❗E m p a t❗

471 Words
Pagi ini aku kesiangan. Seharusnya jam enam tadi aku bangun dan mengantar ibu lebih pagi daripada biasanya, tetapi aku malah bangun jam setengah delapan. "Kamu ke kampus aja, Dhar. Ibu bisa ke pasar sama Dani kok." "Gapapa, Bu?" "Gapapa. Udah cepat sekarang kamu mandi terus pergi ke kampus." Aku mengangguk lalu segera bersiap-siap dengan gerakan yang cepat. Sepuluh menit lagi sudah memasuki jam delapan, tetapi aku masih berada di rumah. "Dhara berangkat, Bu," ucapku sambil menyaliminya. Ibu mengangguk lalu aku pergi dari rumah. Berjalan dengan cepat menuju kampus. Di tengah-tengah perjalanan, aku sempat melirik ke arah jam. Dua menit lagi aku terlambat. Aku langsung berlari dengan kencang, tidak peduli banyak pasang mata yang memandangku dengan tatapan aneh. Aku berhenti di depan ruangan Pak Aarav. Mengatur deru napasku yang tidak beraturan. Aku mengeluarkan sehelai tissue lalu mengelap keringat yang membanjir pelipisku. Setelah itu, aku membuka pintu itu. Namun, pintu itu masih terkunci. Aku mengetuk-ngetuk, mungkin saja dikunci dari dalam, tetapi tidak ada respons apapun dari dalam ruangan. Aku yakin, Pak Aarav belum datang. Hembusan napas kasar keluar dari mulutku. Aku sudah berjuang agar tidak terlambat, tapi ternyata malah dia lah yang terlambat. Mau marah pun rasanya tidak sopan sehingga aku memilih untuk duduk dan menunggu kedatangannya. Sambil menunggu, aku membuka ponselku. Tiba-tiba ada sebuah pesan masuk dari Pak Aarav. Aku membaca pesan itu dengan seksama. Pak Aarav (Dosen Rese) Saya telat. Baru bangun. Tunggu satu jam lagi. Baik Pak Batin. Batin. Sepertinya dari sekarang aku harus berusaha memaklumi dan menyabarkan diri apabila berinteraksi dengannya. Baru permulaan saja, kesabaranku sudah benar-benar diuji. Semoga aku tahan sampai skripsi ini selesai. Satu jam lebih dua puluh menit kemudian akhirnya dia datang. Kemeja hitam dan celana bahan serta raut wajah yang datar cukup membuat auranya terasa menyeramkan. "Masuk," ucapnya sambil membuka pintu ruangan. Dia masuk lebih dahulu lalu aku mengikutinya dari belakang. Seperti biasa, aku duduk di kursi tamu, sedangkan dia duduk di kursi kebesarannya. "Mau bahas apa?" tanyanya sambil memggeser duduknya lebih dekat dengan meja. Aku mengeluarkan sesuatu dari dalam tasku kemudian memberikan kepadanya. "Ini, Pak. Kerangka penelitian saya. Kemarin saya sudah ajukan judul lalu Bapak yang ditunjuk sebagai pembimbingnya." Dia mengangguk lalu mengambil alih kerangka penelitianku. Dia membuka-buka dari halaman satu ke halaman selanjutnya. Membacanya dengan seksama lalu bersiap untuk mengambil pulpen. "Kalau bisa jangan dicoret-coret, Pak," ucapku cepat. Dia terdiam, menatapku tajam. "Tidak mau saya koreksi?" tanyanya dengan suara berat. Aku menelan ludahku sebelum menjawab. "Mau, Pak. Tapi, coret-coretnya jangan panjang-panjang." Dia masih menatapku tanpa bergeming. Sepertinya aku salah bicara, "yaudah, Pak. Gapapa. Coret-coret aja." Dia mengangguk lalu segera mencoret-coret isi kerangka penelitianku. Beberapa saat kemudian, dia mengembalikan kerangka penelitianku dengan keadaan yang benar-benar kotor. "Kamu pahami dulu kesalahannya di mana. Setelah itu kita diskusikan," ucapnya setelah itu bangun dari duduknya, "saya keluar dulu." Lagi-lagi aku menghela napas berat. Sabar. Sabar. Cobaan. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD