Part 1
"Suamimu besok pulang, lho, Nya ... dandan yang cantik, ya...."
Mendengar perkataan Bunda, nyaris saja nasi goreng super pedas yang sedang kukunyah tersembur ke luar. Apa tadi Bunda bilang? Suami? Suami siapa?!
Untuk mengantarkan semua nasi yang berada di dalam mulut menuju kerongkongan, kemudian ke perut, aku mengambil gelas berisi air putih yang berada di depanku. Kuteguk hingga tersisa setengahnya.
"Maksud Bunda?!" aku ingin tahu, apa yang ada di benak Bunda dengan mengatakan suamiku akan pulang.
"Suamimu ... kamu, kan, udah nikah."
Menikah? Tunggu! Kapan aku menikah? Aku masih SMA, memang sebentar lagi aku lulus. Tapi ... boro-boro menikah, pacaran aja aku belum pernah. Ya karena itu tadi, Bunda melarangku untuk pacaran.
Aku menggeleng. Tak ada satu pun yang bisa kuingat tentang yang kata Bunda pernikahanku. "Anya nggak mudeng maksud Bunda, Bun...." Akhirnya itu yang bisa kuucapkan.
"Delapan tahun lalu, sebelum suami kamu berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan kuliah, kamu Ayah dan Bunda nikahkan sama anak temen Bunda dan Ayah. Saat itu, saat Ayah kamu udah mulai sakit-sakitan."
Saat membahas Ayah, rasanya air mataku selalu saja ingin tumpah. Ayah adalah satu-satunya pria yang paling aku sayangi di dunia ini. Tentu saja, aku anak tunggal. Begitu juga dengan Ayah-Bunda. Mereka tidak punya saudara kandung satu pun.
Ayah meninggal saat aku kelas 5 SD karena sakit yang diderita. Sejak saat itu, aku hanya punya Bunda. Bunda yang menjadi ibu sekaligus Ayah untukku. Bunda yang merawat, membesarkan, juga menyekolahkanku. Beliau sangat mencintai almarhum Ayah, itu yang membuatnya enggan menikah lagi.
Delapan tahun lalu ... itu artinya saat aku kelas 4 SD. Ya, saat itu Ayah memang sudah mulai sakit.
"Kalau Anya emang udah nikah, kok Anya nggak tahu, Bun?"
"Ayah-Bunda memang sengaja merahasiakannya biar kamu nggak kepikiran. Saat itu, Ayah takut kalau Ayah tidak akan punya waktu lagi untuk menikahkanmu. Calonnya udah ada. Baik, sholeh. Dan kami rasa, kami akan tenang kalau pada akhirnya, dia yang jadi suamimu."
Bunda berdiri, mendekatiku. Dipegangnya kedua bahu dari belakang kursi. Aku mendongak. Bunda pun sedang menatap ke arahku.
"Maafkan Bunda dan Ayah ... kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Putri kami satu-satunya."
Wanita yang sudah melahirkanku itu, mencium keningku. Air matanya menggenang di ujung mata. Rasanya aku tak sanggup melihatnya.
Jujur, aku memang sangat terkejut dengan kabar yang Bunda berikan pagi ini. Marah, kesal, tentu saja rasanya menggerogoti hati. Namun, aku bukan tipe anak yang marah pada orang tuanya jika ada hal yang tidak sesuai dengan keinginannya. Tujuh tahun kami hanya hidup berdua, Bunda terlalu berharga untuk aku musuhi.
"Kamu marah sama Bunda?" tanyanya dengan air mata yang masih saja menggenang.
"Marah, Bun ... sangat. Tapi semua udah terjadi. Mau gimana lagi...." Aku hanya bisa pasrah. "Tapi, dia ganteng, kan, Bun? Aku nggak mau, anakku jelek nantinya gara-gara ayahnya jelek."
Bunda tertawa. Yes, aku berhasil. Sesungguhnya, senyum dan tawa Bunda sangat berarti untukku.
"Enggak, Sayang ... kamu pernah beberapa kali melihatnya. Dia juga udah jatuh cinta sama kamu sejak kamu berusia tiga tahun. Saat itu dia kelas lima SD. Dia sering gendong kamu pas main ke rumah. Tapi mungkin, kamu belum bisa mengingatnya. Itulah, kenapa akhirnya kami menjodohkan kalian."
Hah?! Jatuh cinta saat aku baru tiga tahun? Sering gendong aku?
"Ih ... curang! Masa dianya tahu aku, aku nggak tahu dia, Bun?!" aku merajuk. Ini benar-benar tidak adil.
"Makanya ... besok pulang sekolah, kalian ketemu. Pedekate. Unik, kan, yang lain pedekate dulu baru nikah, kalian nikah dulu baru pedekate."
"Anya penasaran. Bunda nggak punya fotonya?"
Bunda menggeleng. "Enggak...."
"Bunda tahu media sosialnya?"
"Enggak tahu juga. Bunda nggak main medsos."
"Yah ... sayang...."
***
Esoknya, pulang sekolah aku diajak Bunda ke bandara untuk menjemput orang, yang katanya suamiku. Kami tidak berdua. Ada juga seorang pria seumuran Ayah. Beliau katanya ayah mertuaku. Wajahnya memang tidak asing. Namun, aku tidak benar-benar mengenalnya.
Pria itu hanya bersama sopir. Kata Bunda, istrinya memang sudah meninggal. Hhhh, janda dan duda. Kenapa bukan Bunda saja yang menikah dengan pria itu.
"Anya bentar lagi kuliah, ya, Nya?" tanya pria itu padaku.
"Iya, Om ... kalau lulus." Aku nyengir, memperlihatkan gigi-gigi putihku. Meskipun jarang ke dokter gigi, aku selalu rajin menyikatnya.
"Kok, Om? Papa, dong...."
"Ehm, iya, Om. Eh, iya, Pa...."
Risih rasanya. Bunda dan orang itu hanya bisa tersenyum lebar menanggapi sikapku.
Tidak sampai satu jam, kami sudah tiba di bandara. Kami menunggunya, duduk di tempat yang sudah disediakan.
Saat mendengar pesawat yang katanya dinaiki suamiku sudah tiba, pria berumur yang duduk di sebelahku, mengajakku dan Bunda untuk berdiri.
Tak lama, aku melihat laki-laki sedang berjalan ke arah kami. Dia tersenyum sambil melambaikan tangan. Demi Tuhan, dia sangat tampan. Apa benar dia suamiku?
Laki-laki itu sudah ada di hadapan kami. Dia menyalami kemudian memeluk pria di sebelahku. Setelah itu, dia menyalami Bunda.
"Sehat, Bar?" tanya Bunda.
"Sehat, Bun...."
Hah? Lagi-lagi dia curi start dengan memanggil bundaku juga dengan sebutan Bunda, bukan Tante.
Dia mengulurkan tangan padaku. "Hallo, istriku yang cantik ... akhirnya kita ketemu."
Aku muak dengan sikapnya. Tetapi hal itu justru membuat Bunda dan Papa mertua senyum-senyum kesenangan.
Aku membalas uluran tangannya. "Hallo."
Tanpa diduga, tiba-tiba saja dia mencium pipiku. Aku melotot ke arahnya. Kurang ajar sekali!
"Sabar, Bara ... istrimu masih sekolah. Jangan terlalu agresif," tegur Papa Mertua.
Yang ditegur hanya tertawa. s****n!
Tidak terjadi banyak perbincangan. Papa Mertua mengajak kami untuk makan siang. Ada hal yang membuatku kesal, beliau ternyata mengirim mobil ke bandara untuk dinaiki aku dan laki-laki banyak polah itu.
Tidak ingin membuat Bunda malu, aku hanya bisa menurut.
"Terima kasih, sudah ikut menjemputku," ucapnya saat kami sudah berada di dalam mobil.
Aku tidak merespons. Untuk apa?! Pemandangan di luar juga lebih indah daripada harus melihatnya. Bisa-bisa, dia besar kepala kalau dilihatin.
"Aku tahu ... kamu masih shock. Tapi aku yakin, kamu tidak akan pernah menyesal menikah denganku."
What?! Pede sekali dia....