Keluar Zona Nyaman

1060 Words
JANUARI, 2020 Sarah tengah duduk di tempat tidur, kedua kakinya ditekuk sehingga dapat menahan dagu di atasnya. Seperti biasa, dia hanya bisa melamun setiap hari. Membayangkan Rama ada di depannya. Sosok yang sangat dirindukannya. Ia kehilangan senyum, tawa, suara, segala sesuatu yang ada di dalam laki-laki yang menjadi tambatan hatinya tersebut. Air mata jatuh dengan sendirinya tanpa di perintah. Laras yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, turut iba melihat keadaan putrinya. Mengusap air matanya dan menghampiri Sarah kemudian. Beberapa lembar foto terlempar begitu saja, tepat di depan Sarah. "Pilih salah satu dan malam ini kamu akan makan malam dengannya." Sarah membuang muka, menatap jendela. "Aku tidak tertarik." "Ibu sudah susah payah mencari semua ini untukmu!" "Ibu, aku tidak perlu semua ini!" "Sarah, berhenti bersikap seperti ini. Sampai kapan kau mau hidup seperti ini?" Laras yang saat ini tengah duduk disampingnya, membelai lembut rambut Sarah. Membuat ia berbalik untuk berhadapan dengan ibunya, menggenggam lembut tangan ibunya yang kurus. "Aku tahu, ibu khawatir padaku. Tapi, aku tidak bisa membuka hati untuk pria lain. Aku masih mencintai Rama. Aku mohon, ibu memahamiku." "Tapi, ibu tidak ingin melihatmu sedih, nak. Kalau kau tidak ingin dijodohkan setidaknya kau ada kegiatan yang bisa menghabiskan waktumu." "Aku.. Sudah memutuskan untuk kembali bekerja." "Oh, itu ide bagus Sarah! Kau mau kerja di mana? Ibu bantu carikan? Kebetulan ibu punya teman yang bekerja di sebuah perusahaan sepatu. Kau mau kerja di sana?" paparnya. "Tidak, aku akan kembali ke perusahaan ayah Rama." "A-apa? Kau tidak salah?" "Tidak, aku pasti baik- baik saja. Di sana ada Niko, Dina dan Yura. Aku membutuhkan mereka, percayalah." Laras hanya mendesah berat, tanpa berkata sepatah kata pun. Ia hanya tak ingin anaknya semakin menderita jika berada di Perusahaan itu. Karena Laras sangat yakin, dia pasti tak akan mampu melupakan Rama, jika masih saja berputar di lingkungan yang sama. Laras memang sudah berusaha memutuskan tali yang menghubungkan antara Sarah dengan S Grup. Raut wajahnya berubah murung. Tanpa menjawab apapun, ia keluar dari kamar Sarah. Kaki yang berwarna sawo matang itu, berjalan gontai ke kamarnya. Setiap langkahnya dirasa berat. Seperti di beri beban besi bulat yang biasa digunakan untuk memasung tahanan zaman dulu. Jari mungilnya, perlahan memegang gagang pintu yang berwarna perak. Pintu dengan perlahan terbuka ke dalam. Ia masuk dan sejenak berdiri. Tatapannya kosong. Tapi bola matanya berputar tanpa arah yang jelas. "Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya, seraya mengambil nafas yang dalam. Berjalan menuju meja riasnya, dan meraih ponsel, setelah itu. Menghubungi seseorang. "Ini bibi. Aku ingin minta bantuanmu." *** Kekhawatiran Laras terus berlanjut, hingga keesokan harinya. Sedetik pun, matanya tak dapat terpejam. Hanya mondar-mandir di dalam kamar dengan perasaan gelisah. Sementara Sarah sedang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Mengenakan baju lengan panjang dan celana jeans ketat, berdiri di depan cermin sembari merapikan baju dan rambut. Mematung, menatap dirinya sejenak. Mendesah panjang kemudian. "Aku bisa melakukannya. Semangat Sarah. Kau bisa!" Kata-kata itu terus ia ucapkan dalam hati. Untuk menepis segala keraguan dalam dirinya. Turun ke lantai bawah dan menghampiri Laras, setelah itu. "Kau tidak apa-apa, Sarah? Kalau kau ragu, lebih baik jangan lakukan ini. Kita bisa cari pekerjaan di tempat lain." "Jangan khawatir, bu." "Ibu tahu. Kau pasti bisa. Jangan lewatkan makan siangmu, ya." Laras memeluk putrinya dengan kekhawatiran. Sarah tahu, jika sang Ibu tidak ingin dia bekerja di perusahaan Rama, tapi dia berpikir itu akan membuatnya lebih baik. Namun bukan berarti ia tidak menjadi ragu, karena keputusan yang ia ambil. Bahkan ketika di meja makan, ia terus diam seraya berpikir. Hingga di dalam mobil pun ia terus bersikap seperti itu. Menatap langit dari balik kaca mobil. Pertanyaan demi pertanyaan yang Aldi lontarkan pun, ia abaikan. Membuat pemuda yang memiliki senyum manis itu, sedikit menyesal telah mengantarkan kakak satu-satunya tersebut. "Kalau saja, bukan karena aku khawatir karena mbak sudah lama nggak menyetir," katanya. "Aku nggak mungkin berada di balik setir ini sekarang!" Sarah tak merespon. Memang sejak kejadian setahun yang lalu, Sarah tidak pernah keluar dari rumah. Bahkan keluar kamar pun sangat jarang sekali. Jadi, itu membuatnya sedikit lupa, cara mengoperasikan kendaraan beroda empat tersebut. Bisa saja ia mengalami kecelakaan. Itu adalah kekhawatiran terbesar dari adik serta Ibunya. Melamun dan melamun. Itu yang hanya bisa ia lakukan. Klakson mobil yang berbunyi silih berganti, seolah tak mengusiknya. Terus membisu, hingga tiba didepan gedung. "Mbak, kau yakin baik-baik saja?" tanya Aldi. Mematikan mesin mobil. "Kalau kau ingin pulang atau butuh sesuatu beritahu aku, aku akan datang secepat kilat!" Sarah yang tengah membuka pintu pun memutar setengah badannya, tersenyum kecil. Mengusap rambut Aldi. Membuat poninya berantakan. "Kau memang adik yang baik. Mbak, baik-baik saja, kok. Lebih baik, kau cari kekasih saja. Pasti, dia bahagia kalau kau perhatian seperti ini." Aldi menjawab dengan gelengan pasti. "Saat ini, yang paling penting itu mbak. Anggap saja, aku ini pacarmu," Aldi tertawa. "Cih, aku tidak sudi punya pacar tukang ngupil sepertimu." Aldi mencibir. Sarah keluar dari mobil, setelah mengatakan itu. Menutup pintu. Berjalan menjauh. "Mbak! Hati-hati!" teriak Aldi. Hanya lambaian tangan yang menjawabnya, seraya terus melangkahkan kaki. Mobil SUV putih yang dikemudikan Aldi, segera melaju perlahan, begitu melihat Sarah masuk ke dalam gedung. Ia melenggang gugup ke dalam, mengedarkan pandangan. Pergi ke meja penerima tamu setelahnya. Dimana dia bukanlah karyawan yang sama, ketika Sarah bekerja di tempat ini. Itu berarti, dia tidak mengenali Sarah. Di sini, semua karyawan mengenalinya. Sebagai wanita yang paling beruntung di kota Malang, karena mampu mendapatkan hati sang pewaris S Grup. Suasana gedung perkantoran tersebut, belum nampak sibuk. Hanya terlihat beberapa karyawan yang saling mengobrol di beberapa titik. Juga beberapa karyawan yang berjalan masuk ke dalam. Berbeda dengan pemandangan dari luar gedung, dimana seorang pria yang tampak buru-buru memarkir mobilnya dan berlari ke dalam gedung. Seolah takut terlambat. Alih-alih segera pergi ke ruangannya, ia melihat ke sekeliling, seolah mencari seseorang. Hingga matanya tertuju pada satu titik, dan segera mengembangkan senyum. Berjalan cepat menuju ke arah yang di lihatnya. "Sarah?" sapa pria itu. Yang di panggil berbalik. "Sarah! Ini benar kau. Lama tidak bertemu. Kau semakin cantik saja." Niko, nama pria itu, tampak cukup tampan di pagi hari ini mengenakan kemeja biru laut dominan putih. Sarah tersenyum dan berjabat tangan dengannya. "Bagaimana kabarmu? Kenapa kau datang sepagi ini?" "Bibi meneleponku. Katanya, kau mulai bekerja lagi hari ini. Bibi sangat khawatir denganmu! Tapi, aku bilang padanya. Tenang Bibi, aku akan menjadi Superman untuk Sarah." Tingkah konyol Niko di pagi hari, yang meniru gaya khas Superman, cukup membuat Sarah tertawa kecil.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD