mengangkat setengah dari tubuh Sarah dan membaringkan di atas pangkuannya. Menepuk pipi Sarah berulang.
"Siapa pun tolong panggil ambulan!"
***
Sudah berganti hari, tapi, Sarah belum juga sadar. Sementara, Aldi sedang berjalan ke sana-kemari di depan gedung rumah sakit. Menunggu Ibunya dan Ayah Rama.Tak lama setelah itu, sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depannya. Laras, ibu Sarah dan Sam, ayah Rama, segera turun dari mobil.
"Apa yang terjadi? Ada apa dengan Sarah?" Tanya Laras. Menggenggam tangan Aldi.
"Ibu, tenang dulu. Ayo, kita ke kamar mbak Sarah."
Ketiganya segera masuk. Melewati lorong. Dan pergi ke bangsal perawatan. Masuk ke dalam ruangan Sarah. Sementara yang di kunjungi, masih saja terpejam. Kerutan di kening Laras tak kunjung hilang, sampai Sarah sayup-sayup membuka matanya. Mengerutkan kening seketika. Mendesis kesakitan.
"Alhamdulillah, Sarah.. Kau akhirnya sadar," kata Laras. "Aldi, cepat panggil dokter!"
Aldi bergegas keluar memanggil dokter.
"Ibu.. Kenapa di sini?"
"Aldi, menelepon ibu. Katanya, kau pingsan di bandara. Ada apa denganmu?"
"Aku baik-baik saja, bu."
Sarah memandang Sam, yang berdiri di belakang Laras.
"Ayah juga di sini?"
Sam melangkah maju.
"Kau, benar-benar tidak apa-apa, Sarah? Kepalamu masih pusing?"
"Sedikit."
"Kau.. Tidak yang ingat apa yang sedang terjadi?"
"Memangnya.. Apa yang sedang ter-"
Sarah tak melanjutkan kalimatnya. Kejadian kemarin. Penjelasan Direktur Bandara. Rama. Kecelakaan itu. Berputar cepat di kepalanya. Segera, matanya melebar. Memaksakan duduk.
"Rama.. Rama dimana? Dia sudah ditemukan?"
Laras diam.
"Ayah.. Rama selamat, kan?"
Dia bergantian menatap mata mereka dan bertanya kembali, kali ini nada bicaranya lebih tinggi.
"KENAPA TIDAK ADA YANG MENJAWAB PERTANYAAN KU?! KENAPA?! RAMA, DIMANA?!"
Kata-kata yang hampir seluruhnya ia beri penekanan, membuat ia seperti orang gila. Tak berhenti disitu, Sarah mencoba melepas jarum infus. Beruntung dengan cepat, di cegah oleh Laras. Sarah meronta. Memohon untuk di lepaskan. Namun, Laras memeluknya dengan erat. Mencoba menenangkan. Sarah semakin menggila. Dipukulnya punggung sang ibu. Berteriak tidak jelas. Dokter dan perawat yang baru tiba, memegang tangannya. Memerintahkan Laras untuk mundur.
"Nona, Sarah.. Tenangkan diri Anda."
Kata-kata dokter di abaikan olehnya. Dia terus meronta dan berteriak. Beberapa perawat turut masuk dan memegang kaki Sarah. Segera di suntikkan obat penenang pada tubuh Sarah.
Aldi hanya terdiam melihat kakaknya, seperti orang tidak waras.