The Birthday

1286 Words
Setiap hari Aldrich selalu menjemput dan mengantarku pulang. Lama-lama kebiasaan itu menarik perhatian orang-orang dikantor yang sering melihat kami bersama, ditambah berkurangnya nyinyiran yang keluar dari kedua mulut kami akhir-akhir ini membuat mereka menduga-duga. Seperti sekarang ini, aku seperti disidang oleh Pingkan, matanya menatap tajam, sambil melipat tangannya di d**a dan berdiri diantara mejaku dengan mejanya. Aku hanya terus menunduk sambil tersenyum simpul. "Ada yang mau lo ceritain ke gw Ta?" Kalimatnya tajam, setajam silet. "Apaan?" "Lo, sama noh... yang dari tadi senyam-senyum mupeng kalo liatin muka lo." Aku melirik ke arah kubikel Aldrich, tanpa dosa cowok itu melambaikan tangannya dan aku membalas. Mata Pingkan semakin menyipit. Dengan pasrah aku menceritakan tentang hubungan kami. Tanggapannya?? Cewek satu ini tertawa terbahak-bahak membuat semua yang di ruanganku ikut penasaran. "Kena kan lo berdua! Ampuh kan doa gw.." kami hanya tersenyum malu-malu. Akhirnya malam itu kami mentraktir Pingkan dan tunangannya, Andreas, sebagai tanda terima kasih karena Pingkan lah yang paling sering mendoakan kami. Haha. Setelah dua bulan berjalan, semua orang akhirnya tahu tentang hubungan kami. Awalnya mereka terus menggoda tapi lama kelamaan terbiasa juga. Hanya ada satu orang yang terlihat terganggu, Santi, karyawan bagian purchase dilantai empat. Entah kenapa aku menilai dia tidak suka melihat kedekatanku dengan Aldrich. Apa dia juga suka sama cowokku? Entahlah... Weekend ini kebetulan hari jumat tanggal merah. Aku berencana pulang ke Cikarang. Tapi Aldrich mengajakku ke Bandung, mengunjungi orangtuanya sekaligus mengenalkanku pada mereka dan menghadiri acara pernikahan sepupunya disana. Walau kami baru berhubungan selama dua bulan tapi kami serius. Kami sudah merubah panggilan dari lo-gw menjadi aku-kamu, supaya lebih saling menghargai. Siapa tau jodoh kami sampai menikah. Amin. Aldrich sudah memberitahu kedua orangtuanya tentangku. Aku pun sudah beberapa kali videocall dengan mama mertuaku. Ups, mama mertua.. ihiiy... Tante Hanna, mama Aldrich sangat senang saat tahu anaknya punya pacar. Karena ini pertama kalinya Aldrich mengenalkan seorang perempuan ke orangtuanya, membuat aku sedikit bangga aku menjadi pacar serius pertama Aldrich. Hari kamis malam sepulang kerja kami berangkat ke Cikarang, kami akan menginap satu malam disana. Aku mengajak adikku yang kecil ikut ke Bandung, itu salah satu alasan juga supaya Papa tidak terlalu khawatir. Walaupun Papa sangat percaya padaku, tetap saja aku harus harus berjaga diri, kejadian di kosku mungkin akan terulang jika kami dalam keadaan yang sama. Aku hanya ingin tidak terlalu cepat. Takut menyesal dikemudian hari. Dengan ikutnya adikku menghindarkan kami untuk selalu berdua saja. Papa menerima Aldrich dengan baik. Memang papa orangnya ramah, temanku saat sekolah dulu senang main kerumah kami karena papaku sangat welcome. Papa lebih suka kami membawa teman kami main dirumah daripada keluyuran gak jelas. Aldrich juga tidak canggung dekat dengan adik-adikku. Dia anak tunggal, sehingga senang melihat rumahku ramai. Kami berangkat ke Bandung jumat siang setelah makan siang. Jantungku berdebar saat Aldrich mengatakan rumahnya sudah dekat. Dia merasakan kegelisahanku. "Calm down Ta, Mami suka sama kamu kok walau belum pernah ketemu. Santai aja.." Aku mengangguk. Saat tiba dipintu pagar rumahnya, aku sedikit melongo. Rumah Aldrich tergolong besar dan mewah, padahal cowok itu terlihat sederhana. Jelas-jelas Aldrich membawa mobil Ho*da Jazz keluaran terbaru dengan plat nomor D 21 CH itu, dia juga tinggal di apartemen diwilayah mahal, kenapa aku gak ngeh'in itu? Aku ga terlalu mengerti soal mobil dan harga apartemen sih. Sepasang orangtua paruh baya berdiri di depan pintu rumah saat kami turun dari mobil. Aku memasang senyum terbaikku. "Halo... ini pasti Cinta. Lebih cantik dari aslinya." Wanita itu langsung menghampiriku lalu memeluk sambil cipika cipiki. Tante Hanna pun memeluk adikku. Oom Alfa, Papa Aldrich menjabat erat tanganku. "Ayo masuk" ajaknya. Kami berjalan masuk ke dalam rumah besar itu. Rumahnya rapih, dengan perabotan sederhana. Dihalaman samping terdapat kolam ikan yang luas, sedangkan halaman belakang untuk garasi mobil. Oom Alfa bekerja di pemerintahan kota Bandung sedangkan tante Hanna hanya ibu rumah tangga. Mereka berdua sangat ramah. Kami disediakan kamar di ujung, kamar itu dulunya milik kakak perempuan Aldrich tapi menggal karena sakit saat kecil dulu. Kamarnya jauh dari kata seram. Malah sangat sejuk. Berbagai buku bacaan tersusun rapih dilemari, pas sekali adikku Chelsea sangat senang membaca buku. Sabtu pagi acara pernikahan sepupu Aldrich sangat megah. Maklum saja pasangannya keluarga pengusaha batubara sehingga acara pemberkatan hingga pesta dimalam harinya berlangsung mewah. Untung aku membawa dua baju yang berbeda. Aldrich mengenalkanku dengan seluruh keluarga besarnya. Beberapa saudaranya ada yang berbisik dengan jelas bahwa aku gemuk tapi Aldrich kelihatan cuek dan terus menggenggam tanganku. Maklum, kami sedang jatuh-jatuhnya dalam cinta, semua terlihat indah. Bahkan jika cowokku itu hanya pakai karung beras pasti kubilang sempurna. Hehe. Hari minggu pagi kami pamit pada orangtua. Kami berangkat pagi karena harus mengantar Chelsea dulu baru kembali ke Jakarta. "Kapan-kapan main kesini lagi ya Ta. Tante seneng ada temen ngobrol." "Iya tante. Kalau ke Jakarta kabarin aku ya tan, tar kita shopping ke mangga dua. Hehe" Kedua orangtua itu mengantar sampai keluar halaman rumah. Terlihat sekali mama Aldrich masih rindu pada anaknya. Beliau menitipkan Aldrich padaku, membuat aku bahagia dengan restunya pada hubungan kami. Aldrich melajukan kendaraannya meninggalkan kediaman orantuanya. Aku mengelus pelan lengannya. Aku tahu Aldrich berat berpisah dengan orangtuanya terutama mamanya. "Kita sering-sering ya ke Bandung Al." Wajah cowok itu berubah sumringah mendengar perkataanku. Aku senang kalau kekasihku itu senang. *_*_*_*_*_*_*_*_*_*_*TBC*_*_*_*_*_*_*_*_*_* Hubungan kami selama setengah tahun ini berjalan lancar. Hanya intrik-intrik kecil yang terjadi tapi hanya sebentar. Aldrich orang yang cukup tertutup. Jarang mengungkapkan perasaannya, sikapnya pun tidak terlalu posesif. Bagiku cukup setiap hari sejak pukul 07.00-19.00 kami bersama walau jarang berdua. Sudah berapa kali kami ke Cikarang dan Bandung, saling menghabiskan waktu dengan keluarga kami. Akupun semakin dekat dengan tante Hanna. Aku sudah dianggap seperti keluarga sendiri. Aldrich juga beberapa kali mengajakku ikut nongkrong bersama teman club motornya. Mereka komunitas pecinta motor Kawasaki Ninja yang entah berapa cc aku tidak mengerti, pokoknya motornya seperti yang dipakai Valentino Rossi untuk balapan Moto GP setahuku. Beberapa kali juga aku bertemu dengan Rangga, anak atasanku yang juga satu Club dengan Aldrich. Kami jarang ngobrol, hanya bertegur sapa saja karena biasanya cowok itu membawa pacarnya, Adeline, aku sering ngobrol dengan gadis imut berparas cantik itu karena jarang ada cewek yang ikut nongkrong. Adeline seumuran denganku, tapi badannya lebih mungil. Ada juga Mario, teman mereka yang cukup ember untuk ukuran laki-laki. Tapi orangnya asik. Dia juga sahabat Aldrich dan Rangga sejak sekolah. Aku mengetahui sisi lain Aldrich jika sedang bersama sahabatnya. Bulan ini November, bulan ulang tahunku. Aku sudah menyusun rencana untuk menghabiskan waktu bersama Aldrich. Sayangnya rencana itu sedikit berantakan karena aku harus lembur. Aldrich mengatakan bahwa akan menungguku di apartemennya. Tepat pukul 7 malam aku berangkat ke apartmennya dari kantor menggunakan ojek online supaya cepat sampai. Sebelumnya Aldrich sudah memberikan kunci cadangan agar aku bisa masuk dengan mudah kerumahnya. Kami tidak pulang bersama karena Aldrich bilang ingin menyiapkan sesuatu untukku. Setengah jam kemudian aku sampai, aku langsung masuk kedalam, tetapi aku tidak melihat tanda-tanda cowok itu disana. Aku mencari disetiap sudut rumah tapi batang hidungnya saja tidak terlihat. Aku melihat kunci mobilnya tergantung di pinggir lemari, kunci motornya yang tidak ada. Kemana dia? Aku mencoba menghubungi tapi tidak di angkat. Sudah hampir pukul sembilan aku menunggu tetapi dia tetap tidak ada. Menyebalkan, ulang tahun apa ini? Yang ulang tahun malah dibikin bete. Aku tetap menunggu selama setengah jam, tapi cowok itu belum kelihatan juga bahkan kini teleponnya tidak bisa dihubungi sama sekali. Akhirnya aku putuskan untuk pulang. Aku sudah menangis sedari tadi. Entah kemana dia aku tidak tahu dan aku tidak peduli. Saat turun ke lantai lobby, security apartemen yang mengenalku, pak Roni mengatakan bahwa tadi Aldrich datang pukul enam sore lalu pergi lagi setengah jam kemudian dengan aksesoris lengkap motornya. Aku jengkel, pasti acara club motornya. Aku lapar, kecewa, dan sedih. Ini ulang tahun terburuk sepanjang umurku. Aku langsung menjatuhkan tubuhku diranjang, dan menangis sampai tertidur. *_*_*_*_*_*_*_*CUT*_*_*_*_*_*_*_*  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD