Chapter 04

2373 Words
Vika refleks berhenti berjalan saat tempat duduk yang akan ia duduki sama ditempati oleh Nia yang datang secara tiba-tiba. Sekarang Nia sudah duduk di sebelah Zio. "Nia, ini kan..." "Nia mau duduk sini!" Zio tidak kembali membuka suara melainkan menatap Vika. "Fazra duduk sendiri tuh." Kata Nia yang ditujukan untuk Vika, namun mata gadis remaja itu menoleh ke arah jendela bus. Sebelum pergi Vika menatap Zio yang juga sedang menatapnya. "Fazra duduk sendirian kan?" Fazra mengurungkan niatnya untuk memakai earphone saat Vika datang menghampirinya. "Iya, kakak mau duduk di sini?" Fazra menunjuk bangku kosong yang ada disebelahnya. "Boleh?" Fazra mengangguk beranjak dari duduknya untuk mempersilahkan Vika duduk di dekat jendela. Vika tersenyum lalu duduk diikuti dengan Fazra. "Kok gak sama bang Zio, lagi berantem ya?" "Enggak, Zio duduk sama Nia." Fazra mengangguk dan memakai earphone nya. Vika menghidupkan layar ponselnya untuk mengecek pukul berapa saat ini. Pukul 08.00 pagi. Vika pun mematikan ponsel dan menggenggamnya dengan mata tertuju ke arah jendela bus. Vika beralih menatap tangan Fazra yang sedang menyodorkan satu kotak permen karet kepadanya. "Gak suka permen karet." Vika tersenyum kecil. "Oh," Fazra menyimpan kotak permen karetnya di dalam jaket. Fazra memakai penutup kepala yang ada di jaketnya kemudian memejamkan mata. Vika yang sedang memperhatikan pemandangan alam menoleh ketika tangannya disentuh beberapa kali. "Kamu belum sarapan, dimakan ya." Zio memberikan sandwich dan s**u kotak kepada Vika. Vika mengangguk seraya menerima sandwich yang tertutupi plastik wrap serta s**u kotak. Zio mengusap rambut Vika sebelum ia kembali duduk di bangkunya. ️ "Dingin?" "Kan kita lagi di salju, ya dingin." Zio terkekeh sambil memasangkan sarung tangan yang tebal di tangan Vika karena saat ini mereka sedang berada di salah satu puncak pegunungan Alpen, Jungfraujouh. Bugh. Vika terlonjak kaget karena tiba-tiba saja ada yang melemparnya dengan bola salju berukuran tangan orang dewasa, cukup terasa juga di lengan Vika walaupun ia sudah memakai jaket yang tebal. "Nia." Zio menatap Nia yang berdiri tidak jauh dari mereka sambil memperhatikan dirinya dan Vika. "Mampus Lo." Fazra mentertawakan Nia dan melempar Nia dengan bola salju miliknya. "Gak sengaja!" Kata Nia sebelum ia pergi mengejar Fazra dengan susah payah. Tentunya tanpa meminta maaf kepada Vika. Zio hanya dapat menghela napas melihat kelakuan adiknya kepada kekasihnya. "Gak sakit kan?" Tanya Zio sambil membersihkan lengan jaket Vika dari sisa-sisa salju. Vika menggeleng, "enggak." "Abang." Zio menoleh ke arah Nevan. "Ayo sini, Vika juga. Kita foto-foto." Ajak Nevan. "Yuk kita ke sana." "Tapi..." Vika ingin menolak namun Zio sudah terlebih dahulu membawanya mendekati keluarga laki-laki tersebut. ️ "Kapan-kapan, lagi sibuk." Tut, Tut, Tut... Vika menjauhkan ponselnya dari telinga ketika mendengar sambungan telepon baru saja terputus. Vika mengigit bibirnya menggenggam erat ponselnya dengan dilanda rasa cemas. Tiba-tiba saja sebutir cairan bening jatuh membasahi pipi Vika dan langsung ia hapus sebelum ada yang melihat karena saat ini Vika sedang berada di depan pintu lift. Vika mengeluarkan napas dari mulutnya mengerjap beberapa kali agar kabut di matanya segera hilang. Vika pergi menuju kamarnya. Baru saja Vika melangkah ada seseorang yang menabraknya dari belakang. "Ih! Lama banget sih jalan Lo. Udah kebelet nih gue!" Vika menatap Nia yang baru saja marah-marah kepadanya. Jika dilihat-lihat lorong hotel berukuran cukup lebar dan Vika pikir Nia bisa berjalan bahkan berlari disebelahnya, mengapa harus menabrak dirinya? Vika kembali menghela napas setelah Nia pergi. Sepertinya untuk kali ini rasa sabar Vika sudah habis dan Vika mulai menangis. "Aku cari-cari ternyata kamu... Kamu kenapa?" Vika mengangkat kepalanya yang tertunduk menatap Zio dengan mata yang berair. "Hiks... Mau pulang!" Ucap Vika tidak dapat membendung tangisnya lagi hingga bahu nya bergetar lalu memeluk Zio dengan erat. ️ "Nia," Nia menoleh. "Eh, Abang." Zio tersenyum duduk di tepi tempat tidur Nia. "Pintunya gak di kunci, kebiasaan." "Tadi rencananya Nia mau keluar makanya gak Nia kunci." Zio mengangguk. "Abang boleh nanya?" Nia mengangguk dengan mulut yang dipenuhi makanan. "Nia tau kenapa pacar Abang nangis tadi?" Kunyahan Nia terhenti. "Abang cuma nanya kok, gak ada maksud lain." Zio tersenyum. "Mana Nia tau, emang dia aja yang cengeng." "Nia..." "Nia udah bilang sama Abang, Nia gak suka kalo Abang pacaran sama cewek kayak dia." Zio diam menautkan kedua tangannya. "Bang, masih banyak cewek lain di luar sana. Cewek lain yang lebih baik dari dia. Nia punya banyak temen, Nia punya temen yang umurnya satu tahun dua tahun lebih muda dari Abang, Nia bisa kenalin ke Abang." "Nia bisa ngomong kayak gitu karena Nia belum kenal sama Vika." "Iya belum kenal, mungkin Nia gak mau kenal dia. Tanpa harus kenal dia Nia tau kok pacar Abang itu gimana kelakuannya. Yang jelas, dia gak baik untuk Abang." Setelah berbicara seperti itu Nia langsung keluar dari kamarnya. ️ Kedua mata Vika terbuka secara perlahan, dan saat membuka matanya yang pertama ia lihat adalah wajah tampan kekasihnya. Zio tersenyum duduk di tepi tempat tidur Vika. "Sleep well?" Vika memejamkan kedua matanya sesaat sebagai balasan menarik selimut untuk lebih menutupi mulut dan hidungnya. "Sarapan yuk." Vika menggeleng. "Jadi kamu gak mau sarapan?" Tanya Zio sambil menyelipkan rambut Vika kebelakang telinga. "Mau pulang." Balas Vika dengan pelan. Zio beralih berjongkok sehingga wajahnya sejajar dengan wajah Vika. "Besok aja gimana? Kita pulangnya bareng-bareng." Vika diam tidak menjawab. "Sekarang kamu mandi, terus kita sarapan. Kita sarapan berdua." Mata Vika yang tertutup langsung terbuka. "Hmm?" Zio tersenyum karena ia yakin jika Vika akan mau sarapan pagi dengannya. Senyum Zio tersungging lebar ketika melihat Vika mengangguk. ️ "Bagus kan?" Vika menunjukkan hasil jepretannya pada Zio. Zio memegang kamera Vika yang juga dipegang oleh sang empunya. "Hmm, bagus." Vika tersenyum. Zio ikut tersenyum karena baru kali inilah ia melihat senyum manis Vika selama mereka di negara orang. Ketika selesai makan Zio mengajak Vika keluar jalan-jalan, karena banyak bangunan tua di sekitar hotel mereka pun melihat-lihatnya. "Excuse me." Zio dan Vika menoleh ke arah seorang pria yang menyapa mereka barusan. "I have two tickets to watch the show. This is perfect for those of you who are on a honeymoon." "Honeymoon?" Beo Zio. Pria tersebut mengangguk menyodorkan dua tiket yang ada di tangannya. "Why did you give it to us?" "I ordered this ticket four days ago, I want to watch with my wife. But my wife is dead." "Sorry." Kata Zio karena ia merasa tidak enak. "It's okay, accept it. Free for you." Zio tersenyum seraya mengambil dua tiket yang ada di tangan pria tersebut. "Thank you." "You're welcome." Balas nya sambil pergi. "Tiket apa?" Tanya Vika. Zio memperhatikan tiket tersebut. "Pertunjukan drama. Ayo kita nonton." "Gak mau." Zio mengerenyit. "Kenapa gak mau? Kita harus hargai pemberian orang lho, kamu gak boleh kayak gitu. Ayo kita liat pertunjukan nya, aku juga penasaran." Zio menarik Vika. "Emang kamu tau dimana tempatnya?" Zio mengangguk. Tangan Zio menunjuk ke arah kiri mereka. Vika mengikuti arah telunjuk Zio dan ternyata tempat untuk melihat pertunjukan tersebut berada di seberang mereka. ️ Chup! Chup! Chup! Suara yang terdengar sangat indah di telinga pasangan suami istri namun terdengar menjijikkan di telinga Zio dan Vika. Zio membuka matanya yang tertutup dan langsung mengalihkan pandangannya ke arah kursi yang ada di depannya saat adegan panas masih terus terjadi dan dipertontonkan. Adegan panas yang dimaksud adalah ciuman. "Ti amo così tanto." (Aku sangat mencintaimu) Chup! Zio menoleh ke arah Vika yang sedang menatapnya dengan tajam, tak lama Zio mengalihkan matanya ke arah kursi penonton yang lain tanpa berani menatap ke arah panggung pertunjukan. ️ "Hei," "Jangan masuk!" Zio mematung di depan kamar Vika. "Itu alasan kenapa aku gak mau nonton pertunjukannya! Udah jelas di tiket untuk 25 tahun ke atas. Aku kamu umurnya belum sampe segitu. Itu tadi pertunjukan asli, bukan film, Zio... Iya hargai pemberian orang ya tapi kamu liat-liat lah, gak teliti banget jadi orang. Mana di depan samping aku juga lagi ciuman!" Selama Vika berbicara Zio hanya diam mendengarkan ocehan kekasihnya. "Maaf." "Selalu ngomong maaf!" "Vika jangan di tutup." Zio menahan pintu kamar Vika yang hendak ditutup. "Kita makan dulu." "Gak mau makan!" "Vi..." Suara Zio melemah saat Vika menutup pintu kamar gadis itu. Zio pun kembali ke kamarnya yang jaraknya tidak jauh dari kamar Vika. Setelah sampai di kamarnya Zio langsung pergi mandi. Tidak lama Zio mandi karena entah mengapa ia yakin jika Vika akan datang ke kamarnya. Zio keluar dari kamar mandi dengan sudah memakai pakaiannya dan duduk bersandar di sofa menatap ke arah layar televisi yang tidak menyala. Tok, tok, tok. Zio tersenyum karena ia sangat yakin jika itu Vika. Zio pun segera bangkit untuk membuka pintu. Saat pintu sudah terbuka Vika berdiri dengan kepala yang tertunduk. "Temenin aku makan." Kata Vika dengan nada rendah. Zio membuka lebar pintu kamarnya. "Temenin aku makan." Ulang Vika karena ia tidak ingin masuk ke kamar Zio. "Makanan kamu ada di dalem." Vika menatap tidak percaya Zio. "Serius ada." Zio membawa Vika masuk ke kamarnya. "Kenapa kamu bolehin aku masuk ke kamar kamu?" "Ini bukan kamar aku, ini kamar pemilik yang punya hotel ini." Balas Zio sambil menarik single sofa mendekat ke tempat tidurnya. "Segitu yakinnya kamu aku bakal dateng sampe kamu udah pesen makanan?" Zio mengangguk. "Kamu mau duduk dimana? Di sini atau di situ." Zio menunjuk tepi tempat tidur dan sofa yang sudah ia tarik. "Terserah." "Di sini aja biar enak, kamu kan kalo makan suka nya duduk di kursi yang ada sandaran nya." Zio menyuruh Vika untuk duduk di sofa. Vika tersenyum memperhatikan Zio yang sedang mengambil nampan berisikan makanan dari nakas. Selalu dan betapa perhatian dan pengertiannya laki-laki itu, pikir Vika. Zio duduk di tepi tempat tidur berhadapan langsung dengan Vika dan mulai menyuapi Vika. Selama Vika makan Zio mengajak kekasihnya untuk berbicara tentang hal-hal yang ringan dengan diselingi hal lucu juga tentunya, apalagi Vika baru saja kesal dengannya. "Kenapa kemaren kamu nangis?" Tanya Zio ketika Vika sudah selesai makan. Vika menggeleng. "Cerita dong. Gak boleh dipendem gitu kalo kamu punya masalah, gak baik. Selagi aku bisa dengerin cerita kamu, kasih saran, atau bantu kamu kenapa enggak?" Vika menatap Zio seraya mengunyah buah apel yang baru saja ia makan. "Setahun lebih, bahkan hampir dua tahun kita pacaran kamu gak pernah cerita apa-apa ke aku soal kehidupan kamu. Kamu terlalu tertutup sama aku, aku ini pacar kamu lho. Kamu mau nanya apapun ke aku, nanya soal keluarga aku sifat keluarga aku, aku jawab. Sekarang giliran kamu, aku yakin kalo emang kamu ada masalah di keluarga kamu setelah kamu cerita beban dari masalah itu mulai hilang, karena kamu bagi beban itu bareng aku, jadinya kita pikul sama-sama, bukan cuma kamu sendiri." "Kalo emang kamu nangis karena Nia dan kamu gak mau cerita gak papa, tapi seenggaknya kamu ceritain ke aku soal keluarga kamu." Vika menelan dengan paksa makanan yang ada di mulutnya karena tenggorokannya terasa sakit. "Mau cerita sama aku?" Zio menangkup pipi Vika seraya mengelusnya. Vika mengangguk lemah. Lagipula Vika juga berpikir jika memang sudah waktunya Zio tahu mengenai kehidupannya, kehidupannya yang pahit dan kelam. Zio beralih menggenggam erat tangan Vika. "Tentang keluarga aku." Zio tersenyum. "Cerita, aku siap dengerin." "Tapi kamu janji, selesai aku cerita sikap kamu jangan berubah ke aku." "Enggak Vika." Balas Zio dengan lembut. Vika menelan ludahnya menatap tangannya yang dikurung oleh tangan besar Zio. "Aku ini anak tunggal, karena aku anak satu-satunya udah jelas aku di sayang banget sama orang tua aku. Apa yang aku minta selalu dituruti, aku gak pernah dimarahin, orang tua aku perlakuin aku kayak seorang princess. Aku tumbuh jadi anak yang manja dan orang tua aku gak masalah sama sikap aku itu, dan aku pikir sikap manja aku masih ada sampe sekarang." Vika mengalihkan tatapan dari tangannya ke arah mata Zio. "Waktu umur aku 17 tahun aku ngerasa sikap Papa aku berubah. Dia jarang di rumah, dia jadi orang yang kasar, Mama Papa aku sering berantem, bahkan aku pernah liat Papa aku mukul Mama aku. Aku takut, aku sampe sembunyi di dalem lemari karena gak kuat denger suara pukulan Papa aku, gak kuat denger suara barang yang dilempar ke lantai. Karena sikap Papa aku yang kayak gitu Mama juga jadi acuh ke aku, aku gak diurusin, padahal walaupun aku udah besar mereka tetep ngeliat aku anak kecilnya mereka. Tiap malem aku nangis karena kangen suasana keluarga aku yang dulu, setiap tidur aku selalu ditemenin sama Mama Papa aku, tapi waktu itu gak pernah lagi." Vika berhenti sejenak untuk menghapus air matanya yang sudah mengalir. Cukup sakit rasanya untuk kembali mengingat hal buruk itu, tapi sangat sakit jika harus ia pendam sendiri selama bertahun-tahun. "Papa aku udah gak pernah pulang ke rumah selama dua bulan. Selama dua bulan itu Mama aku lebih banyak di kamar, melamun, kalo aku dateng ke kamarnya Mama aku marah. Jadi dari situ aku gak berani lagi dateng ke kamar Mama aku. Waktu aku tidur aku kebangun tengah malem karena aku mimpi buruk. Gak tau kenapa tiba-tiba aja aku kangen banget sama Mama aku. Aku pindah ke kamar Mama aku, pas aku buka pintu..." Vika meremas tangan Zio dengan kuat, begitu juga dengan Zio, Zio menggenggam erat tangan Vika. "Mama aku bunuh diri, gantung diri di kamarnya." Vika terisak hebat dan Zio langsung memeluknya. "Mama aku udah gak ada! Papa aku juga gak ada, dia pergi ninggalin aku sama Mama karena perempuan lain! Aku dititipin ke Om aku karena aku udah gak punya siapa-siapa lagi!" Vika meremas baju Zio yang sudah dibasahi oleh air matanya. Vika melepaskan pelukan Zio menatap Zio sambil terisak. "Aku dititipin sama Om aku yang suka pergi ke club, suka mabuk, suka main judi! Bahkan aku, bahkan aku hampir di perkosa sama dia. Aku kabur dari rumah aku sendiri, aku gak perduli mau rumah itu dijual, semua harta di rumah aku diambil aku gak perduli, yang penting aku jauh-jauh dari dia. Di situ rasanya aku pengen ikut Mama aku, tapi di saat itu juga Papa aku baru dateng. Dia dateng sama selingkuhan yang udah jadi istrinya, Papa aku juga udah punya anak jadi selingkuhannya. Karena aku udah selesai UN aku langsung di kirim ke sini sama Papa aku. Aku dibeliin apartemen, dia kasih aku tabungan yang cukup untuk biayai hidup aku selama dua tahun sedangkan di situ aku juga pengen kuliah. Biaya hidup di sini tinggi, dia gak mau tau yang penting uang itu cukup selama dua tahun kehidupan aku di sini. Aku capek, aku sempet mikir untuk bunuh diri. Tapi tiba-tiba aja kamu dateng, dan sekarang aku bertahan karena kamu, yang aku takuti cuma satu, kamu pergi ninggalin aku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD