❗T i g a❗

477 Words
Langkahku bergerak menyurusi lorong-lorong kampus dan berhenti tepat di depan ruangan Pak Aarav. Hari ini sudah genap seminggu semenjak pertemuanku dengannya terakhir kali. Hari ini aku akan kembali menanyakan janji bimbingan dengannya. Tidak ingin mengalami kejadian seperti kemarin sehingga sebelum memasuki ruangannya aku menyempatkan diri untuk mengecek jam. Saat ini sudah jam dua yang berarti saat ini bukan jam istirahat dosen atau dengan kata lain, Pak Aarav bisa ditanyai segala sesuatu yang berhubungan dengan perkuliahan. Aku mengembuskan napas pelan lalu mendorong gagang besi untuk membuka pintu kaca itu. "Assalamualaikum, permisi, Pak," sapaku sambil berusaha untuk tersenyum. Pak Aarav yang sedang membuka dokumen di mejanya langsung menoleh ke arahku. "Masuk," dia menujuk ke arah kursinya, "duduk di situ. Saya sedang mengoreksi tugas mahasiswa. Kamu tunggu sebentar," ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Aku mengangguk lalu menuruti perintahnya. Bermenit-menit berlalu, kami berdua masih diselimuti dengan keheningan. Pak Aarav masih sibuk mencoret-coret makalah mahasiwanya, sedangkan aku termenung dengan pikiran kosong. "Pak, maaf. Apakah masih lama?" tanyaku setelah setengah jam berlalu. Dia melirik ke arahku sekilas. "Sebentar lagi," ucapnya bersamaan dengan coretan panjang yang dia buat di makalah itu. Aku seketika menelan ludah. Seram sekali Pak Aarav apabila sedang mengoreksi. Aku jadi membayangkannya bagaimana keadaan skripsiku nanti. Pastinya penuh dengan coret-coretan panjang seperti itu. "Pak," panggilku setelah satu jam lebih aku diam membisu. "Iya. Besok pagi, jam delapan kita bimbingan. Di ruangan saya," ucapnya tiba-tiba. Aku mengubah posisi dudukku agar lebih tegak. Mataku menatap lurus ke arahnya. "Besok kan hari Minggu, Pak," ucapku tidak terima. Bukannya kenapa-kenapa, hanya saja setiap hari Minggu aku akan mengantar Ibu ke pasar. Apalagi Pak Aarav meminta bimbingan kami pagi-pagi, tentunya bentrok dengan rutinitasku. Dia menjatuhkan pulpennya lalu menatapku dengan tatapan lebih tegas. "Saya bisanya besok. Terserah kamu bisa atau enggak." Tidak boleh emosi. Tidak boleh membuat masalah. Demi kelulusanku agar lebih cepat. Aku mengulang kata-kata itu di dalam hati. Setelah dirasa emosiku bisa lebih dikendalikan barulah aku kembali menatapnya. "Baik, Pak. Besok pagi saya akan datang ke sini." "Iya." Aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas. "Pak, boleh minta kontaknya? Biar komunikasi kita bisa lebih lancar," ucapku. Sejujurnya niatku meminta kontaknya agar janji bimbingan kami bisa dilakukan melalui pesan, tanpa harus bertemu langsung. Aku tidak ingin membuang-buang waktuku hanya untuk melihat Pak Aarav mencoret-coret makalah. Benar-benar tidak penting. Dia mengambil ponselnya lalu menggeser benda itu lebih dekat denganku. "Masukan nomormu," perintahnya. Aku terdiam sebentar. Ini kan aku yang sedang meminta kontaknya, tapi malah dia yang meminta kontakku. "Saya lupa nomor saya," ucapnya dengan penjelasan singkat. "Oh, iya, Pak." Aku buru-buru memasukan nomorku ke ponselnya, "sudah, Pak," ucapku sambil memberikan ponselnya. "Ya sudah. Kamu boleh keluar." "Baik, Pak. Terima kasih." Aku keluar dari ruangannya dan tiba-tiba ada panggilan asing masuk ke dalam ponselku. Aku mengangkatnya dan terdengar suara Pak Aarav dari seberang sana. "Ini nomor saya." "Oh iya, Pak." Dan seketika panggilan terputus. Mungkin pulsanya habis. Entahlah. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD