The First Anniversary

1869 Words
"Al gila ya kamu!!" Aku melongok ke luar jendela, kuncinya jatuh di dekat tanaman, tapi aku tidak bisa mengambilnya karena jendelaku di teralis besi. "Biar aku gila! Asal kamu gak pergi lagi dari aku." Antara marah dan kesal aku memukul dadanya. "Mau kamu apa sih hah? Kamu gak cape apa buat aku kecewa terus!" Aku berpikir, kalau aku teriak, nanti orang-orang heboh, ibu kos punya kunci cadangan tapi kalau dia dan yang lain mergokin aku berdua sama Aldrich di dalam kamar, nanti mereka berpikir macem-macem. Bisa-bisa aku di usir dari sini. Tapi gimana keluarnya? Tak lama aku melihat mang Ujang mengambil kunci itu. "Mang..." si mamang tersenyum tapi malah menjauh. "Loh mang...." aku bingung. "Saya pegang dulu ya neng. Kalau udah selesai ngobrol sama mas Aldrich baru saya bukain.." What??? Aku melotot menatap Aldrich. Dia pasti udah nyogok mang Ujang. Awas aja ya mang, sering aku beliin makanan juga, sekarang malah belain cowok ini. Sial!! "Kamu mau ngomong apa? Cepet kita selesaiin. Aku gak suka kayak begini..." aku duduk dipinggir ranjang. "Ta, jangan marah terus donk. Kasih aku kesempatan beresin masalah kita. Aku gak suka kita begini." "Ya buruan apaan?" "Aku udah ajak Caca ketemuan siang ini. Kita samperin bareng-bareng. Kita selesaikan semua kesalahpahaman ini. Please..." Aldrich menggenggam kedua tanganku. Aku menghela napas pelan, sebenarnya aku malas ketemu cewek itu tapi kelihatannya Aldrich bener-bener mau aku percaya sama dia. Aku melihat wajahnya menatapku cemas, aku tahu dia merasa bersalah. Aku juga cape sedih dan parno terus. Aku beranjak ke tasku, mengambil ponselku dan menghubungi mang Ujang untuk membukakan pintu. Pria paruh baya itu tersenyum masam dan meminta maaf. Aku menatapnya tajam. "Jam berapa? Aku mau siap-siap dulu." "Satu jam lagi. Thankyou Ta.." Aku berjalan ke kamar mandi membasuh wajahku. Aku mengambil baju dan berdandan sedikit. Aku tetap membiarkan Aldrich yang sedari tadi terus mengawasi semua gerakanku. Satu jam kemudian kami sampai di mall tempat janjian. Kami langsung naik ke foodcourt dan menunggu. Aldrich membelikan minuman kesukaanku. Cih, dia mengingat hal kecil seperti ini membuatku sedikit senang. Aku juga membeli cemilan, perutku lapar, tapi aku gak bisa makan tenang dan nikmat kalau permasalahan ini belum selesai. Sudah hampir satu jam kami menunggu. Tapi batang hidung cewek itu gak kelihatan. Aku mendengus, sedangkan wajah Aldrich berubah kesal. Aku bangkit dari dudukku dan menatapnya. "Kalau dia emang gak punya niat buat ganggu hubungan kita, dia gak bakal lakuin ini. Dia pasti nongol n lurusin semua salah paham ini. Itu pun kalo dia niat. Buktinya sekarang! Mana dia? Dia emang pengen ngancurin kita. Tapi kamu dengan bodohnya percaya sama dia daripada sama aku. Sekarang mana cewek sok polos itu hah? Heran deh sama kamu..." aku melengos berjalan meninggalkan cowok bego itu. Bodo amat dia mau menyusulku apa gak. Kalo sampe Aldrich gak sadar juga berarti aku udah gak punya alasan untuk melanjutkan hubunganku sama dia. Aku hanya bisa memendam kekecewaan didalam hati, sedikit menyesal membiarkan cowok ini mengisi penuh seluruh hatiku. ^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^* Keesokan paginya Aldrich sudah menungguku di depan gang. Aku hanya menghela napas, aku juga lelah harus marah dan menerima permintaan maaf terus-terusan dari cowok itu. Hubungan itu, apa ya, saling memberi dan menerima. Cowokku itu agak gak peka, ya begini jadinya, gak ngeh kalo mantannya pengen ajak balikan dengan cara yang gak jelas. Sedangkan aku, si keras kepala, sehingga Aldrich harus ekstra meminta maaf sama aku terus-menerus. Bukan kita berpikiran jelek sama orang, tapi ya namanya juga persaingan cinta, harus waspada. Kalau aku gak begini, Aldrich malah ngerasa aku gak kenapa-kenapa, terus mereka nanti ketemuan lagi. Gimana? Aku juga yang bakal uring-uringan sendirian. "Ta, sarapan bareng ya? Udah berapa hari aku gak sarapan pagi Ta. Aku gak napsu makan Ta." Dia menyetir sambil sesekali memegang tanganku. "Terserah aja..." "Taaa, jangan marah lagi ya. Aku janji, aku bakal dengerin omongan kamu. Aku gak akan bikin kamu sedih lagi Ta." Kami berhenti di tempat bubur ayam langganan Aldrich, aku menatapnya heran saat cowok itu makan 2 piring bubur seperti sudah lama tidak makan. Apa iya bener dia gak napsu makan? "Aku sayang kamu Ta." Ucapnya sebelum kembali melajukan mobilnya ke kantor. Tak bisa dipungkiri, Aldrich satu-satunya cowok yang berhasil menjungkir-balikkan kehidupanku. Aku tidak bisa kehilangan cowok ini. "Aku sayang kamu juga Al." ^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^*^* Aku mengolah fillet ayam itu, setelah merendamnya di tepung basah selama 30 menit, lalu melumurinya dengan tepung kering dan menggorengnya. Sambil menunggu aku menyiapkan cabe untuk di ulek. Sebentar lagi ayam geprek versiku ready. Aku melirik Aldrich yang sedang menyiapkan meja nonton dengan selembar kain. Menaruh satu lilin kecil di meja itu dan berjalan ke arah dapur. Cowok itu mencium pipiku lalu mengambil dua gelas kosong dan minuman sari apel di kulkas dan menata kembali di meja. Dia meletakkan beberapa lilin kecil di sudut-sudut ruangan. Malam ini hujan, untung kami cepat sampai di apartemen setelah pulang belanja tadi. Aku tersenyum, hari ini kami merayakan satu tahun hubungan kami. 4 bulan setelah insiden sang mantan, hubungan kami kembali membaik. Cewek itu sudah tidak mengganggu lagi. Kami sudah jauh lebih memahami sifat masing-masing. Hanya sedikit bertengkar itu pun karena hal sepele. Maklum, kami masih dalam tahap pendalaman hubungan, masih banyak yang harus saling kami beri dan terima. Sebenarnya hari ini Aldrich mengajakku makan malam diluar, tapi aku lebih suka menghabiskan waktu berdua saja dirumah selain lebih intim juga irit. Hehe. Maklum, walau Aldrich dari keluarga kaya tapi aku tidak mau dia mengeluarkan uangnya sembarangan hanya untuk makan direstoran mahal hingga menghabiskan jutaan rupiah. Sayang kan, uangnya bisa buat yang lain. Setelah selesai masak, aku menyajikan masakanku. Ayam geprek sambel dower penuh Cinta. Haha. Kali aja bisa buat inspirasi kalau aku punya modal buat buka usaha nanti. Kami mulai makan. Aku sengaja bikin ayam lebih, Aldrich pasti nambah, aku senang kalau dia lahap makan masakanku. "Jangan nambah terus Al.. belum makan cakenya nanti.." sahutku sambil menggeleng saat menerima sodoran piringnya minta nambah nasi untuk yang ketiga kalinya. Dia manggut-manggut, lalu melanjutkan makannya. Aku mengulum senyumku, rasanya melihat dia makan banyak saja membuatku merasa kenyang dan senang. Aku belum pernah pacaran lebih dari 6 bulan. Aku merasa nyaman sama Aldrich, mudah-mudahan dia juga begitu. Bulan lalu saat kami pergi ke Bandung menemui orangtuanya, Mama Aldrich menyinggung tentang keseriusan hubungan kami. Tapi aku tidak terlalu menanggapi, bukan aku tidak berpikir serius, tapi ya umurku masih 22 tahun, aku masih mau cari pengalaman sebelum memutuskan untuk menikah. Aldrich juga belum settle pekerjaannya. Keinginannya untuk memiliki usaha sendiri masih di angan-angan. Jika memilih untuk menikah maka bukan hanya cinta yang jadi pegangan. Tapi masa depan pun harus dipikirkan. Lagipula sepertinya Aldrich juga belum berpikir masalah itu. Aku juga santai aja. Selesai makan cowokku itu berleha-leha di depan tv sementara aku mencuci piring dan membersihkan dapur. Aku terkikik melihat perutnya sedikit maju. Makannya gak kira-kira banyaknya kayak satu minggu gak pernah makan. Tadi sore kami beli ice cream cake BR bertuliskan Happy First Anniversary. Tapi nanti saja makannya, kasihan dia kekenyangan. Lagipula malam ini masih panjang. Kami nonton sambil ngobrol panjang lebar. Hampir setiap weekend aku menginap di apartemen Aldrich. Tapi tenang, hubungan kami masih di batas normal. Aku sudah pernah lihat punya dia begitupun sebaliknya, tapi belum sampai ke tahap menyelam ke dalam ya. Haha. Kami masih berusaha menahan untuk tidak pemilu sedini mungkin, walau kadang sering hampiiiirrr lupa. Ups!! Seperti saat bulan Maret lalu Aldrich berulang tahun, hampiiir aja kebablasan, mungkin terbawa suasana romantis, untung Rio dan Rangga menginterupsi kegiatan kami. Mereka tidak berhenti menggoda kami karena lama membukakan pintu. Malam itu juga mereka menginap ditempat Aldrich jadi untuk sementara masih aman. Huft! Bukan aku tidak ingin, tapi aku perlu jaminan apakah hubungan kami akan berakhir bersama. Bukan tidak yakin juga, mungkin nanti ya entahlah... Aldrich merebahkan kepalanya dipangkuanku, jemariku memainkan rambutnya. Aku senang suasana seperti ini, rasanya seluruh keletihan setelah 5 hari bekerja terbayarkan dengan 2 hari istirahat dirumah. "Al, pak Ringgo gak bakalan kerja lagi ya?" "Katanya sih gitu. Sekarang semua perusahaan di pegang Rangga, dia udah ambil alih Samudera Biru Jakarta n Jawa. Makanya sekarang dia sibuk banget kan? Hampir seminggu sekali dia keluar kota kunjungan kantor cabang." Aku manggut-manggut. "Kasian juga Adeline ya, sering ditinggal Rangga." Samudera Biru perusahaan yang sedang berkembang, ada 5 cabang diluar Jakarta, yaitu Bandung, Surabaya, Serang, Medan, dan Yogyakarta, kampung halaman pak Ringgo. "Iya sih, tapi kalo Adeline sabar nungguin Rangga toh kerja kerasnya bakal dia yang nikmatin kalo mereka merit nanti kan?" Kami sudah jarang pergi sama Rangga dan Adeline. Biasanya kami triple date bareng Pingkan dan Andreas. Tapi sejak Rangga jadi CEO kantorku, cowok itu sudah jarang bisa hangout bareng. Aldrich bilang dia juga jarang kumpul di club. Pingkan juga lagi agak sibuk siapin pernikahannya yang akan di adakan 5 bulan lagi. Aku senang saat sahabatku itu memintaku jadi maid of honor nya. Itung-itung latihan buat pernikahanku nanti. "Kamu beneran gak mau ikut aku ke Bandung minggu depan? Cuma nginep sehari kok babe.." Aldrich mengelus lenganku. Cowokku itu mau beli motor baru, jadi motornya sekarang mau dijual dan ada yang mau lihat. Minggu depan dia pulang ke Bandung naik motor. Membayangkan harus duduk sedikit menungging selama tiga jam sudah membuatku sakit pinggang. "Gak ah... males babe.. nungging gitu..." "Ya udah kalo gitu nunggingnya sekarang aja." Kerlingan jahilnya sambil menyurukkan kepalanya ke perutku membuatku terbahak. Aldrich menggelitik pinggang dan ketiakku hingga aku merebah di sofa dan dia di atasku. Aku terus tertawa memintanya berhenti tapi dia terus menggodaku. Napasku tersengal. "Stoph.. cukupp...hhh..." kami berdua masih menarik napas sambil tersenyum. "Makan cakenya sekarang ya.. sambil tiup lilin.." cowok itu mengangguk. Aku berjalan ke kulkas mengambil cake lalu meletakkannya di meja. Aldrich menyalakan lilin kecil yang menancap tepat di tengah. Kemudian dia mematikan lampu. Suasana temaram membuat suasana menjadi romantis. Aku memejamkan mata dan berdoa. "Semoga hubungan kita langgeng. Di jauhkan dari orang-orang yang berniat buruk tapi gak ngaku." Aku membuka satu mataku, kami tertawa bersama. "Kedepannya lebih baik lagi dan makin sayang satu sama lain. Amin" Aldrich menatapku, kami meniup lilin itu bersama. Lalu saling menyuapkan ice cream dingin itu. Wajahnya meringis saat merasakan dinginnya makanan itu. Aku tertawa "hmmm, enak...". Aldrich menatapku diam, matanya turun ke bibirku. "Ada ice cream nyasar ya?" reflek tanganku mencari. Dia tersenyum, bibirnya mendekat ke bawah bibirku, menjilat ice cream disana. Jantungku mulai berpacu. Dia menjilat bibirnya sendiri, aku menyendok ice cream lagi untuk menghilangkan kegugupanku, tapi sendokku langsung disambar olehnya. Dia langsung memakannya. Membuatku mendengus. "Bilang donk kalo mau, aku ambilin sendok lagi." Aku berdiri tapi Aldrich meraih pinggangku. Aku terjatuh dipangkuannya. Sesuatu mengganjal tepat di bokongku. Aku mengerti maksudnya, aku melingkarkan satu tanganku di lehernya, dan satu tangan lagi meraih sendok yang masih dipegangnya. "Aku mau makan ice creamnya dulu." Sahutku pura-pura polos. Aku menyendokkan ice cream kemudian menjilati sendoknya. Membuatnya menggeram pelan. "Btw kamu siapin hadiah apa nih buat aku?" Ucapku iseng. "Emang kamu siapin hadiah?" OMG, tanpa sadar aku kena jebakan batman. Padahal aku gak siapin apa-apa kok bisa-bisanya aku nanya. Aku jadi malu sendiri. Cowok itu tersenyum kecil sambil mencubit pipiku. Kemudian menggeserku, Aldrich masuk ke kamar dan tak lama keluar sambil membawa kotak kecil. Aku tercengang menatapnya, padahal aku hanya bercanda minta hadiah, tapi ternyata dia memang sudah menyiapkan hadiah untukku. Aldrich duduk disampingku, dan menyerahkan kotak berpita itu. Aku menatapnya takjub. "Buka aja..." Aku membuka kotak itu dan terkejooed. "Al, ini kan..." ^*^*^*^*^*^*^*^*^*^CUT^*^*^*^*^*^*^*^*^*  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD