Keluar Zona Nyaman Part II

2469 Words
"Apa Direktur sudah datang?" Tanya Sarah. "Sepertinya belum. Mungkin sebentar lagi." Seolah semua sudah di rencanakan, Sam beserta sekretarisnya berjalan masuk ke dalam gedung. Memberi salam kepada semua karyawan yang berpapasan dengannya. "Oh, itu dia datang," Kata Niko. Sarah dan Niko segera menghampiri Sam. "Sarah? Ada apa kamu kemari?" tanya Sam, menghentikan langkah. "Direktur, bagaimana kabar Anda?" "Hei, Jangan panggil aku seperti itu, panggil seperti biasa saja," katanya. "Kita bicara di ruanganku." Tanpa basa-basi, Sarah segera mengikutinya untuk pergi, mendekati Niko sejenak sebelumnya. "Sampai nanti." Niko hanya mengangguk. Tersenyum. Nampak lesung pipitnya yang tidak terlalu dalam. ** Sam duduk di sofa pendek hitam yang terbuat kulit sintetis. Sarah duduk di sofa yang panjang. Berhadapan. Ia mengedarkan pandangan. Mencoba menelisik apa saja yang berubah dari ruangan ini. Tak ada yang berubah, kecuali meja Sam. Jika, sebelumnya tak pernah ada bingkai foto di atasnya, kini ada 1 bingkai foto. Sarah yang penasaran, mendekat pada meja. Mengangkat bingkai. Menatap foto Rama dan Sam kompak mengenakan setelan jas. Tersenyum wibawa. Sam yang melihatnya, mendesah singkat. "Pasti sangat sulit bagimu melewati sepanjang tahun belakangan. Maafkan, Ayah, tidak bisa melakukan apapun untukmu," katanya. "Kau.. pasti merindukan Rama." Sarah mengembangkan senyum sedih. Meletakkan kembali bingkai itu. Kembali duduk. Hatinya terasa sedikit sakit. Seolah di tusuk-tusuk jarum kecil. "Ayah, saya percaya Rama masih hidup. Selama tubuhnya belum ditemukan, Saya akan mencoba untuk mencarinya." "Relakan dia, mungkin lebih baik. Ayah tahu sangat berat bagimu. Ayah merasakan hal yang sama. Ada penyesalan yang mendalam. Seharusnya, ayah yang pergi ketika itu." "Ayah, jangan berbicara seperti itu. Ini memang takdir. Tapi, aku yakin. Ini semua belum berakhir. Kita perlu memastikan, jika Rama memang benar-benar sudah tidak ada." Anggukan berulang dari Sam, mencoba mengakhiri topik itu. "Lalu, apa yang kau perlukan sampai datang kemari?" "Aku ingin kembali bekerja di sini." Sam diam sejenak. "Kau yakin?" "Iya, ayah. Tolong izinkan saya." "Kalau itu, bisa membuatmu lebih baik, lakukan saja. Kamu bisa mulai bekerja, kapanpun kamu mau. Kalau ada kesulitan datang ke ruangan Ayah." "Terima kasih, Ayah." Sementara itu, di ruang Divisi Pemasaran, Niko sedang memberitahu seluruh karyawan jika Sarah akan kembali menjadi Kepala Manager. Dia hanya berpesan, tidak boleh ada satu pun yang menanyakan tentang Rama. Dia meminta untuk bersikap biasa saja. Sementara Niko sibuk menjelaskan hal tersebut, di sisi lain Sarah berjalan menyusuri koridor kantor yang tenang. Di kanan dan kiri berderet beberapa ruangan yang penuh dengan orang-orang yang disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, hingga perhatian mereka teralihkan ketika Sarah melintas. Saling memandang dan berbisik satu sama lain. Sarah hanya menunduk dengan mengembangkan senyum yang hampir tak terlihat. Beruntung ia segera tiba di ujung lorong, dimana ruangan divisi pemasaran berada. "Selamat datang kembali, Bu Sarah," kata Niko, dengan senyum terbaiknya. Senyum kembali mengembang dari bibirnya, namun kali ini senyuman yang mungkin bisa dikatakan senyuman bahagia. Memberikan pelukan pada beberapa orang yang bisa dikatakan kawan lama baginya. "Itu.. Mejaku, kan?" tanya Sarah menunjuk sebuah meja yang diatasnya terdapat tumpukan kertas. Niko berlari kecil kearah meja tersebut. "Semenjak kau tidak bekerja disini, aku yang bertanggung jawab dengan semua pekerjaanmu," katanya, seraya merapikan meja. Diselingi tawa kikuk. "Maaf, mejamu jadi berantakan." "Mau aku bantu?" "Tidak perlu. Tunggu sebentar." Niko meletakkan barang miliknya di meja sebelah meja Sarah. Setelah itu, Sarah duduk. Meletakkan tas di atas meja. Mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan sejenak. Tidak banyak yang berubah selama ia tidak disini. Lukisan alam yang tergantung di beberapa sudut dinding, juga masih bersih dan bagus. Tampak mereka yang berada disini, merawatnya dengan baik. Hal itu pun, membuatnya terbawa lamunan, mengingat saat pertama kali mulai bekerja di sini. "Ini ruangan untukmu," kata Rama. "Wah, lebih bagus dari kamarku," ungkapnya. "Lalu, dimana ruanganmu?" "Ruanganku ada di sebelah, jadi jangan khawatir aku akan dapat melihatmu setiap detik." Rama memakai kemeja berwarna abu-abu yang dipadukan dengan celana kain ketat yang mengikuti lekuk kakinya. Ia terlihat sempurna. Bahkan membuat Sarah tidak bisa berhenti menatapnya. Alis tebal, bibir mungil, dan mata yang tidak terlalu lebar ataupun sipit. Meletakkan tangannya di saku celana. Kebiasaan Rama. Sarah menata poni Rama, yang terlihat sedikit acak-acakan. Membuat Rama menatap romantis kekasihnya. "Aku.. Tampan, kan?" "Cih, Kau terlalu percaya diri Pak Rama! Rama tertawa, mendengar jawaban dari kekasihnya tersebut. Kemudian memeluknya. "Aku senang sekali, Sarah. Kau memutuskan kembali bekerja di sini. Mulai sekarang, aku tidak akan membiarkanmu larut dalam kesedihan, paham?" Kata Niko. Membereskan berkas di mejanya. Merasa tidak di respon oleh Sarah, ia menengok. Menggeser kursinya ke kiri. Mendekati Sarah. Menjentikkan jari, tepat di depan wajah Sarah. "Oh, ada apa?" tanya Sarah. Lamunannya buyar. Niko mendesah singkat. "Ruangan ini berhantu. Kalau, kau sering melamun, nanti bisa kerasukan." Sarah terkekeh. Paham betul kalau itu hanya lelucon. "Sekarang, apa yang harus aku kerjakan?" "Emmm.. Karena ini hari pertamamu, cukup duduk manis saja di mejamu. Atau, bisa melihat aku mengerjakan laporan." "Aku ambil pilihan kedua. Pilihan pertama terdengar membosankan." "Okay." Kini ganti kursi Sarah yang bergeser ke kanan. Keduanya, kemudian sibuk menatap Laptop. Sesekali melihat berkas. Hingga, tidak terasa waktu berputar cepat. Jam makan siang tiba. Tepat saat satu ketikan terakhir pada Laptop. "Akhirnya, selesai juga," kata Niko. Melakukan peregangan pada jarinya. "Kau mau makan siang apa? Di seberang jalan ada kedai nasi padang. Enak sekali. Kau mau kesitu?" Sarah menggeleng. "Aku rindu masakan ibu kantin." Untuk pergi ke kantin, harus melewati koridor. Belok ke kiri. Ada sebuah lift yang siap mengantarkan ke lantai bawah, hanya dengan beberapa detik. Sementara, di sebelah kanan lift, ada sebuah tangga yang menuju lantai bawah. Tentu, pilihan yang tidak bagus, kalau menuruni tangga. Karena kantor mereka, ada di lantai 3. Setibanya di lantai bawah, mereka harus belok lagi ke kiri. Melewati meja informasi. Dan tiba di kantin, yang sudah ramai di penuhi karyawan S Grup. Sebagian mengantri untuk mengambil makanan. Sebagian lagi sudah duduk. "Kau cari tempat duduk saja. Biar aku yang mengantri," kata Niko. "Okay." Sarah segera melihat sekitar. Mencari tempat duduk yang kosong. Di rasa sudah mendapatkan tempat yang pas, Sarah berjalan ke arah tembok yang seluruhnya di ganti oleh jendela besar. Baru satu detik ia duduk, sudah ada yang berteriak memanggilnya. "Sarah!!" Kedua wanita itu terlihat gembira. Melambaikan tangan dari kejauhan. Sarah balik melambaikan tangan. Sederet gigi putihnya terlihat. "Sarah! Ini benar kau! Ya ampun, aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu di sini!" kata Yura. Memeluk Sarah begitu saja. Di susul oleh gadis berambut coklat. "Aku senang sekali. Akhirnya kau kembali kesini," kata Dina. Kedua gadis itu terus memeluk Sarah, yang masih dalam posisi awalnya. Seolah tak mengizinkan gadis ber-netra coklat tegas itu bergerak. "Lepaskan dulu, aku." Keduanya segera duduk menghimpit Sarah. "Katakan, padaku.. Kenapa kau memutuskan untuk kembali kemari?" tanya Yura. Menyundul-nyundul poni melengkungnya dengan jari telunjuk. "Iya, nih. Kenapa kami tidak di beritahu? Kalau kau akan kembali ke sini. Sepertinya, kita sudah tak penting buatmu," tambah Dina. Sarah mendesah singkat. Melirik keduanya bergantian. "Memang kalian masih sahabatku?" Dina mengerutkan dahi. "Kenapa kamu bicara begitu?" "Kalian, sudah berbulan-bulan tidak telepon aku. Tidak datang ke rumah." Dina tersenyum kikuk. "Aaah.. Itu-" "Kata Dina, kita nggak perlu kesana. Nanti, pasti ujung-ujungnya melihat kau menangis terus. Dina benci melihatmu seperti itu." Dina segera memukul kepala Yura. "Dina! Sakit!" "Mulutmu itu!" Sarah terkekeh. "Karena itu aku kembali kesini. Aku rindu tingkah konyol kalian." "Sarah..." Keduanya kompak lagi memeluk Sarah. "Aku perhatikan dari tadi, kalian terus memeluk Sarah," Kata Niko. Membawa dua nampan. Meletakkannya di atas meja. "Kalian, tak ingin memelukku?" Niko merentangkan tangan ke samping. Sementara Dina melepaskan pelukannya. Menjengitkan bibir atas. "Kau.. pasti merasa paling tampan. Tapi, maaf. Kau bukan tipeku," Sindir Dina. "Dina! Niko memang tampan! Dia tinggi. Kulitnya kuning langsat. Giginya putih. Kalau tersenyum maskulin!" Sanggah Yura. "Cih, itu bayanganmu saja." "Hei, Dina. Kau tidak lihat, aku tampan sperti Nicholas Saputra. Niko.. Nicholas.. Beda tipis, kan?" Wajah mual Dina di tunjukkan seketika. "Lebih baik aku segera makan, daripada nanti hilang selera makanku." Dina berdiri. Berjalan pergi. Di susul oleh Yura yang ikut berdiri. Mendekati Niko. "Mas Niko," sapanya centil. "Aku mau di peluk." Niko tersenyum kikuk. "Aku yang tidak mau." "Yura! Cepat!" Dina menarik tangan Yura, yang tengah memanyunkan bibir merah mudanya. Setelah keduanya pergi mengambil makanan, Niko duduk. Berhadapan dengan Sarah. Mengusap kedua lengannya. Merasa geli melihat tingkah Yura. "Anak itu.. Kenapa selalu menggodaku.. Aku jadi geli." "Kau tak tahu?" "Apa?" "Yura suka denganmu. Kau saja yang tidak peka." Sarah menyendok brokoli. "Yura? Suka denganku? Kau tak salah??" "Kenapa? Kau tidak suka dengan dia?" Sejak bertemu pertama kali di rumah Sarah, Yura langsung memantapkan hatinya untuk di berikan pada Niko. Ia selalu mengatakan kalau Niko adalah pria yang dicarinya selama ini. Well, setidaknya dia bilang seperti itu pada setiap laki-laki yang membuat klik hatinya. Yura seolah-olah penganut dewa Eros. Dimana, ia percaya cinta pada pandangan pertama. Dari ketiga wanita yang bersahabat itu, memang yang tercantik Yura. Juga yang terbodoh. Dia jarang sekali memakai otaknya. Gadis 25 tahun yang cukup aneh. "Tidak. Bahkan, jika Yura wanita terakhir di bumi aku tidak akan pernah jatuh cinta padanya." "Kenapa? Yura itu body goals. Wajahnya kebarat-baratan persis Ayahnya yang asli Belanda itu. Lalu kaya. Yah, meskipun otaknya pentium rendah, sih. Tapi, menurutku sempurna. Gadis seperti Yura, bukannya di incar banyak laki-laki?" "Dia cantik, sih. Tapi, bukan tipeku. Aku tidak suka wanita yang manja." "Jadi, kau suka wanita yang seperti apa? Tapi, setelah aku ingat-ingat, sejak kita kenal di kampus dulu, aku tak pernah melihatmu berkencan. Kau, memang tak pernah memiliki kekasih?" tanya Sarah. Mengunyah sosis. Di detik selanjutnya, ia terkesiap. "Jangan-jangan... Kau..." Niko mendorong pelan kepala Sarah. "Makanya, jangan terlalu lama mengurung diri dalam kamar. Pikiranmu jadi mengerikan." "Hehe, maaf." "Sebenarnya... Aku menyukai seseorang," Jelas Niko. Memberikan beberapa sosis pada Sarah. "Sungguh? Siapa? Apa aku mengenalnya?" "Nanti.. Kau pasti tahu." "Sudah berapa lama kau suka dengannya?" "Emmm.. Mungkin 5 atau 7." "Bulan?" Niko tersenyum. "Tahun." Sarah terbelalak. "Selama itu? Dia tak pernah tahu?" Niko menggeleng. "Wah, Niko. Kau-" "Sudah, cepat habiskan makananmu." Sarah mendesah kecewa. Mengernyit setelah itu. "Makanan kita sedikit berbeda. Milikmu ada sayur taoge. Aku tidak ada." "Kau, tak suka taoge." "Iya, memang. Eh, bagaimana kau bisa tahu?" "Kau yang memberitahuku." "Memangnya pernah?" Niko mengangguk. Menyeruput sup. "Kau sudah selesai?" Sarah mengangguk. Kemudian Niko menumpuk nampannya dengan milik Sarah. Berdiri. "Niko.." "Apa?" "Wanita itu.. Yang kau suka.. Seperti apa dia? Cantik?" Niko mendesah panjang. "Ini pertanyaanku yang terakhir. Hehe, maaf.. Aku benar-benar penasaran." Niko kembali duduk. "Dia.. seseorang yang tidak bisa ditebak. Kadang-kadang dia terlihat seperti malaikat, kadang-kadang dia bisa menakutkan. Namun yang pasti dia adalah wanita yang sangat kuat. Juga lembut. Jika aku berada di dekatnya, aku merasa hangat dan nyaman." Penjelasan yang singkat, terdengar indah. Diakhiri senyuman. *** Matahari sudah bergeser turun. Bersembunyi di balik gunung Panderman. Aldi sedang dalam perjalanan menjemput Sarah. Untuk mengusir jenuh, dia menyalakan musik dan mengangguk-angguk mengikuti irama. Ponselnya berdering beberapa menit kemudian. Di pasangnya pelantang telinga. Mengecilkan volume musik. "Halo, siapa ini?" "Niko. Kau lagi dimana?" "Aku lagi di jalan. Mau jemput Mbak Sarah. Ada apa, mas?" "Aku bisa minta tolong?" "Apa mas?" Di depan gedung, Sarah sedang menunggu Aldi. Menilik jam tangan abu-abu di tangan kirinya. Hampir pukul 17.30. Aldi belum juga kelihatan. Di tariknya resleting tas selempang hitamnya. Mengeluarkan ponsel. Menghubungi Aldi. "Aldi! Kau, dimana sih? Mbak, sudah tunggu lama." "Aduh, mbak bagaimana ini? Ban mobilnya bocor." "Hah? Dimana?" "Masih jauh dari kantor mbak." "Lama nggak?" "Sepertinya sih, iya. Kau bisa memesan taksi?" "Aduh, Aldi. Mbak tidak pernah pesan hal semacam itu." "Maaf, ya mbak." Aldi menutup telepon. Mengamati Sarah dari kejauhan dari dalam mobil. Mendesah singkat. Sementara Sarah sedang kebingungan. Melihat sekitar. Terdengar klakson dari arah belakang Sarah kemudian. Sarah berbalik. "Niko?" Niko turun dari RangeRover hitamnya. "Aldi belum menjemputmu?" "Ban mobilnya bocor." "Aah, begitu. Terus kau mau pulang naik apa?" "Taksi mungkin. Apa bus saja, ya." "Bagaimana kalau aku antar?" "Arah rumah kita berbeda. Nanti kau kejauhan." "Tenang saja. Ayo." Niko kembali berjalan mendekati mobil. Menarik pegangan pintu mobil. Menatap Sarah yang masih diam. "Kau mau berdiri di situ semalaman?" "O-oh.. iya." Dengan perasaan canggung, Sarah masuk ke dalam mobil. Menutup pintu, bersamaan dengan Niko mendekatkan diri padanya. Menarik sabuk pengaman Sarah. Seketika hati Sarah berdesir. Melebarkan mata. "Te-terima kasih. Aku bisa melakukan sendiri. Aku masih punya 2 tangan," kata Sarah. Tertawa canggung. "Aku biasa melakukan itu." "Pada semua gadis?" "Ibuku." "Aaaah." Di detik selanjutnya, mobil mulai melaju. Di susul oleh Aldi. Dari jauh. "Bukannya tadi kau sudah pulang?" "Iya, waktu sudah di parkiran, aku ingat ada berkas yang ketinggalan." "Makasih ya. Sudah mau kasih aku tumpangan." "Aku cuma kasihan aja kalau kau sampai naik taksi." "Sebenarnya tidak apa-apa, kalau aku naik taksi-" "Kasihan supir taksinya." "Maksudnya?" "Memang kau hafal alamat rumahmu?" Sarah diam. "Hehe, tidak." Niko tertawa. "Ya ampun, Sarah. Kau ini sudah 25 tahun. Kok bisa tidak hafal rumah sendiri?" "Itu.." "Aku tahu. Karena kejadian itu, kan? Ingatanmu jadi kacau. Mulai besok, kau harus menghafal alamat rumah. Mengerti?" "Iya." Sepanjang perjalanan Sarah melihat jalanan. Menyandarkan kepala di pintu kaca mobil. Menatap bangunan. Pertokoan berjajar. Motor berlalu lalang. Lampu-lampu jalan menerangi malam. Bentangan gunung Panderman serta lerengnya yang terlihat jelas, saat memasuki kawasan rumahnya. Pemandangannya sangat indah. Namun, tak mampu membuat Sarah tersenyum. Justru teringat terus tentang Rama. Mendesah singkat. Berulang. Kadang-kadang, ia merasa lelah. Penat. Ingin berlari sekencang mungkin, atau minum obat tidur sampai tak sadarkan diri. Agar bisa melupakan semuanya bahkan untuk sesaat. Ibaratnya memori gawai yang sudah terisi 90%. Kepalanya sudah sulit untuk menampung sesuatu yang baru. "Sarah.." Niko sudah berada di luar. Mengetuk kaca berulang. Membuyarkan lamunannya. Sarah menekan tombol. Kaca bergerak turun. "Ada apa?" "Kau tidak mau turun?" Sarah memandang jalanan yang menanjak. Pertanda ia sudah sampai di komplek rumahnya. "Oh, iya. Sudah sampai," katanya. "Makasih, ya," lanjutnya, saat sudah keluar dari mobil. "Eh, aku kira kau mau ikut pulang ke rumahku." "Haha. Humormu semakin aneh." "Kau cepat istirahat. Besok, banyak pekerjaan yang menunggu. Banyak yang harus di lakukan." "Siap, pak." Sarah memberi gerakan hormat pada Niko. "Aku pulang, ya." Niko memutari mobil. Masuk ke dalam mobil dan melaju pergi. Terdengar klakson mobil beberapa saat kemudian. Sarah segera berlari kecil melewati jalanan menanjak itu. Dua rumah di lewatinya. Di rumah yang ketiga, ia berhenti. Di jalan bawah terlihat mobil Aldi. Sarah bergegas mendorong pagar ke samping. Jalanan rumah Sarah cukup kecil dan sangat menanjak. Jadi, akan agak sulit untuk memarkir mobil di halaman. Begitu mobil masuk ke halaman rumah, Sarah menarik pagar. Menutupnya. "Kau, tidak apa-apa, kan?" tanya Aldi, sesaat setelah keluar dari mobil. "Untung saja ada Niko." "Justru itu aku tanya. Apa saja yang di bicarakan mas Niko?" "Tak banyak, sih. Kenapa memang? Kok sepertinya sinis begitu." "Aku lapar! Buatkan mi instan! Jangan lupa pakai telur!" Aldi menekuk wajahnya. Masuk ke dalam rumah. Sarah hanya menggeleng heran melihat tingkah sang adik. Lalu menatap langit malam. Menikmati bintang bekerlip yang menyebar di berbagai titik. Mendesah panjang kemudian. Cinta itu indah. Namun di balik keindahannya, terpancar nuansa misteri. Apakah Sarah bisa merasakan keindahan cinta pada akhirnya? Hanya dia yang bisa menjawabnya. Tak jauh dari nama, Rama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD