Mata Sarah melebar. Seketika berdiri. Seolah-olah tidak percaya apa yang dikatakan oleh Yura.
"Yura! Kau jangan bercanda! Rama sudah mati dalam kecelakaan itu!" sanggah Niko.
"Mas Niko, aku tidak bercanda! Aku melihatnya dengan mataku sendiri .. itu Rama! Dia benar-benar masih hidup!"
"Lelucon macam apa itu?Kau ingin membodohi Sarah? HAH! Jangan seperti itu, Sarah adalah temanmu!" Niko mulai emosi.
"Jika kalian tidak percaya, kalian lihat saja sendiri. Untuk apa aku membuat lelucon mengerikan seperti ini?!"
Sarah diam. Menatap udara kosong.
"Di mana dia? Rama di mana?!" Bentak Sarah.
"D-di lantai satu. Di lobi," kata Yura gugup.
Tubuh Sarah menjadi lemas. Suhu tubuhnya menjadi hangat dalam sekejap. Perutnya terasa mual. Keseimbangannya hampir hilang. Mencengkeram bibir meja. Erat. Sangat.
"Aku harus melihatnya sendiri! Apa benar dia Rama. Apa benar dia masih hidup. " Sarah berkata dalam hati.
Sarah berjalan cepat. Keluar dari ruangan. Menghiraukan Niko yang berteriak memanggil. Desisan kesal terdengar darinya. Menarik keluar ponsel dari dalam kantung celananya. Menghubungi seseorang.
"Kau dimana? DIMANA KAU SEKARANG, b******k!"
Sementara itu , Sarah semakin mempercepat langkah, sehingga membuatnya berlari. Berhenti di depan lift, Menekan tombol dengan LED panah ke bawah. Menggigit kuku kemudian. Terasa sangat lama baginya, ia berlari menuju tangga. Menapaki anak tangga secepat mungkin. Dalam pikirannya, sudah banyak persepsi yang tercipta. Apa benar Rama masih hidup? Jika itu benar, kenapa ia tidak menemui Sarah? Apa Rama melupakannya? Semua pertanyaan itu berlarian di otak Sarah.
Begitu tiba di lobi, ia memperlambat langkah. Mengedarkan pandangan. Mencari sosok yang di sebutkan Yura. Sosok yang mungkin saja benar itu Rama. Tepat di depan pilar bongsor, matanya terpaku. Melihat seorang pria dengan jaket jeans hitam. Mata besar, bulu mata lentik. Hidung mancung besar. Kulit sawo matang. Bibir yang terlihat seksi. Benar. Itu Rama. Itu adalah wajah Rama yang di ingat Sarah. Hanya saja tatanan rambutnya berbeda. Di sisir ke belakang. Rapi karena pomade. Sarah tersenyum. Hampir menangis. Terus berjalan mendekatinya. Satu tangan pria itu, memegang ponsel yang masih menempel pada telinga kanan. Pria yang di asumsikan Rama itu, juga menatap Sarah. Tanpa berkedip sedikit pun.
"Rama, itu benar kau? Ternyata kau benar-benar masih hidup. Ini nyata ini bukan mimpi."
Sarah terus menatapnya tak percaya. Kakinya tak berhenti melangkah. Meski, nafasnya sudah mulai berat. Tangan Sarah gemetar. Menghentikan langkah, begitu dirasa jarak dia dan pria itu sudah dekat. Air matanya berlari lurus di pipi. Pria itu menurunkan tangannya. Memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Mereka bertukar pandang untuk sesaat. Dengan keraguan, tangannya memegang pipi pria itu.
"Ini benar kau? Kau masih hidup? Brengs*k! kenapa kau tidak pernah memberitahuku? Kau tahu aku sangat khawatir tentangmu."
Air mata Sarah mengalir tanpa henti. Memukul pelan d**a pria itu.
"Rama, bagaimana kau bisa bertahan hidup? Bagaimana bias kau kembali kesini? Kenapa kau tak menghubungiku? Aku sangat mengkhawatirkanmu, bodoh. Tidak, itu tidak penting lagi .. Yang penting sekarang kau masih hidup dan telah kembali ke sisiku. Aku sangat bersyukur."
Pria menatapnya tanpa ekspresi, seolah-olah ia tidak tahu harus berkata apa. Mendengarkan semua perkataan Sarah. Menerima semua perlakuan Sarah. Sampai Sarah memeluknya pun, ia hanya diam. Hingga,
"Kau siapa?"
Mata Sarah melebar. Berhenti menangis. Perlahan-lahan melepaskan pelukan. Menatap pria yang ia yakini adalah rama, dengan ketidakpercayaan dan tercengang. Mengerutkan kening setelah itu.
"Kau.. tak mengenalku?
"Siapa kau? Apa aku mengenalmu?"
Mendengar itu, Sarah seolah mendengar petir menyambar langsung tepat di hatinya. Suasana menjadi hening dalam beberapa waktu.
"Ra-rama, jangan bercanda. Kau benar-benar tidak mengenaliku? Aku Sa-"
"Mas Alan, ternyata kau di sini. Aku mencarimu sejak tadi,"
Seorang wanita yang berparas cantik, mengenakan jaket bulu berwarna putih serta celana ketat hitam, Menyela kata-kata Sarah.
Sarah mengerutkan kening dan mengulangi kata-kata dari wanita itu.
"Alan?Pria ini namanya Alan?"
Wanita itu mendekat dan melingkarkan tangannya pada pria yang di panggilnya Alan. Membuat Sarah terpaksa mundur beberapa langkah. Mata Sarah yang berwarna coklat tegas, terarah pada tangan mereka.
"Kau mengenalnya? Apa dia kekasihmu yang lain?"
"Kekasih yang lain? Jadi wanita ini? Tidak.. tidak!"
Dia menggeleng berulang. Berusaha untuk tidak mempercayai semua ini.
"Entahlah. Dia tiba-tiba berlari ke arahku dan memelukku," kata Alan pada wanita itu.
"Kenapa dia tidak mengenaliku? Apa aku berhalusinasi? Aku melihat orang lain dengan wajah Rama? Tidak mungkin. Yura juga melihatnya. Apa mungkin dia bukan Rama? Tapi, kenapa dia ada di sini?
Perlahan Sarah melangkah mundur, kemudian berbalik. Dan berjalan menjauh dari mereka.
"Tidak. Ini tidak mungkin.. Pasti ini hanya mimpi. Ini khayalanku saja."
Dia mencoba meyakinkan diri sendiri, di saat yang sama sakit kepala kembali menyerangnya. Kali ini, lebih dari yang rasakan sebelumnya. Ia terbungkuk. Meremas rambutnya. Tapi, ia enggan berada di situ. Ia kembali berjalan meski terhuyung. Dalam pandangannya, semua seoalah meliuk-liuk. Ia memaksakan diri. Terus berjalan, meski sudah tak sanggup.Sementara Niko baru saja tiba di bawah, melihat Sarah dari kejauhan. Dia mengerutkan kening melihat Sarah yang kesulitan berjalan. Demikian pula, Alan. Tanpa sadar, ia perlahan mendekati Sarah.
Satu.
Dua.
Tiga.
Sarah jatuh ke samping, tepat saat Alan dekat dengan dirinya. Menangkap tubuh Sarah.
"Kau—baik-baik saja? Nona? Kau sakit?" Tanya Alan, cemas.
Mata Sarah hampir sulit terbuka. Bibirnya sulit berucap. Samar melihat wajah Alan yang menunjukkan keprihatinan. Tangan Sarah yang mulai lemas, masih mencoba meraih wajah Alan. Kemudian pingsan. Niko bergegas mendekati Sarah, setelah menelepon ambulan.
“Sudah menghubungi ambulan? Tanya Alan.
“Mereka bilang 20 menit lagi tiba."
"Itu terlalu lama! Pakai mobilku saja."
"Kami tidak tahu kau siapa. Lebih baik, pakai mobilku. Gendong dia ke depan kantor."
Alan bersusah payah bangun, dengan menggendong Sarah. Beberapa karyawan yang berada di lobi menyaksikan kejadian dramatis tersebut. Mereka saling berbisik, saling bertanya satu sama lain. Membicarakan pria yang memiliki wajah sama dengan anak atasan mereka, yang menghilang satu tahun yang lalu.
***
Begitu tiba di depan gedung Rumah Sakit, Niko bergegas membuka pintu mobil agar Alan segera membawa masuk Sarah. Satu perawat menyambut keduanya. Di jelaskan oleh Alan tentang keadaan Sarah. Perawat meminta Alan merebahkan Sarah di ranjang ruang IGD. Perawat itu pergi untuk beberapa detik dan kembali dengan meja dorong susun yang di penuhi dengan alat-alat seperti ventilator, mangkuk stainless, sekumpulan kapas, jarum suntik dan yang lain. Perawat memeriksa detak jantung Sarah menggunakan stetoskop. Kemudian memeriksa denyut nadi. Satu perawat lain datang.
"Bagaimana keadaannya?"
"Denyut nadi 40 per menit."
"Pasang ventilator."
Alan di paksa pergi oleh dua perawat tersebut. Keadaan Sarah sedikit parah.
"Cepat panggil Dokter Willy."
Setelah memasang ventilator, perawat berkulit sawo matang itu berlari ke meja informasi. Meminta pada mereka untuk memanggil Dokter Willy melalui pengeras suara.
Tak lama kemudian, yang di panggil datang. Segera memeriksa Sarah. Mendesah panjang ketika melihat sosok Sarah.
"Nona ini pasienku. Dia mempunyai riwayat penyakit khusus. Kita lakukan tes EKG. Di mana walinya?"
'Mungkin di ruang tunggu."
"Aku akan menemui walinya terlebih dahulu. Kalian siapkan alatnya."
Willy berjalan pergi. Melewati meja informasi di ruang IGD. Menuju ruang tunggu yang ada di sisi lain ruangan. Menghentikan langkah. Mengedarkan pandangan. Seorang nenek duduk dengan kepala tertunduk. Sepasang suami istri sedang berbincang. Satu pria yang seumuran dengannya duduk dengan cemas. Willy segera menghampirinya.
"Wali Nona Sarah?"
Niko segera berdiri. Raut cemas terus terilhat darinya.
"Bagaimana keadaannya?"
“Kita perlu melakukan EKG untuk memastikan kondisinya. Apa dia sering pingsan seperti ini?"
"Tidak. Ini pertama kalinya aku melihat dia pingsan. Apa kondisinya parah?"
"Kita belum bisa memastikan. Jika pemeriksaan EKG menunjukkan hasil normal, itu berarti dia baik-baik saja."
"Dokter.. tolong rawat Sarah dengan baik. Aku mohon."
"Tanpa kau memohon, aku akan merawatnya dengan baik. Aku seorang Dokter. Dan itu tugasku. Kau tunggu saja di sini dan segera hubungi keluarganya."
Niko mengangguk. Kemudian Willy pun kembali ke ruang IGD. Melakukan beberapa pemeriksaan pada Sarah. Beruntungnya, tidak ada hal yang serius. Sarah hanya mengalami shock berat dan sedikit stress. Itu yang membuatnya pingsan.
50 menit telah berlalu. Sarah di pindahkan ke ruang perawatan. Cairan infus mengalir perlahan melwati selang masuk ke dalam tubuhnya. Niko baru saja keluar untuk mengurus pembayaran, di saat yang sama Sarah membuka mata perlahan. Lampu terang menyilaukan matanya. Bibirnya yang kering mulai bergerak. Satu perawat yang baru saja masuk untuk memeriksa botol infus, segera memanggil Dokter.
"Kau masih merasa pusing Nona Sarah?" Tanya Willy, begitu ia masuk ke ruangan Sarah.
Sarah menggeleng semampunya.
"Keadaanku parah?"
"Tidak. Kau baik-baik saja. Berterima kasihlah pada tubuhmu yang menolak kau sakit parah."
Sarah tersenyum.
“Sepertinya, aku sudah mengingatkanmu tentang jangan lagi bertemu denganku di tempat ini."
Sarah diam sesaat. Menatap udara kosong di depannya.
"Aku melihatnya."
"Siapa?"
"Dia yang membuat kondisiku seperti ini?"
"Rama? Tunanganmu yang menghilang itu? Dia kembali?"
"Aku tidak tahu. Tapi, wajah itu.. wajah Rama. Temanku juga melihatnya. Tak mungkin jika itu hanya halusinasi ku saja."
"Lalu? Apa masalahnya? Kenapa kau pingsan? Seharusnya kau bahagia."
"Dia.. Tak mengenaliku. Dia tidak tahu siapa aku. Apa memang hal seperti itu bisa terjadi? Dia mengalami amnesia?"
"Aku tidak bisa menyimpulkan begitu saja. Dia harus melakukan pemeriksaan. Tapi, hal seperti itu bisa saja terjadi."
"Tapi.. dia ingat ayahnya."
"Kau tahu dari mana?"
"Aku melihatnya di lobi kantor hari ini."
"Kau kembali bekerja di sana? Sarah.. aku sudah melarangmu untuk tidak mendekati hal-hal yang bisa memicu rasa stress mu."
"Aku tahu. Tapi, aku merasa nyaman di sana. Aku merasa hidup kembali setelah bertemu dengan teman-temanku."
"Tapi, lihat kondisimu sekarang. Kau sudah cukup baik beberapa bulan belakangan."
Sarah diam.
"Apa Ibumu tidak melarangmu?"
"Dia khawatir.Dia ingin melarangku. Aku tahu itu. Tapi, dia tidak bisa menolak keinginanku."
"Apa mereka belum tahu? Tentang kondisimu?"
Sarah menggeleng.
"Aku juga mohon padamu. Jangan ceritakan ini pada siapapun."
Willy mendesah pasrah. Mengalah pada sifat keras kepala pasiennya.
Pintu bergeser kemudian. Niko, Laras dan Aldi masuk.
"Sarah! Kau sudah sadar," kata Niko
Sarah tersenyum pada mereka.
"Sarah, kau baik-baik saja sayang? Kenapa kau tiba-tiba pingsan? Dokter, bagaimana keadaanya?
"Seperti yang sudah aku jelaskan pada Niko. Sarah baik-baik saja. Semua pemeriksaan menunjukkan hasil yang bagus. Tapi, aku mohon kepada kalian, jangan sampai Sarah terlalu stress. Ajak dia sesekali berlibur. Bekerja terlalu keras tidak di anjurkan. Kau paham, Sarah?"
Sarah mengangguk dan tersenyum menatap Willy. Di balas senyuman oleh Willy. Di detik selanjutnya, ia mengusap lembut rambut Sarah. Membuat ketiganya tercengang.
"Kalau begitu aku pergi dulu."
Setelah Willy keluar dari ruangan, Ibu dan Aldi menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Siapa Dokter tampan itu? Apa hubunganmu dia? Apa kalian pacaran? Sudah berapa lama kenal?
"DIA SEDANG SAKIT!" Bentak Niko secara tiba-tiba.
Membuat ketiganya kompak menengok. Sementara, yang di lihat berkedip cepat. Tersenyum kikuk.
"Maaf, Hehe. Sa-sarah baru saja sadar. Lebih baik tanyakan lagi nanti."
Ketiganya diam.
"Tapi, benar kata Dokter tampan tadi," kata Laras. "Kau butuh liburan, Sarah."
" Bagaimana kalau kita mengunjungi Villa kan datanya sudah lama sekali kita tidak ke sana. "
" Itu ide yang bagus. Kita ajak yang lain sekalian biar ramai, "kata Niko
" Bagaimana menurutmu Mbak?" Aldi bertanya.
"Kalian saja yang atur. Aku pasti ikut. "
"Kalian tidak mengajak Ibu?"
"Ini acara anak muda. Ibu di rumah saja," kata Aldi.
Sarah tersenyum. "Kalian pulang saja. Aku benar-benar tidak apa-apa."
"Lebih baik, Bibi pulang bersama Aldi. Biar aku yang menjaga Sarah."
"Kalau begitu, Ibu akan mengurus pembayaran dulu."
"Itu.. Sudah aku selesaikan," jawab Niko.
"Hah? Kenapa?"
"Karena aku ingin saja. Sarah temanku."
"Aku Ibunya."
Niko diam. Berusaha memikirkan jawaban yang tepat. Sekali lagi, Aldi menyelamatkannya dari suasana canggung.
"Ibu.. Ayo pulang. Aku lapar."
Aldi menyeret paksa sang Ibu agar keluar ruangan. Niko pun duduk di kursi pendek tanpa sandaran, samping ranjang Sarah.
"Terima kasih, Niko."
"Buat apa?"
"Semuanya."
"Aku melakukan ini karena itu kau."
"Kenapa?"
"Suatu saat kau pasti tahu alasan sikap baikku padamu."
Sarah tersenyum.
"Tapi, kau benar pacaran dengan Dokter itu?"
Sarah terkekeh. "Kau juga penasaran?"
"Tidak boleh?"
"Dokter Willy adalah Dokter yang merawatku, ketika aku pulang dari Korea Selatan waktu itu. Ibu mengajakku kemari, agar melakukan pemeriksaan sekali lagi. Dan, disitulah aku pertama kali mengenalnya."
"Kau akrab sekali dengannya. Kau sering bertemu dengannya?"
"Yah, cukup sering. Tapi, akhir-akhir ini aku jarang mengunjunginya."
"Untuk apa kau mengunjunginya di sini?"
"Kau tak perlu tahu."
Niko mendesis kesal.
"Niko.."
"Apa?!" kata Niko, dengan nada kesal.
"Pria itu.. Apa benar dia bukan Rama?"
Niko mendesah singkat.
"Dia.. Adalah Alan. Anak dari pemegang saham terbesar di perusahaan kita."
"Apa kau yakin? Kau tidak sedang membohongiku, kan?"
"Tidak."
"Bagiku ini tidak masuk akal. Wajah mereka terlalu mirip. Tidak ada bedanya sama sekali."
"Pasti ada satu perbedaannya. Kita hanya tidak teliti. Dan terlalu terkejut melihat wajahnya yang mirip dengan Rama."
"Berarti.. Wanita itu.."
"Dia adalah tunangannya. Juga pemilik saham terbesar kedua di perusahaan kita."
Sarah mendesah panjang. "Aku tidak ingin mempercayainya. Tapi, aku tidak bisa melakukan apa-apa, selain harus percaya hal itu."
"Sarah," panggil Niko. Tangannya menggenggam tangan Sarah. "Maaf.. Aku sudah mengecewakanmu. Dan.. Maaf, aku harus mengatakan ini," lanjutnya. "Sudah waktunya, kau harus melupakan Rama. Ini bukan soal Rama masih hidup atau tidak. Tapi, ini tentangmu. Kau masih harus menjalani hidup, Sarah. Kau tak mungkin harus hidup dengan bayang-bayang Rama. Ikhlaskan Rama. Lupakan dia. Aku tahu ini sulit bagimu. Tapi, harus kau lakukan."
***
Matahari mulai bersembunyi. Bulan menggantikannya. Memberikan cahaya cuma-cuma pada bumi. Malam ini, Sarah seorang diri. Aldi sore tadi sempat kembali. Kemudian kembali pulang untuk menemani sang ibu di rumah. 30 menit yang lalu, Niko juga berpamitan pulang sebentar, untuk mengganti baju. Sarah turun dari ranjang. Mendorong tiang infusnya, mendekati tembok di sebelah pintu. Mematikan lampu. Kembali pada ranjang. Dan, merebahkan diri perlahan. Matanya memandang lurus ke atap ruangan yang gelap. Hanya ada sedikit cahaya lampu yang menembus kaca kecil pada pintu.
Ia mencoba mempercayai semua yang di katakan Niko. Tapi, sekali lagi. Hatinya tidak bisa berbohong. Dia sangat yakin. Jika pria itu adalah Rama. Namun, kembali lagi mengingat kata-kata Niko. Ini bukan perihal Rama masih hidup atau tidak. Tapi, ini soal dirinya sendiri. Ingin sampai kapan menyiksa diri seperti itu? Bunga yang sudah layu, takkan pernah mekar. Meskipun, kau menguras air sungai untuk menyiraminya. Bunga yang sudah layu, tidaklah untuk di simpan. Tetapi, di buang agar tak merusak pemandangan. Jangan pilih bunga mawar yang hanya melukaimu saat kau memetiknya. Pilihlah, bunga lily yang harumnya bisa menenangkan mu.
Semuanya tergantung jawaban hati Sarah. Dia ingin selamanya tersakiti oleh mawar. Atau mengambil bunga lily agar merasa nyaman. Asal kau tahu, hidup selalu memberikan. Setidaknya dua pilihan.
***
Sarah berada di atap rumah sakit, masih memakai piyama rumah sakit. Melihat seorang pria yang berdiri membelakanginya. Angin berhembus sedikit kencang. Membuat rambutnya berantakan. Di tautkannya, sekumpulan rambut di belakang telinga, yang menghalangi pandangannya. Ia kembali berjalan pelan tapi pasti. Di langkah yang ke 10, ia berhenti.
"Rama," panggil Sarah.
Rama memutar tubuhnya. Berhadapan dengan Sarah. Tersenyum kecil.
"Iya, Sarah. Ini aku. Aku kembali untukmu."
Mata Sarah melebar. Seolah-olah ia tidak percaya apa yang dilihat dan didengar. Sarah menautkan kedua alis. Dengan gugup mencoba memanggil namanya.
"Rama? Ini benar-benar kau? Kau sudah mengingatku?"
Kedua Tangan Rama, memegang bahu Sarah. Sedikit membungkuk. Menatapnya dengan penuh perasaan.
"Iya. Ini aku. Maaf, aku baru datang padamu hari ini. Maaf, karena membuatmu menderita seperti ini. Kau tahu? betapa aku merindukanmu? Aku selalu mencari tahu tentangmu lewat sosial mediamu. Aku sangat berharap kau selalu baik-baik saja. Dan, aku mohon Sarah.. Turuti apa perkataan Niko. Jangan menyiksa dirimu sendiri. Berhenti memikirkanmu. Karena aku akan lebih sulit melupakanmu di sini."
Dengan tangan dan tatapan mata yang penuh kegugupan, Sarah menyentuh pipi Rama. Yang membuat Rama menangis secara tiba-tiba...
"Rama, aku benar-benar merindukanmu. Kenapa kau berpura-pura tidak mengenaliku? Dan, kemana saja kau selama ini? Lalu, kenapa kau baru datang sekarang?"
"27 Februari. Tanggal ini, adalah tanggal yang di tentukan untuk pernikahan kita. Aku hanya.. Merasa kasihan padamu. Juga tak mampu menahan rasa rindu ini. Juga rasa penyesalan. Karena telah meninggalkanmu."
Satu mutiara bening matanya, sedikit membasahi pipi.
"Lupakan semua itu. Yang penting kau sudah kembali sekarang. Itu sudah cukup bagiku. Kau.. Tidak akan meninggalkanku lagi, kan? Kita.. Bisa memulai semua dari awal."
Rama dia sesaat. Kali ini, menggenggam kedua tangan Sarah.
"Maaf, Sarah. Aku tidak bisa. Aku harus pergi. Aku tidak bisa bersamamu."
Rama memeluknya erat. Membelai rambut panjang Sarah. yang mencapai punggung. Tanpa basa-basi, Sarah melepas pelukannya. Menggenggam tangannya.
"Kenapa? Kenapa tidak bisa? Apa kau sudah tidak mencintaiku lagi?"
Tampak wajah Rama memancarkan kesedihan, air matanya mulai bergulir.
"Aku.. Sangat mencintaimu. Bahkan lebih dari hidupku sendiri.
"Karena perempuan itu? Yang memanggilmu Alan?"
"Aku berharap kau tidak akan mencari jawaban yang hanya membuatmu sakit. Jika kau benar-benar mencintaiku, aku mohon berbahagialah, tersenyum seperti dulu ketika kau bersamaku. Jangan berpikir tentangku lagi" .
Dengan perlahan Rama mendekati Sarah. Memiringkan sedikit kepala. Mencium hangat pipi Sarah.
"Sudah saatnya aku pergi Sarah Jaga dirimu. Aku mencintaimu."
Perlahan Rama berjalan pergi, tangan yang telah bersatu sekarang perlahan-lahan terpisah. Lagi.
"Tidak! Rama, jangan pergi! Tanpamu aku tidak bisa. Aku bisa mati! Kembalilah, Rama!"
"Rama, jangan pergi!" Sarah
mengigau.
Satu.
Dua.
Tiga.
Ia tersentak bangun, perlahan membuka mata lalu samar-samar melihat seorang pria berjalan menuju ke arah pintu, membukanya dan keluar. Sarah mencoba untuk meraihnya, ingin memanggilnya tapi suaranya parau. Mungkin saja Rama, pikirnya. Sarah berusaha bangkit untuk mengejar dia tapi tidak bisa, tangannya meraih meja di samping tempatnya terbaring, tangannya berhasil menyentuh gelas. Namun, tangannya tergelincir dan gelas itu pecah. Niko yang berada di luar ruangan, baru saja tiba, mendengar suara gelas pecah, ia bergegas masuk Menyalakan lampu.
"Sarah? Ada apa? Apa yang terjadi?" Kekhawatiran menyelimuti Niko, ia mengusap bahu Sarah.
"Apa Rama menjengukku?" tanya Sarah gugup.
Matanya melihat sekitar mencari sosok Rama.
"Rama? Apa maksudmu?" Niko mengerutkan kening.
"Aku.. bermimpi tentang Rama. Kami berada di atap gedung. Dia memelukku, lalu bilang tidak lagi bisa bersamaku. Kenapa? Kenapa harus seperti itu. Apa karena wanita itu?"
Suara Sarah gemetar, ia mulai menangis. Niko memeluk dan membelai rambutnya.
"Tenangkan dirimu, Sarah. Semua akan baik-baik saja. Jangan menangis."
Lelah berada di sini. Tertahan oleh Trauma cerita cinta ini. Dan jika dia harus pergi. Andai dia pergi begitu saja. Aku berharap keberadaannya masih tersisa disini, Dan takkan pernah meninggalkannya.