Prolog

1024 Words
Author P.O.V Di Kota Jakarta, tepatnya di satu rumah dengan rumah dua lantai yang terlihat minimalis. Di kamar yang berada pada lantai dua, tampak seorang gadis sedang tertidur begitu pulas. Gadis dengan rambut panjang coklat, dan baju tidur seperti kemeja lengan pendek kebesaran. Alisnya yang tidak begitu tebal, kulitnya yang kuning langsat, hidung yang mancung serta jangan lupakan bibirnya yang merah merona. Dengkuran halus terdengar menunjukan betapa lelah gadis itu. Tok! Tok! Tok! "Ka Sati! Bangun kak!" kata seseorang dengan sesekali mengetuk pintu kamar. Angraeni Pramusita Ayunisari atau yang kerap disapa Sati. Dia seorang mahasiswi di salah satu universitas swasta yang ada pada Kota Jakarta. Universitas Merdeka, itulah nama tempatnya berkuliah. Tepat ketika dia memasuki dunia perkuliahan, kedua orangtuanya mengalami kecelakaan yang menyebabkan kedua orangtua mereka tidak bisa diselamatkan. Dan saat ini, dia tinggal di rumah peninggalan kedua orang tua nya bersama dengan sang adik yang masih berusia delapan tahun. Untunglah dulunya sang ayah telah berhasil melunasi rumah yang ditinggali sehingga Sati tidak perlu merasa kesulitan untuk melunasi rumah. Sudah tiga tahun ini, Sati disibukan dengan dunia perkuliahan serta dunia kepenulisan. Ya! Sati menghidupi dirinya dan sang adik dengan uang hasil penjualan buku novel yang ditulis olehnya. Sati pun kadang bekerja sebagai freelancer sehingga kadang dia bisa mendapatkan uang tambahan. "Iya, kakak udah bangun!" kata Sati yang baru terbangun. Dia berjalan perlahan dan membuka pintu kamar. Tampak sang adik yang sudah siap dengan seragam putih merah nya. "Ka, sepuluh menit lagi jemputan Nia mau dateng. Kakak bisa tolong kuncirin rambut aku gak?" tanya sang adik yang bernama Adinia Wirasasti Ayunisari. Meskipun dia masih kelas 3, tapi Sati mengakui kalau adiknya ini memiliki otak yang cerdas sehingga sering membuat Sati merasa bangga akan prestasi sang adik. Sering juara satu di kelas, mahir dalam beberapa pelajaran, bahkan dia juga sering mengikuti perlombaan baik itu akademik maupun non akademik. Sati tersenyum dan menyuruh sang adik untuk segera duduk di atas sofa kamarnya. Dia mengambil kunciran di tempat aksesoris dan langsung merapihkan rambut sang adik. "Kakak tanggal 31 Desember nanti ada acara?" tanya Nia yang dijawab gelengan Sati. "Enggak ada kok, emang kenapa sayang?" tanya nya. "Kalo Nia mau ajak temen Nia kesini boleh ga kak? Soalnya mama nya temen Nia kemarin baru aja meninggal." kata Nia meminta izin sehingga Sati tersenyum dan mengelus kepala sang adik. "Boleh, kalau perlu ajak sahabat kamu kesini juga gapapa kok. Nanti kakak juga ajak sahabat kakak ya ke rumah, kita bisa rayain bareng-bareng deh!" jawab Sati yang berhasil membuat sang adik tersenyum bahagia. Setelah selesai menata rambut Nia, Sati langsung mengambil dompet dan mengeluarkan uang dua puluh ribu dan memberikan ke adiknya. "Ini buat Nia ya. Ingat, kalau ada sisa nanti langsung di tabung." kata Sati. Ini adalah kebiasaan yang sering diajarkan Sati kepada sang adik, dia mau adiknya tumbuh menjadi anak yang hemat dan suka menabung. "Wah! Makasih kak! Pas banget aku lupa bayar uang kas minggu kemarin." ujar Nia dengan cengiran khas nya. "Iya yaudah yuk turun! Kamu udah siap kan?" tanya Sati memastikan yang membuat Nia tertawa dan menganggukan kepalanya. Kakak beradik itu langsung melangkah turun ke lantai satu, Nia mengambil sepatu hitamnya sedangkan Sati mengeluarkan kucing yang mereka pelihara dan mereka namakan Chennai. "Chennai, lo nanti kalo nyari laki harus yang kucing kaya raya ya. Kan lumayan tuh nanti anakan lo kalo udah over bisa gw open addopt." racau Sita yang membuat sang adik hanya menatap jengah. Nia bahkan tau kalau dimana-mana kucing tidak bisa memilih pasangan mereka kenapa tidak kakaknya saja yang mencari pendamping kaya setidaknya itulah yang ada di pemikiran Nia. "Kakak tuh belom butuh obat kan? Kayaknya ngaco mulu kalo ngomong. Awas kak nanti otaknya rusak lho." ledek Nia yang hanya dijawab gelengan kepala Sati. "Dasar. Udah ah kamu siap-siap dulu, kakak mau ke dapur sebentar." ujarku. "Ka, Nia mau makan pakai tumis teri bawang yang waktu itu kakak masak ya kak!" pinta sang adik yang membuat Sati tersenyum lebar. "Okay, kamu nanti bawa kunci rumah ya! Kakak nanti mau ke tukang jahit dulu soalnya." ujarku. Tin! Tin! "Ka, Nia berangkat ya. Assalamualaikum!" pamit Nia yang langsung berjalan menghampiri mobil jemputan. "Waalaikumsalam! Belajar yang bener! Tulang titip Nia ya!" ujarku. "Siap lah Sita!" jawab tulang logos, penjemput Nia. Setelah sang adik pergi, Sati kembali membereskan rumahnya dengan sesekali melihat ke arah jam untuk memastikan kalau dia akan selesai sebelum jam sepuluh. Saat mendengar suara motor dan teriakan khas tukang sayur, dia langsung bergegas keluar rumah untuk menghentikan tukang sayur itu. "Wah neng Sita. Mau beli apa nih neng?" tanya tukang sayur yang dipanggil Mang Oji. "Mang, Sati mau beli teri medan dua bungkus terus bawang merah sama bawang putih nya masing-masing sepuluh ribu ya mang!" pinta nya. "Wah siap lah kalo begitu. Ada lagi ga neng?" tanya Mang Oji. "Sama tahu tempe deh mang, ada tepung krunchy ga ya?" tanya Sati balik memastikan. "Ada dong. Mang Oji kan lengkap selalu." jawabnya yang membuat gadis 22 tahun itu tertawa. "Eh ada Sati!" sapa salah satu ibu tetangga yang membuat Sati tersenyum. "Iya, bu." jawabnya dengan tersenyum. "Jarang banget keliatan, dek. Kan ibu mah kadang masak mau bagi kamu. Ini kamu lagi libur?" tanya ibu tetangga nya ini yang dia jawab gelengan. "Enggak bu. Ini lagi ada jam siang, makanya Sati bisa santai hehehe. Nia minta di masakin tumis teri medan bawang jadinya mumpung ada waktu, Sati masakin deh." ujarnya. "Nah nih neng, semuanya jadi tiga puluh ribu!" kata Mang Oji yang langsung membuatnya segera memberikan uang sesuai dengan total belanjaan. Setelah itu, dia berpamitan dan segera masuk ke rumah. Sejak kepergian kedua orangtuanya, Sati selalu berusaha untuk memenuhi tanggung jawab menggantikan kedua orangtuanya sehingga sang adik tidak perlu merasa kekurangan kasih sayang. Sati yang memiliki sifat yang tegas, penuh sopan santun, serta feminim mendidik sang adik. Kadang dia seperti seorang ayah yang akan waswas untuk menjaga adiknya, kadang seperti seorang ibu yang selalu memperhatikan adiknya, dan dia juga seperti seorang kakak yang selalu ada untuk adiknya. Pada awalnyapun Sati bukanlah seseorang yang bisa semua hal. Dia belum terbiasa masak mengingat dulu ada sang mama yang selalu memanjakan para anak-anak gadisnya, dan sekarang dia menjadi seorang gadis dengan penuh sifat mandiri dan pekerja keras. Sungguh membanggakan!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD