Tanggal Pernikahan

1425 Words
Tiga pekan sudah terlewati dengan cukup baik. Niko kian dekat dengan Sarah. Bersedia menjadi sopir pribadinya. Mereka juga menghabiskan waktu bersama-sama. Piknik. Pergi ke taman hiburan. Pantai. Makan malam bersama. Kadang-kadang Dina, Aldi dan Yura, ikut bersama mereka. Hari rabu. Langit cerah tanpa cela. Burung peliharaan tetangga berkicau saling bersahutan. Entah apa yang di gosipkan. Tukang sayur berteriak menjajakan dagangannya. Kucing liar jalan-jalan pagi. Langkahnya bak model yang berjalan di atas panggung. Penjual s**u sapi murni langganan Sarah, memarkir sepeda onthel nya di samping Sarah. Menyapa Sarah dengan senyum terbaiknya. Lalu masuk ke halaman rumah Sarah. Sekitar 15 menit, Sarah sudah berdiri di depan rumah. Bibirnya di poles warna peach. Rambut di kuncir kuda. Sebagai pelengkap aroma parfum bunga lily tercium. Celana kain Thaisilk hitam di pakainya. Dengan atasan hem blouse abu-abu, lengan tergulung hingga siku. Sempurna. Setelah kembali bekerja, agaknya dia cukup riang. Bisa jadi sedikit melupakan kenangan pahit yang sempat menghancurkan hidupnya. Siulan terdengar, saat ia menilik jam touchscreen hitam di pergelangan tangan kirinya. Kata Aldi, "Wah.. Nenek tuaku kembali cantik lagi sekarang. Sarah memicingkan mata. Rupanya kau rindu pukulanku, eh? "Sangat! Cepat pukul aku," tantang Aldi. Menyuguhkan pipinya cerah nan mulusnya. Alih-alih memukul, Sarah menampar pelan pipi sang adik. Tertawa kecil kemudian. "Mau kemana sepagi ini?" Tanya Sarah. "Kampus. Kemana lagi." Sarah menatap curiga pada Aldi. Hem biru laut yang di padukan dengan celana kain Slim Fit Drill hitam, panjangnya se-mata kaki. "Aku tidak yakin.. Kau akan pergi ke kampus.” Sarah memajukan setengah badannya. Mengendus Aldi. Aroma Musk semerbak tercium dari dirinya. "Ini bukan wangi parfummu yang biasanya. Kau membeli parfum baru?" Aldi mundur. Sedikit menjauh dari sang kakak. "Tidak. Ini parfumku yang biasanya." Sarah meyakinkan dirinya. Jika Aldi tengah berbohong. Melipat kedua tangan di d**a. "Jujur saja. Lagipula, kau tidak bisa membohongiku." Senyuman intimidasi dari Sarah, membuat Aldi kesal. Dan berakhir menyerah. "Aku ada janji dengan teman." "Siapa?" "Ada— seseorang. Kau tak mengenalnya." "Memang, ada temanmu yang tidak aku kenal?" "Tentu ada!" "Galang, Verdi, Dimas, Leon, Dicky, Kai, Lucas, Arnes. Coba katakan. Siapa yang tidak aku kenal?" Aldi ternganga. Mendengus di detik selanjutnya. Aldi memang tak punya banyak kawan. Karena itu, Sarah hafal semua teman dekatnya. "Yang satu ini anggap saja kau tidak mengenalnya." "Kekasihmu?" Aldi terbatuk. "Benar kan? Pasti itu kekasihmu." “Lalu kenapa? Apa yang akan kau lakukan jika aku benar memiliki kekasih?" "Jadi itu benar?" Nada bicara Sarah sedikit meninggi, terkejut. "Tidak! Masih teman." "Tapi, benar, kan? Dia perempuan?" Aldi mengangguk gugup. "Awas saja, kalau dia sudah menjadi kekasihmu.." "WAH. Kau mengancamku? Dulu, kau menyuruhku untuk berkencan. Sekarang.. kau melarangku. Apa kau memiliki dua kepribadian?" "Bukan begitu-" "Apa hanya kau saja yang boleh berpacaran?" "Siapa? Aku? Dengan siapa?" "Siapa lagi. Pasti Mas Niko." Sarah nyengir. Mengepalkan tangan. Berpura-pura akan memukul Aldi. "Aku dan Niko itu tidak-" "Tidak apa?" Niko yang entah kapan datangnya, secara tiba-tiba menyembul di belakang Sarah. Membuatnya sedikit terkejut. "O-oh.. Kapan kau datang?" "Baru saja. Katakan, Sarah. Aku dan kau tidak apa?" Pipi Sarah menjadi semu. Melihat tak tentu arah. Mendesis gugup. Sementara, Niko tersenyum manis. Niko. Tinggi 175 senti. Kulitnya putih bersih. Senada dengan giginya yang sempurna, tanpa lubang. Dia merawatnya dengan baik. Wajahnya kecil. Telinganya agak lebar. Jakunnya terlihat jelas. Karena lehernya ramping. "I-itu-" "Mas Niko, bagaimana kabarmu?" tanya Aldi, merangkul Niko. Sedikit melompat. Karena tingginya tidak sepadan. "Baru semalam kita bertemu." "Haha. Aku hanya sedang mencairkan suasana. Mbak Sarah gugup tidak karuan. Aku takut dia pingsan nanti. Berat badannya naik. Punggungku bisa patah nanti." Sarah berjalan cepat, mendekati Aldi. Memukul punggungnya dengan keras. "Biar aku patahkan sekarang saja!" tukasnya. Aldi menggeliat sakit. Meraba punggungnya. "Kau sih.. Suka menggoda kakakmu. Kau tahu sendiri kakakmu jika sedang marah. Singa saja takut," Pungkas Niko. "Kau juga ingin sarapan pukulan dariku?" Niko meringis. "Kau sudah tahu, Mbak Sarah seperti itu.. Kenapa kau masih saja suka-" Niko memeluk Aldi dari belakang. Membungkam mulutnya. Seolah akan menculik Aldi. Yang di bungkam berusaha melepaskan diri. "Kau sedang tidak terburu-buru? Bicaramu semakin melantur. Hehe." Gigi Niko bergemeretak. Membuat Aldi tak bergerak. Sadar. Dia hampir saja melakukan kesalahan. Di detik selanjutnya, Aldi mengangguk. "Tingkah kalian seperti anak SD saja. Memang, Niko suka apa?" Niko melepaskan Aldi. Kemudian menarik paksa Sarah. Agar cepat pergi dari situ. "Selamat bekerja! Teriak Aldi." Melambaikan tangan. *** Hari ini, tidak banyak yang harus di kerjakan Sarah. Setelah menyelesaikan satu proposal, ia melepas kacamata radiasinya. Melirik kalender duduk, samping computer. Menatapnya sedikit lama. Mendesah panjang kemudian. "27 Februari," katanya lirih, hampir seperti berbisik. Bagi orang lain, ini adalah tanggal 27 Februari yang biasa. Hari Rabu yang super biasa. Tapi, bagi Sarah berbeda. Ini adalah tanggal di mana ia seharusnya menikah tahun lalu. Desahan sedih tak pelak terdengar terus darinya. Sarah mengambil sebuah album foto kecil dari dalam laci mejanya. Lembar demi lembar ia perhatikan dengan lamat. Rama merangkulnya dari belakang. Sarah mengenakan gaun pengantinnya dengan Rama yang menatapnya penuh cinta. Rama dan Sarah liburan di pantai. Dan, masih banyak lagi kenangan yang tersimpan dalam album foto itu. Dadanya mulai merasa tergelitik sakit. Di detik selanjutnya terasa sesak. Semakin sesak. Hingga ia sedikit terbungkuk. Berusaha bernafas lewat mulutnya. Sakit kepala menyerang tiba-tiba. Hingga suara berdenging terdengar di telinganya. Urat merah halus matanya kini terlihat. Air mata mulai menggenangi kelopak bawahnya. Ia meremas dadanya. Tangan satu lagi, berusaha meraih tas yang ia letakkan di bawah meja. Membawanya ke atas meja. Menarik resleting tas ke samping. Mengambil satu botol plastik berwarna putih s**u. Memutar tutupnya dengan susah payah. Mengeluarkan satu kapsul berwarna putih s**u. Menelannya dengan cepat. Meneguk air minum yang ada di mejanya sampai habis. Rekan kerja yang mejanya berhadapan dengannya, segera menghampiri, setelah mengamati beberapa menit tingkah aneh Sarah. "Bu Sarah, kau baik-baik saja? Kau tidak enak badan?" Tanya perempuan berkulit cokelat itu. Memegang pundak Sarah. Sarah hanya menggeleng. Belum sanggup untuk bicara. Sementara Niko yang baru kembali dari kamar mandi, segera menghampiri. "Sarah.. kau kenapa?" "Bu Sarah tiba-tiba saja bertingkah aneh. Dia seperti kesulitan bernafas," sahut Linda, nama rekan kerja yang menghampiri Sarah. "Sarah.. kau sakit?" Niko melihat sekilas botol obat yang tergeletak di atas meja. "Kita ke rumah sakit, ya?" Tanya Niko. "Tidak. Aku baik-baik saja sekarang," Jawab Sarah masih terengah-engah. "Kau yakin? Wajahmu pucat sekali." “Iya." "Terima kasih, Linda. Kau bisa kembali bekerja," perintah Niko. "Maaf, membuat kalian khawatir." Kini Sarah terlihat lebih baik. Menutup botol obat. Dan, kembali memasukkannya ke dalam tas. "Itu.. Obat apa yang kau minum?" "Ah.. ini hanya obat penenang." "Kau minum hal semacam itu? Kenapa? Kau sering mengalami serangan panik?" "Terkadang." Niko mendesah panjang. Tatapannya iba. Sementara di lantai bawah, Yura baru keluar dari kafetaria. Membeli beberapa makanan ringan. Menggigit roti sarikaya dan melenggang santai. Tangan satunya menggenggam kantung plastik yang penuh dengan camilan. Ketika melintas di lobi, ia berhenti sejenak dan menatap seseorang yang berdiri berlawanan arah dengannya. Yura mulai mengerutkan kening, menatap seseorang itu dari kejauhan. Hingga seseorang itu berbalik, sehingga Yura bisa melihat wajahnya dengan jelas. "Definisi ketampanan yang sempurna," katanya dengan mata berbinar. "Apa mungkin dia artis ibukota? Sepertinya aku pernah melihatnya. Mungkin saja di drama pagi tv." Yura kemudian kembali berjalan. Langkah ketiga, tiba-tiba ia berhenti dan berbalik menghadap pria itu. Melebarkan mata. "Bukankah dia.." Yura menyadari sesuatu. "Tidak mungkin.." Yura bergegas ke ruangan Divisi Pemasaran, menaiki tangga di pintu darurat. Lantai 2. Lantai 3. Yura mendorong pintu ruangan Sarah dengan kasar. Berhenti sejenak. Mengatur nafas. "Kenapa kau berlari seperti itu? Kau dikejar hantu?" Ejek Niko, dari kursinya. "Ya, aku melihat hantu," jawab Yura, terbata-bata. Karena kehabisan nafas. Niko menggeleng heran, berdiri dan memberikan segelas air untuk Yura, yang di minum habis dalam sepersekian detik. Kemudian mengembalikan gelas kosong pada Niko. "Kau ini habis lari marathon? Atau datang kemari naik tangga? Kau sampai tersengal seperti itu." Niko kembali meledek. Yura mengangguk berulang dan berkata, "Iya. Kalau tidak menggunakan tangga bagaimana caranya aku naik ke ruangan ini? Terbang?" kata Yura kesal. " Apa kau bodoh? Kenapa kau tidak menggunakan lift?" Yura sejenak diam dan berpikir. "Benar ada lift. Tadi pikiranku kacau karena aku melihat hantu!" "Kau ini bicara apa? Tidak mungkin ada hantu di siang bolong seperti ini," Sanggah Sarah. "Pada awalnya, aku juga berpikir seperti itu. Aku seperti melihat hantu gentayangan! Tapi setelah aku mengamati dengan jelas dia bukan hantu. Dia manusia!" Kata Yura menggebu. Sarah dan Niko mengerutkan dahi, melihat satu sama lain. Tak paham apa yang ingin di sampaikan Yura. Dia seperti orang yang habis menenggak satu botol penuh minuman keras. Bicaranya melantur. "Bisa kau jelaskan perlahan pada kami? Apa yang kau lihat sebenarnya? Kami tidak mengerti.. siapa dia?" Tanya Sarah. "Dia.. Seseorang yang hilang selama satu tahun. Rama! Tunanganmu!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD