Sahabat

1969 Words
7 Tahun Yang Lalu Sarah sedang naik-turun tangga, sejak tadi. Bingung mencari sesuatu. Dia tengah berada gedung fakultas yang di gadang-gadang menjadi gedung paling tinggi di area kampusnya. Total ada 11 lantai di gedung tersebut. Sarah baru pertama kalinya masuk ke dalam gedung tersebut. Saat perkenalan area kampus, ia tidak bisa hadir karena sakit. "Haaah.. Sampai kapan aku harus disini," katanya. Bersandar pada tembok. "Kau mahasiswi baru?" Terdengar suara maskulin dari arah kirinya. Sarah segera menengok dengan malas. Di detik selanjutnya, ia tercengang. Melihat ketampanan pria tersebut. Adegan gerak lambat pun terjadi. Pria yang mengenakan kemeja jeans, satu paket dengan celananya itu terlihat sangat tampan di matanya. Sarah terbawa ekspetasinya sendiri. Seolah-olah terdengar musik opera yang indah. Sorot lampu hanya di tujukan pada pria tersebut. Membuat Sarah senyum-senyum sendiri. "Nona?" Pria itu menjentikkan jarinya berulang, di depan wajah Sarah. "O-oh i-iya.. Pangeran, eh, maksudku.. Ada apa, mas?" Pria itu tersenyum. "Kau mahasiswi baru? Aku tidak pernah melihatmu." "Iya.. Baru hari ini aku masuk kesini." "Terus kau sedang apa di sini? Beberapa kelas untuk anak baru, sudah di mulai." "Sebenarnya.. Aku tersesat, mas," jelas Sarah. Tersenyum bodoh. "Aaaah.. Tidak apa-apa. Banyak juga tadi yang bingung sepertimu. Memang, kau ambil jurusan apa?" "Ekonomi dan Bisnis." "Oh.. Itu ada di lantai 7. Ini lantai 8." "Aaah.. Pantas saja.. Hehe. Terima kasih sekali, mas." "Sama-sama. Ngomong-ngomong, kita satu jurusan." "Mas, juga Ekonomi?" Pria itu mengangguk. "Emmm.. Mas, aku boleh tanya?" "Silakan." "Itu.. Hidungnya operasi, ya? Besar.. Mancung sekali. Hehe." Pria itu memegang hidungnya secara spontan. "Haha.. Ini asli pemberian yang di Atas, Sarah." "Eh, kok mas tahu namaku?" Pria itu menunjuk kalung Sarah. "Aaah.. Iya.. Namaku terpampang di sini. Aku, Sarah, mas. Kau?" Sarah mengulurkan tangannya. Sejenak pria itu tersenyum, dan berkata, "Rama." *** Pip. Alarm menyala. Berulang. Dengan malas, Sarah meraba-raba nakas di samping ranjang. Berusaha mematikan alarm. Setelah itu, ia duduk. Matanya sayu. Rambut hitam legamnya acak-acakan. Menguap sesekali. Menoleh pada jendela yang tertutup tirai putih. Sarah menyibakkan selimut tebal merahnya. Beringsut turun. Berjalan mendekati jendela. Menggeser tirai. Gunung Panderman yang sebagian masih tertutup kabut, menjadi satu-satunya pemandangan indah di tempat itu. Lereng-lereng hijau yang terlihat sunyi, membuat hati damai. Lagi-lagi, itu semua tidak berlaku pada Sarah. Ia mendesah panjang. Menyentuh kaca yang basah karena embun pagi. Dingin. Seperti hatinya. "Aku masih berharap.. Kau selamat dari kecelakaan itu, Rama. Aku.. Masih sangat berharap." Sekalipun dia tahu, itu hanya harapan kosong. Setidaknya, ia ingin menghibur hatinya yang sakit sebagian. Dan sebagian lagi terus meyakinkan diri, jika suatu saat akan bertemu dengan Rama. Entah bagaiman caranya. Seperti biasanya, setelah mandi dan berganti pakaian, ia selalu duduk di meja PC. Dengan lincah jemarinya masuk ke dalam web. Menulis di kolom pencarian 'Kecelakaan pesawat Jeju' 'Kecelakaan pesawat Asian air' 'Daftar para korban' 'Korban tenggelam, apakah bisa selamat?' Meskipun, hasilnya tetap sama, ia terus melakukan itu setiap harinya. Mendesah panjang di akhir. Mematikan PC. Meraih tas selempang yang sudah di siapkan di atas ranjang. Turun ke ruang makan. Pagi ini, Sarah sarapan hanya dengan Ibunya. Aldi semenjak tadi tak nampak batang hidungnya. "Aldi dimana? Dia ada kuliah pagi?" "Tidak. Sejak tadi dia tak keluar kamar. Waktu Ibu ajak sarapan, dia juga tak merespon. Mungkin masih tidur." "Biar aku periksa." Sarah meletakkan kembali roti yang hanya tinggal separuh di atas piring. Naik ke lantai atas. Dan, mengetuk pintu kamar yang bersebelahan dengan kamarnya. Tidak biasanya Aldi melewatkan sarapan seperti ini. Terlebih menunya selalu favoritnya. Roti lapis. "Aldi.. Kau masih tidur?" Sarah terus mengetuk pintunya. Dan menyerah pada ketukan yang ke-30 kali. Menarik gagang pintu ke bawah, yang ternyata dapat di buka dengan mudahnya. Kamar Aldi masih gelap. Tirai belum tersibak. Alunan melodi rock terdengar lirih. Lampu warna-warni berkerlip dari tetikus di meja. Aldi masih di balik selimutnya. "Kau begadang lagi semalam? Sudah mbak bilang, jangan tidur larut malam. Apalagi cuma buat main game seperti itu." "Semalam ada yang menantangku. Aku tidak bisa membiarkan harga diriku terinjak." "Ck. Sekarang, ayo cepat bangun! Sarapan. Lalu, antar mbak ke kantor." Aldi menyibak selimutnya. Rambut pendek bergelombang miliknya terlihat awur-awuran. "Mbak.. Maaf. Gara-gara begadang semalam, sekarang aku tak enak badan. Kau naik taksi saja, ya?" "Aku sudah bilang, kan.. Aku tidak bisa memesan taksi online seperti itu." "Ibu akan mengajarimu. Kepalaku benar-benar sakit." Sarah diam sesaat. Mendesah pendek di detik selanjutnya. "Kau cepat tidur. Jangan lupa makan. Dan, malam ini kau tidak boleh main game. Paham?" "Iya, aku mengerti. Maaf." Pandangannya mulai kosong. Berjalan keluar dari kamar Aldi. Kembali turun. "Aldi, sudah bangun?" tanya Ibunya. "Iya. Tapi, dia sakit." "Pasti gara-gara main game semalaman! Anak itu susah di beritahu." "Ibu.." "Apa?" "Dimana kunci mobil?" "Di meja TV. Buat apa?" "Aku mau berangkat kerja." "Oh.." Sedetik kemudian. "APA?!" *** Sarah menghela napas panjang, meregangkan otot-otot tangan dan segera menyalakan mesin. Menekan layar GPS. Memasukkan alamat tujuan, di saat yang sama Ibunya mengetuk jendela. "Kau yakin?" tanya Ibunya, cemas. "Jangan khawatir," jawab Sarah ragu. Pertama. Memasukkan gigi pertama. Menginjak gas dengan tekanan penuh. "BRAAK!" Mobil Sarah menabrak pot bunga, juga pagar rumah. "SARAH!" Niko yang baru saja sampai di depan rumah Sarah, segera mendorong bagian pagar yang kecil ke dalam. "Bibi, ada apa?" "S-sarah.. Bersikeras membawa mobil ke kantor. Tapi, sepertinya dia sudah lupa bagaimana cara mengemudi." Laras, sang Ibu segera mengetuk jendela mobil. Sementara, Sarah hanya diam terpaku di dalam. Matanya terlihat gugup. Tangannya gemetar. "Sarah.. Kau baik-baik saja? Matikan mesinnya terlebih dulu. Lalu, keluarlah." Sarah tidak merespon perintah Laras. "Bibi, coba biar aku yang memanggilnya," pinta Niko. "Sarah.. Tidak apa-apa. Jangan khawatir. Aku di sini. Sekarang.. Sadarlah. Matikan mesin mobil, lalu keluar dengan tenang. Sarah tetap tidak merespon. Napasnya menggebu. Sangat gugup. Untuk yang ke sekian kalinya, Niko mengetuk jendela mobil. Namun, kali ini dia sedikit berteriak. "SARAH! DENGARKAN AKU!" Sarah segera menoleh. "Matikan mesinnya! Lalu keluar!" Dia mengangguk cepat. Lalu melakukan yang di perintahkan oleh Niko. Pelukan gugup dari Niko membuat Sarah tertegun. "Kau, tidak apa-apa, kan?" tanya Niko. "Oh.. Iya. Aku cuma.. Sedikit terkejut. Mobilnya.. Tidak apa-apa, kan?" Sarah melepaskan pelukan. Melihat bagian depan mobil. "Bu.. Bagaimana ini? Pot kesayanganmu pecah.." "Tidak masalah. Yang penting kau baik-baik saja." "Maaf, bu.. Nanti aku akan menggantinya." "Tak perlu kau pikirkan, Sarah." "Seharusnya kau hubungi aku! Jangan bertindak gegabah seperti ini!" tegas Niko. Sarah mengerutkan kening. "Kenapa kau marah?" "Aku tidak marah! Aku hanya khawatir kepadamu. Masih beruntung, kau ada di halaman rumah. Coba di jalan raya! Lain kali telepon aku!" Sarah sedikit emosi. "Tapi, aku rasa kau tidak berhak marah! Kau bukan siapa-siapaku!" "Sarah.. Niko hanya mengkhawatirkan mu." "Aku tidak suka dia terlalu berlebihan. Dan, aku juga tidak suka merepotkan orang lain. Aku pergi dulu." "Kau mau naik apa?" "Bus." "Kau naik mobilku saja. Bibi, saya berangkat dulu." "Oh.. Iya. Hati-hati. Titip Sarah." "Aku bisa naik-" "Hampir pukul 08.00. Nanti kita telat," Jelas Niko dengan berjalan melewati Sarah. Aldi yang sejak tadi memperhatikan dari jendela kamarnya, mendengus sinis. "Drama pagi yang menjijikkan." Pagi ini jalanan Kota Malang cukup padat. Roda dua mendominasi jalan raya. Seolah mereka berada di lintasan balap. Secara gesit masuk ke dalam celah-celah deretan mobil yang tidak bisa bergerak sama sekali. Di jam berangkat kerja seperti ini, memang sudah biasa terjadi. Maka dari itu, jika tidak ingin terlambat harus berangkat 1 jam lebih awal. Itupun sampai di kantor akan tersisa waktu 5 menit saja. Dan, selama itu pula dalam mobil Niko hening. Dia yang biasanya mendengarkan berita pagi hari di radio, hari ini seolah tidak ada mood. Tatapan matanya menyimpan sedikit emosi karena kejadian tadi pagi. Sarah yang menyadari suasana canggung itu, hanya melirik Niko saja. Semua pertanyaan yang ingin di lontarkan, seperti tersekat di pangkal atas tenggorokannya. Pada akhirnya, sampai tiba di dalam ruang kantor pun, mereka hanya saling diam. Sesekali berinteraksi ketika membahas pekerjaan. Profesionalisme dalam suatu pekerjaan, mengharuskan mereka untuk sejenak menyampingkan masalah pribadi. *** Matahari mulai bergeser tepat di atas kepala. Sarah melihat jam yang menempel pada dinding ruangan. Waktunya makan siang. Ia meregangkan tubuh. Mengaitkan jari-jarinya. Melirik ke arah Niko ragu-ragu. Dia masih sibuk dengan dokumennya. Sarah berdiri. Perlahan dan bertahap berjalan ke meja Niko. Menopang kan kedua tangannya di meja. Pemilik meja tetap menatap serius layar laptop. Sarah mengerutkan bibirnya. Tapi, Niko seakan enggan untuk menatapnya. Terus menyibukkan diri. Sarah mulai naik pitam. Di ambilnya berkas yang ada di tangan Niko. Membuat Niko mendesah panjang. "Ada apa?" "Saatnya makan siang." "Aku tidak lapar. Kau makan saja sendiri." "Tak mau." "Kenapa? Bukannya kau tak ingin merepotkan orang lain?" "Kau marah? Karena kata-kataku tadi pagi?" "Tidak. Untuk apa aku marah? Aku bukan temanmu. Aku bukan siapa-siapamu," jawab Niko. Tersenyum sarkas. Sarah mendesah. "Tapi, aku tidak suka makan sendirian," katanya. "Baiklah.. Teruskan pekerjaanmu." Sarah mengembalikan berkas yang di rampasnya. Berjalan dengan lesu menuju lift. Masuk ke dalam Lift. Bersamaan dengan Niko turut masuk. Membuat Sarah sedikit terkejut. Lalu tersenyum kecil. Di jalan menuju kantin pun, Niko tak banyak bicara. Jari-jarinya di sembunyikan pada saku celananya. Pun dengan Sarah. Ia tak mau merubah suasana hati Niko lagi. Ia tetap mengikuti langkah Niko dari belakang. Baru saja sampai di pintu kantin, Dina dan Yura melambaikan tangan pada mereka. Di balas oleh Sarah. Kemudian berjalan mendekati keduanya. "Aku ambil makanan dulu," kata Niko singkat. "Aku ikut." "Tidak perlu." Setelah Niko pergi, mulai Dina menanyakan sikap dinginnya itu pada Sarah. "Kau sedang bertengkar dengannya?" "Oh.. Itu.." Sarah memilih untuk tidak menceritakan kejadian tadi pagi pada dua sahabat cantiknya. Jelas, mereka akan marah karena sikap ceroboh Sarah. Niko tidak biasa diam seperti itu. Semenjak Sarah mengenalnya, hanya dua kali dia bersikap seperti itu padanya. Pertama. Saat Sarah mengunci diri dari dunia luar. Kedua. Hari ini. Niko kembali dengan dua nampan berisi nasi, sayuran, lauk dan sekotak jus. Sarah bergeser sehingga Niko bisa duduk disampingnya. "Terima kasih," ucap Sarah. Niko tidak menjawab. Tetap diam dan mencoba menikmati makanan. "Mas Niko diam sekali hari ini. Apa tak enak badan?" Tanya Yura. Sarah meletakkan sendok. Menengok Niko. "Kah sakit?" tanya Sarah. "Tidak." Selanjutnya, empat dari mereka diam dan menikmati makanan. *** Mereka berdua berpisah dengan Yura dan Dina di depan kantin. Ruangan kedua gadis itu, ada di lantai 1. Sedangkan Sarah dan Niko di lantai 3. Niko berjalan tetap dengan gayanya, kedua tangannya berada dalam saku. Terus berjalan dan mengabaikan Sarah. Membuat Sarah tak tahan dengan sikapnya. Menghalangi jalan Niko. Menatapnya. "Aku pikir kita perlu bicara," "Kita ke atap," kata Niko singkat. Sesampainya di atap, Mereka menatap satu sama lain, Sarah melipat tangan dan tampak kesal. Dan kemudian buang napas cepat lalu mulai bicara. "Hari ini ada apa denganmu? Sikapmu benar-benar aneh. Kemarin kau sangat baik padaku. Tapi, hari ini sikapmu dingin. Seolah-olah aku tidak terlihat di depanmu. Apa karena kejadian tadi pagi? Kenapa kau tiba-tiba marah seperti itu? Kau punya dua kepribadian?!" Niko hanya diam mendengarkan Sarah bicara, alisnya berkerut. "Jawab!" Sarah berkata lantang. Niko menggerakkan kakinya selangkah demi selangkah mendekati Sarah, tanpa bersuara sedikit pun. Yang di dekati menurunkan tangannya. Menatap Niko gugup. Angin bertiup agak kencang sehingga rambut cokelat pirang milik Sarah, terbang dan menutupi wajahnya. Membuatnya, tak menyadari jika Niko sudah berdiri hanya berjarak satu inci di depannya. Tangan kanannya memegang rambut Sarah yang menutupi wajah. Menautkannya di belakang telinga. Sarah hanya bisa menyaksikan diam-diam, seolah-olah tubuhnya memberi izin Niko untuk melakukannya. Tatapannya perlahan turun melihat lantai. Ia terlalu gugup untuk menatap Pria yang lebih tinggi darinya itu. Niko segera membungkukkan separuh badannya. Membuat Sarah mau tak mau menatapnya. Jantungnya berdebar cepat. Untuk kali pertama, ia bertatap secara langsung dengan Pria lain. Setelah menghilangnya Rama. Senyum kecil mengembang di bibir mungil Niko. "Aku.. Hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu," kata Niko. "Aku ingin melindungimu." Sarah membeku. Hatinya semakin berdebar tidak karuan, mendengar kata-katanya. "Kata-kata itu.. Sepertinya aku oernah mendengarnya. Tapi, dimana?" kata Sarah dalam hati. Sahabat adalah hal yang paling penting dalam hidup. Sahabat bisa menjadi tempat curahan hati, kadang ketika bahagia dan kadang saat yang menyedihkan. Kebahagiaan dan Kesedihan. Sahabat adalah bagian dari dua hal itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD