Chapter 05

2906 Words
Vika menghela napas panjang seraya menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur, hampir seharian naik pesawat benar-benar membuat tubuhnya lelah walaupun ia sempat tidur dalam perjalanan pulang. "Mulai dari sekarang kamu harus banyak-banyak bersyukur, walaupun itu hal kecil sekalipun. Ubah sifat buruk kamu di mata mereka, buktiin ke mereka kalo kamu itu gak gak kayak apa yang mereka pikirin. Mulai dari sekarang kamu juga harus lebih hargai waktu, gunain waktu sebaik mungkin. Kamu gak sendirian, ada aku yang selalu bantu kamu untuk jadi orang yang lebih baik lagi." Vika dapat mengingat jelas kalimat Zio saat malam terakhir mereka berada di negara orang. Kalimat Zio mampu menggetarkan hati Vika, kalimat Zio yang mampu menggerakkan hati Vika untuk melakukan apa yang Zio katakan. Vika beralih duduk seraya menghela napasnya. Mata Vika tertuju ke arah meja riasnya. Vika beranjak berjalan menuju meja riasnya untuk mengambil sesuatu dari dalam laci. Namun sebelum mengeluarkan apa yang ingin ia ambil Vika terlebih dahulu mengeluarkan sebuah buku berukuran kecil dari tas nya. "Tinggal satu juta, uang kuliah belum dibayar." Vika menghela napas duduk di kursi meja riasnya. Vika mengambil ponselnya untuk menelepon seseorang. Jantung Vika berdegup kencang ketika sambungan telepon terhubung namun tidak diangkat. Vika meletakkan ponselnya karena panggilan telepon nya tidak kunjung diangkat. Tangan Vika bergerak membuka lemari kecil yang ada di bagian bawah meja riasnya mengeluarkan kotak berukuran sedang. Vika beralih duduk di karpet lalu membuka kotak yang merupakan tempat ia menyimpan keseluruhan make-up. "Udah tau uang pas-pasan, malah beli kayak gini." Gumam Vika mengeluarkan kebutuhan make-up nya. "Yang ini baru beli." "Yang ini baru sekali pake." "Kalo yang ini mahal." "Yang ini... Lipstik Mama." Vika mengasingkan lipstik milik ibunya di meja riasnya. Vika menatap iba lipstik, bedak, dan segala macam make-up nya yang baru ia beli sama sekali belum terpakai tersusun rapi di karpet. "Maaf ya, kalian aku jual. Aku lagi butuh duit." Ucap Vika. Vika terkesiap ketika melihat Zio masuk ke kamarnya dimana pintu kamarnya memang sengaja ia buka. "Kok dikeluarin?" Zio menatap make-up Vika yang ada di karpet. "Emm... Iya, lagi pengen liat-liat aja." Vika tersenyum. Zio duduk di dekat Vika mengambil lipstik berwarna merah. "Ini yang aku beliin kan?" Vika mengangguk dengan perasaan tidak enak. "Eh jangan." Vika mengelak saat Zio hendak memakaikan lipstik yang masuk dalam daftar yang akan dijual ke bibirnya. "Kok gak mau?" Vika menggeleng. "Sayang kalo di pake." Vika mengambil lipstiknya dari tangan Zio. ️ "Kamu mau kemana? Biar aku anter." "Gak mau kemana-mana kok." Zio memperhatikan penampilan Vika dengan tas selempang yang berada di bahu kanan kekasihnya. "Terus tas itu?" Zio menunjuk tas Vika. Vika menatap tas nya dan buru-buru membukanya. "Oh ini, tadi aku cuma mau pake aja, aku gak mau kemana-mana kok." Vika tersenyum terpaksa ketika melihat raut wajah Zio. "Aku mau tidur siang." "Ya udah aku temenin." Vika menggeleng, "gak usah. Aku cuma takut tidur malem. Karena kalo udah malem aku inget kejadian soal om aku itu, waktu itu Om aku udah pegang kaki aku pas aku lagi tidur. Terus aku juga masih suka mimpiin Mama aku yang dia, gantung diri." Vika menundukkan kepalanya. Zio mengelus kepala Vika. "Jangan takut, ada aku. Walaupun aku gak bisa nemenin kamu 24 jam tapi aku bisa jaga kamu selama aku mampu." Vika mengangkat kepalanya dan tersenyum. "Aku gak papa tidurnya sendirian, ini kan siang." Vika menoleh ke arah jendela kamarnya dimana langit terlihat begitu cerah. "Aku juga di rumah gak ngapain-ngapain." "Kamu urusin aja hewan peliharaan kamu." "Tapi aku..." "Aku mau tidur, bye. Hati-hati pulangnya." Vika mendorong Zio keluar dari kamarnya mengantar Zio sampai ke depan pintu apartemen. "Telfon aku kalo kamu butuh sesuatu." Vika mengangguk melambaikan tangannya pada Zio yang mulai berjalan. Setelah Zio pergi Vika langsung menutup pintu apartemennya dan pergi ke kamarnya. Vika memasukkan make-up nya yang akan ia jual kedalam tas. Vika tidak langsung pergi melainkan duduk selama beberapa menit sebelum ia yakin jika Zio sudah pergi dari kawasan apartemen nya. ️ Vika menghela napas melihat hasil uang dari ia menjual make-up nya, uang yang ia dapat masih sangat kurang untuk membayar uang kuliahnya, dimana uang kuliah tersebut harus dibayar ketika sudah masuk nanti. Sebagai mahasiswa internasional di salah satu Universitas yang ada di Singapura tentunya Vika membutuhkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya, bisa mencapai ratusan juta. Vika yang sedang memikirkan bagaimana caranya ia mendapatkan uang tambahan seketika merasa lega dan senang saat melihat sebuah kertas tergeletak di sisi kursi yang ia duduki. Vika langsung mengambil kertas yang isinya mengenai lowongan pekerjaannya. Vika pun beranjak dari duduknya berlari kecil menuju tempat yang sedang membutuhkan tenaga kerja. Sekitar lima menit kemudian Vika berdiri di depan toko penjual pernak-pernik memperhatikan toko yang luasnya tidak terlalu luas dan dipenuhi oleh barang-barang yang sering diburu oleh para turis yang datang. "Excuse me, Mr." Vika menyapa seorang pria yang sedang duduk sambil mengelap mainan kunci yang sedikit berdebu. Pria tersebut menoleh. "I need this job." Vika memberikan kertas yang ia pegang pada pria tersebut. Pria itu langsung berdiri dan mengajak Vika masuk ke dalam toko nya. Dengan senyum yang tersungging Vika mengikuti pria itu. Vika menaruh tas nya di pangkuannya ketika sudah duduk berhadapan dengan sang pemilik toko. Vika melirik kipas angin berukuran kecil yang terlihat sudah tua hingga tak mampu berputar dengan kencang. Kipas angin tersebut hidup namun Vika tidak dapat merasakan anginnya sedikitpun. "I only need your identity, can I see it?" Tanya pria tersebut. Vika langsung mengangguk mengambil dompetnya dari tas dan memberikan identitas nya dalam bentuk kartu. Vika mengetuk-ngetuk tas nya dengan telunjuk sambil memperhatikan sang pemilik toko. "Oh, kamu berasal dari Indonesia? Saya juga." Mata Vika sedikit membulat. Vika tersenyum karena ia yakin jika dirinya akan diterima dengan mudah. Pria itu ikut tersenyum kembali memperhatikan identitas Vika. Vika mengambil identitas nya yang sudah dikembalikan dan memasukannya ke dalam tas. "Kamu seorang mahasiswi internasional." "Iya, pak. Saya diterima kan?" "Maaf, saya tidak bisa menerima kamu." Jantung Vika langsung berdebar. "Sesuai aturan yang sudah ditetapkan, mahasiswa ataupun mahasiswi internasional dilarang bekerja, saya pikir kamu tau itu." Dan Vika baru mengingatkannya, Vika baru ingat jika dirinya yang berstatus sebagai mahasiswi internasional memang tidak diizinkan untuk bekerja selama ia memegang student's pass. "Tapi... Tapi saya benar-benar butuh pekerjaan, tolong terima saya." Kata Vika dengan memelas. "Maaf, tidak bisa. Kamu bisa dituntut jika melanggar aturan tersebut." Bahu Vika merosot turun seraya menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. "Satu-satunya cara agar kamu bisa bekerja, cepat selesaikan masa kuliah kamu." Katanya dengan wajah penuh permohonan maaf, pria itu dapat melihat raut wajah sedih Vika dan ia tahu bahwa gadis yang ada di depannya sedang menahan tangis. Tapi mau bagaimana lagi, ia juga tidak bisa melanggar aturan yang ada, jika ia melanggarnya sama saja ia sudah menjerumuskan Vika. ️ "Udah biaya hidupnya tinggi! Uang kuliah mahal! Gak boleh kerja lagi, ih!" Vika menutupi wajahnya dengan kedua tangan. "Kenapa gak mikir sih dari awal, sekarang aja lagi susah baru terasa udah gak punya apa-apa." Vika mengambil tas nya yang ada di lantai mencampakkannya ke tengah tempat tidur. Vika berbaring terlungkup menyembunyikan wajahnya di bantal. "Ntar kalo Vika udah gede jadi dokter ya, dokter gigi. Gigi Mama kan sering sakit jadi kalo anak Mama yang jadi dokter giginya Mama pasti Mama seneng banget, seneng karena dirawat sama anak sendiri." Vika mulai terisak kecil. "Tapi sekarang Mama udah gak ada!" Vika memukul bantalnya. Puas melampiaskan rasa kesalnya dengan memukul bantal Vika beralih duduk dan menghapus air matanya yang keluar tidak seberapa. Vika beranjak karena mulia merasa lapar, Vika yang sudah hampir keluar kembali masuk ke kamarnya dan berdiri di depan lemari. Vika pun membuka lemari pakaiannya. Helaan napas keluar dari hidung Vika saat melihat isi lemari nya begitu berantakan. Bukannya tergantung ataupun terlipat dengan rapi, semua pakaian Vika terbengkalai acak-acakan hingga ketika lemari dibuka sebagian pakaian Vika terjatuh dari lemari. Vika mengeluarkan semua pakaiannya dari dalam lemari dan menaruhnya di tempat tidur. "Berubah, mulai dari hal kecil." Gumam Vika seperti menyemangati dirinya sendiri. Vika duduk di tepi tempat tidur mengambil satu baju kaus nya yang berwarna putih dan melipatnya. Vika berdecak kesal melihat hasil lipatan baju nya tidak rapi dan Vika kembali mengulang. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali. Hingga berkali-kali tidak kunjung rapi di mata Vika hingga ia memutuskan pergi ke dapur untuk makan karena sudah sangat lapar. Kosong. Itulah yang dapat Vika lihat di dalam kulkas nya, tidak ada apa-apa. Vika kembali ke kamar dengan rasa kesal yang kembali memuncak. Vika menjatuhkan kepalanya diantara tumpukan pakaiannya. Ternyata seperti inilah kehidupan yang sesungguhnya, pikir Vika. Vika belum pernah merasa sesusah ini. Ketika masih bersama kedua orang tuanya Vika dapat makan dengan enak dan kenyang serta dompet Vika yang selalu dipenuhi dengan uang. Dulu Vika juga selalu menyuruh pekerja yang ada di rumahnya untuk melipat pakaiannya, merapikan tempat tidurnya. Tapi sekarang, tidak ada lagi yang bisa ia suruh. Saat mendengar suara bel apartemennya berbunyi Vika langsung keluar dari kamar. "Kamu udah makan?" Tanya Zio ketika pintu apartemen Vika terbuka. Vika menggeleng. "Kebetulan, aku bawa makanan." Zio tersenyum menunjukkan kantung plastik yang berisikan makanan pada Vika. Vika ikut tersenyum, di dalam hati Vika mengucapkan syukur. "Kenapa kamu belum makan?" Tanya Zio sambil masuk berjalan ke arah dapur. "Aku... Belum laper." Zio menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul tujuh malam. Wajar pikir Zio jika Vika belum lapar karena biasanya Vika makan malam sekitar pukul delapan. "Jadi ini mau dimakan nanti?" Sekarang! Vika menelan ludahnya dan mengangguk. "Oke, aku taruh di meja aja ya?" Zio menaruh plastik makanan tersebut di meja. "Tadi kamu lagi apa?" "Ngelipet pakaian aku." Balas Vika dengan mata melirik ke arah plastik transparan yang ada di meja makannya. "Udah selesai?" Vika menggeleng. "Mau aku bantuin biar cepet selesai?" Tawa Zio. "Emang kamu bisa." Zio tertawa, "bisa dong. Ayo, di kamar kamu kan?" Vika mengangguk. Zio berjalan terlebih dahulu, baru saja melangkah Zio berhenti dan berbalik menatap Vika. "Gak ada pakaian..." "Oh, gak ada." Vika mengerti apa yang Zio maksud. Zio mengangguk lalu masuk ke dalam kamar Vika. "Kamu yakin bakal selesai malem ini?" Tanya Vika menatap Zio yang terdiam dengan mata tertuju ke arah tumpukan pakaiannya yang menggunung. "Mungkin." Vika beralih menatap pakaiannya. "Kamu makan aja dulu, biar aku yang ngelipet." "Gak papa?" Zio mengacungkan jempolnya sambil tersenyum. "Aku makan sambil bantuin kamu." "Gak u..." Zio urung melanjutkan ucapannya ketika Vika langsung pergi dari kamar. ️ "Yang pertama itu bagian tangannya dulu, kayak gini." Vika memperhatikan tangan Zio yang sedang melipat pakaiannya dengan begitu serius. Sambil mengunyah Vika mengambil baju nya yang lain dan melipatnya. "Satu sampe sepuluh." Vika menunjukkan hasil lipatan bajunya pada Zio. "Emm... Jujur ya." Vika mengangguk. "Enam." "Jangan sedih, kamu masih bisa coba lagi. Kalo udah terbiasa pasti hasilnya jadi bagus." Ucap Zio sambil mengelus pipi Vika. Zio tersenyum ketika Vika mengangguk. Zio dan Vika sama-sama menoleh ke arah ponsel Vika ketika layar ponselnya menyala ada panggilan masuk. Secepat kilat Vika mengambil ponselnya dan pergi keluar kamar. Zio memperhatikan pintu kamar Vika dimana Vika baru saja keluar. Tak lama Zio kembali melipat pakaian Vika. Tidak sampai lima menit, Vika sudah kembali sambil menggenggam ponselnya di depan d**a. "Kamu lanjut makan." Ujar Zio ketika melihat Vika duduk di depannya. Vika mengangguk dan kembali makan. "Besok keluarga aku mau ke rumah aku." Kata Zio disela-sela ia melipat pakaian. "Kamu gak mau ikut dateng ke rumah aku? Soalnya bakal ada barbeque jam sembilan." Lanjut Zio berharap Vika mau datang ke rumahnya. "Kenapa jam sembilan?" "Mami Papi aku ada acara bentar katanya, jadi nunggu mereka pulang." Zio menatap Vika yang sedang mengaduk-aduk makanannya. "Mau dateng?" "Aku usahain." "Karena ada Nia kamu mikir-mikir dulu buat dateng?" Dengan jujur Vika mengangguk. "Aku cuma tau masalah yang ada diantara kamu sama Nia itu sekedar Nia gak suka sama kamu dan kamu gak suka di deket Nia karena Nia selalu gangguin kamu. Tapi aku gak tau penyebab dari masalah kalian itu apa, aku nanya Nia, Nia malah nyuruh aku nanya sama kamu." "Boleh aku tau penyebabnya apa?" Tanya Zio. "Ntar kalo aku cerita kamu gak percaya kayak Nia." "Percaya." Zio langsung menggeleng. "Bohong." Zio menyingkirkan pakaian Vika yang menjadi penghalang untuk dirinya dan kekasihnya. "Percaya Vika, aku percaya." Vika mengangkat kepalanya yang tertunduk. "Bener?" Zio mengangguk. "Emm... Waktu itu aku ada ketemu sama Nia. Ketemunya sehari abis Mama aku meninggal, kayaknya di situ Nia masih SMP tapi sampe sekarang Nia masih inget aku." "Kalian pernah ketemu?" Tanya Zio cukup terkejut. Vika mengangguk. "Aku udah cerita kan sama kamu soal Om aku yang suka pergi ke club terus suka mabuk." Zio mengangguk. "Jadi waktu itu aku lagi nungguin Om aku di luar club. Aku sama sekali gak masuk, aku dateng karena aku nungguin Om aku. Terus pas Om aku udah keluar dari club Om aku mabuk berat sampe dia jatuh beberapa kali. Ya aku bantuin dia berdiri, pas aku bantuin Om aku dari pinggir pasar ada yang merhatiin aku. Orang itu Nia, Nia merhatiin aku sama Om aku dari mobil. Aku gak tau kalo ada Nia karena aku yang merhatiin sekitar aku. Aku tau nya waktu kamu ngajak aku ke rumah kamu untuk pertama kalinya, kan waktu itu juga ada Nia. Aku di dapur berdua sama Nia dan di situ dia langsung nunjukin sikap gak suka nya ke aku. Aku bingung kenapa Nia langsung gak suka, akhirnya dia kasih tau alasan dia gak suka sama aku. Alasannya karena dia pernah liat aku di club sama om-om, Nia pikir aku baru aja keluar dari club bareng om-om. Karena Nia salah paham aku jelasin, tapi Nia nya gak percaya." Terang Vika. Zio terdiam. Diam nya Zio membuat jantung Vika berdebar. "Kamu gak percaya ya?" Zio yang sedang memperhatikan lampu tidur Vika beralih menatap Vika. "Kalo emang kayak gitu ceritanya kenapa aku harus gak percaya? Berarti masalah nya sekarang Nia yang salah paham." Vika menghela napas panjang. "Mungkin kalo aku yang cerita Nia bakal ngerti." "Gak usah, udah aku jelasin kok ke Nia. Gak papa kalo Nia gak percaya yang penting aku udah jelasin. Kamu jangan jelasin lagi, nanti dipikir Nia aku ngadu ke kamu." "Sampe kapan Nia mau terus-terusan salah paham?" "Suatu saat nanti Nia pasti ngerti kok." ️ "Kamu kok ngusir aku?" Zio bingung kenapa dirinya diminta untuk pulang oleh Vika padahal dirinya baru tiba. "Kalo ada kamu terus di apartemen aku kapan aku bisa..." Vika menoleh ke arah pintu apartemen ketika mendengar suara bel. Vika berdecak kecil dan berjalan ke arah pintu apartemennya. Zio berdiri memperhatikan seorang pria yang sudah berumur namun tetap terlihat tampan masuk ke dalam apartemen Vika bersama dengan seorang wanita dan anak kecil. Zio tersenyum saat dirinya mendapatkan tatapan dingin. "Kamu siapa?" "Saya pacar Vika, Om." Vika menundukkan kepala ketika tatapan tajam tertuju ke arahnya. "Berani kamu bawa laki-laki ke sini?!" "Maaf, Pah." Zio terkejut. Pah? Pria itu tertawa meremehkan, "jangan harap kamu bisa sama anak saya, punya apa kamu berani-beraninya dekati anak saya?" "Saya..." "Pulang!" "Tapi Om, saya..." "Jauhi anak saya. Masih ada laki-laki yang baik dan kaya yang mau sama anak saya. Kalau kamu paling cuma bisa minta uang sama orang tua selesai kuliah langsung jadi pengangguran." "Pah jangan ngomong gitu." "Kamu!" Vika menutupi wajah dan kepalanya saat tangan Ayahnya terangkat ke udara. Tubuh Vika sudah bergetar ketakutan. "Ayah seperti apa yang tega memukul anaknya? Bahkan anak perempuannya." Zio menahan tangan pria yang merupakan Ayah Vika. Pria itu menarik tangannya menjauh dari tangan Zio. "Sebelum kesabaran saya habis, keluar." Katanya dengan nada rendah sambil menunjuk pintu. "Sayangi, bukan sakiti anak Anda." "KELUAR!" "Kamu keluar aja, aku gak papa." Vika menarik Zio untuk keluar dengan mata yang berkaca-kaca. "Kamu ikut aku ke rumah." Vika menggeleng dan langsung menutup pintu apartemennya saat Zio sudah keluar. Vika menghapus air matanya dan dengan takut-takut ia mendekati Ayah nya yang masih berdiri dengan kedua tangan berada di pinggang. "Jangan jadi perempuan murahan." Air mata Vika kembali menetes dengan kepala yang tertunduk. "Ayo sayang kita ambil minum." Vika melirik wanita dengan pakaian ketat berjalan ke arah dapurnya sambil menggandeng tangan anak laki-laki. Prang. Mata Vika terpejam saat guci berukuran kecil yang ada di atas meja terjatuh ke lantai akibat perbuatan anak laki-laki itu. Vika dapat melihat anak tersebut melakukannya dengan sengaja. "Bereskan itu!" Kata Ayah Vika menunjukkan pecahan guci dengan dagu nya. Vika mengangguk. "Pah," panggil Vika dengan suara yang serak dan pelan. Ayah Vika duduk mengabaikan panggilan Vika. "Uang kuliah Vika harus dibayar tanggal tujuh nanti." Terdengar helaan napas kasar. "Papah kirim kamu ke sini karena Papah masih punya hati supaya kamu jauh dari adik Mama kamu yang b***t itu. Bukan untuk biayai kamu kuliah!" "Nyusahin aja." Kata seorang wanita yang merupakan istri sekaligus selingkuhan Ayahnya dulu, wanita itu duduk di sebelah Ayahnya. "Bereskan itu!" Ayah Vika menyenggol pecahan guci dengan kakinya yang tertutupi sepatu. ️ "Dengerin apa kata Papa kalo uang kuliah kamu mau Papa bayar." Vika mengangguk patuh menurunkan ujung dress nya yang terasa cukup ketat. "Jaga kesopanan kamu di depan bos Papa nanti." Vika kembali mengangguk. "Sudah lama menunggu?" "Belum, silahkan duduk." Vika mengangkat kepalanya yang tertunduk dan terkejut melihat siapa yang datang. "Lho, Vika." "Om Nevan." "Oh, Vika anak Anda?" Vika benar-benar tidak menyangka jika dirinya akan bertemu dengan Nevan. "Anda kenal anak saya?" Tanya Ayah Vika sambil tertawa. Nevan duduk seraya mengangguk. "Vika pacar anak saya." "Anak Anda?" Nevan mengangguk sambil menoleh kebelakang untuk mencari-cari keberadaan seseorang. "Nah, itu anak dan istri saya." Vika mengigit bibirnya. Nevan tersenyum ketika anak dan istrinya sudah datang. Vika melirik Ayahnya dimana tangan Ayahnya sedikit bergetar. Ayah Vika tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat seorang laki-laki dengan pakaian formal nya berdiri di depannya dengan begitu berwibawa, laki-laki yang ia temui siang tadi. Zio.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD