"Mo..."
Zio yang baru saja keluar dari dapur membuat cokelat panas untuk dirinya tertawa melihat hamster mungilnya menyembunyikan setengah badannya di sofa.
Zio membungkuk menyentuh tubuh Momo.
"Kok malah di sini, keluar." Zio menggerakkan tubuh Momo dengan lembut namun Momo malah semakin menyembunyikan wajahnya.
"Nanti Momo gak bisa nafas lho." Zio pun mengambil Momo meletakkan Momo di dalam gelas.
Zio duduk di karpet mengambil gelas cokelat panas nya yang ada di meja lalu menyendokkan cokelat panas nya seujung sendok.
Zio meniup-niup cokelat panas tersebut hingga sudah dingin ia berikan pada Momo.
"Enak?" Zio kembali menyendokkan cokelat panas untuk Momo.
Zio meletakkan sejenak gelas nya untuk membuka jaketnya karena Zio baru saja pulang dari apartemen Vika.
"Momo mau lagi?" Tanya Zio sambil menyentuh hidung mungil Momo.
Ting tong.
Zio menatap ke arah pintu utama rumahnya saat mendengar suara bel rumahnya berbunyi.
Zio bangkit berdiri untuk melihat siapa yang datang di pukul sebelas malam.
"Lho, Vika." Zio terkejut melihat Vika datang ke rumahnya dengan memakai piyama berlengan panjang begitupun dengan celananya.
"Kamu ninggalin aku." Vika membenarkan ranselnya yang berukuran kecil.
"Kan tadi kamu udah tidur, ya aku pulang."
"Buktinya?!" Suara Vika naik setengah oktaf.
"Belum. Kamu ke sini naik apa?"
"Uber!"
"Terus kamu ke sini mau?"
Vika mendekati Zio hingga tidak ada jarak diantara mereka.
"Aku tidur di sini."
Mata Zio membulat.
"Emm... Aku anter aja kamu ya?"
"Kamar di rumah kamu kan bukan cuma ada satu sih."
"Tapi kan gak enak aja kalo ada perempuan yang tidur di rumah laki-laki, apalagi kalo belum nikah." Ucap Zio.
Vika menghela napas.
"Ya udah aku pulang." Vika berbalik namun segera ditahan oleh Zio.
"Aku anter, ya?"
Vika menjauhkan tangan Zio dari tangannya.
"Gak mau, udah lepas!"
"Jangan pulang sendiri."
"Biarin!" Vika kembali melangkah menjauh dari Zio namun kembali ditahan oleh Zio.
"Oke, kamu tidur di rumah aku."
️
Zio membuka lemari pakaian yang isinya hanya ada sarung bantal, bed cover, serta selimut. Zio mengambil selimut dari dalam lemari tersebut dan menaruhnya di dekat Vika yang sedang duduk di atas tempat tidur.
"Kamu jangan kemana-mana."
"Iya, aku di situ." Zio menunjuk ke arah single sofa yang jaraknya tidak jauh dari tempat tidur Vika.
Vika mengangguk dan mulai berbaring sambil menarik selimut sampai ke bahunya.
"Sleep well." Ucap Zio sambil mengelus rambut Vika.
Vika mengangguk memegang sejenak tangan Zio yang sedang mengelus rambutnya.
Zio berjalan ke arah sofa duduk di sana dengan mata tertuju ke arah Vika.
Zio tersenyum ketika Vika mengangkat kepala untuk menatapnya.
Setelah memastikan Zio masih menemaninya Vika dapat tidur dengan tenang.
Dan setelah Vika tidur dengan tenang Zio keluar kembali ke kamarnya.
️
"Pegang, awas jatuh." Kata Zio pada hamster nya.
Zio memberikan Momo roti yang sudah ia potong menjadi ukuran super kecil.
Zio menegakkan tubuhnya yang berbungkuk memperhatikan Momo yang sedang makan. Zio menoleh ketika mendengar suara derap kaki.
"Mau sarapan?" Tawar Zio pada Vika.
Vika menggeleng sambil memberikan sisir serta ikat rambut pada Zio dan duduk di kursi mini bar.
"Kamu gak ada kelas kan?"
Vika menggeleng.
"Hari ini aku ke kampus, kamu mau di rumah aku aja atau ikut aku?" Tanya Zio menerima sisir serta ikat rambut milik Vika.
Zio terlebih dahulu memasukkan Momo ke dalam kandang lalu menyisir rambut Vika.
"Ikut, biasanya juga aku ikut kamu."
"Oke." Zio menyisir rambut Vika yang panjang.
"Aku tadi malem mimpiin kamu." Kata Vika.
"Mimpinya gimana?"
"Aku mimpi kamu marahin aku. Terus aku takut, kan aku gak pernah liat kamu marah, sekalinya ngeliat kamu marah aku jadi takut sama kamu, kayak gitu sih di mimpi aku."
Zio tertawa mendengar cerita mimpi Vika sambil mengumpulkan rambut Vika menjadi satu.
"Jadi sekarang kamu takut sama aku?"
"Enggak, aku takutnya kan waktu di mimpi. Emangnya abis ini kamu mau marahin aku?"
Zio mencium kepala Vika setelah selesai mengikat rambut Vika.
"Kamu mau aku marahin?"
Vika memperhatikan Zio yang sedang membuka kulkas.
"Mau,"
Zio menoleh dengan tangan memegang gagang pintu kulkas.
"Serius mau?"
"Ah, tapi kamu kan gak bisa marah."
Zio terkekeh mengambil jeruk dari dalam kulkas dan membuka kulitnya menaruh satu persatu daging jeruk ke piring dan memberikannya kepada Vika.
"Kamu bisa marah?" Tanya Vika sambil makan jeruk.
Zio mengangguk.
"Aku gak pernah liat kamu marah."
Zio mengulurkan tangannya di dekat mulut Vika dan Vika mengeluarkan biji jeruk yang ada di mulutnya ke tangan Zio. Zio melakukan itu tanpa rasa jijik sedikitpun.
"Aku bisa marah, tapi gak mau marah."
"Kenapa?"
"Karena aku masih punya kesabaran."
"Berarti kamu orang yang penyabar."
"Amin," balas Zio sambil tertawa sedangkan Vika tersenyum.
"Kamu yakin gak mau sarapan?"
Vika menggeleng. "Belum laper."
"Ya udah, aku ganti baju dulu ya." Zio mengelus kepala Vika dan dibalas anggukan oleh Vika.
️
Vika mendongak saat Zio menyodorkan kotak bekal kepadanya.
"Sandwich, aku keluar dari kelas udah habis ya."
Vika mengambil kotak bekal transparan tersebut dan mengangguk.
"Handphone kamu mana?"
Zio mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan memberikannya kepada Vika.
"Kalo kamu bosen jalan-jalan aja dulu, tapi jangan jauh-jauh."
Vika kembali mengangguk.
"Aku masuk ya." Pamit Zio.
Vika memperhatikan Zio yang berjalan menuju kelas dimana kelas Zio dengan tempat duduk Vika hanya berjarak sekitar empat meter dan Vika dapat melihat pintu kelas Zio dengan mudah.
Vika menaruh tas kecilnya di sisi kursi yang kosong mengambil sandwich buatan Zio sambil memainkan ponsel Zio.
"Ini Zio." Vika mendekatkan ponsel Zio ke wajahnya.
"Oh, video nya waktu masih kecil." Vika mengeluarkan headset yang selalu ia bawa di tas nya.
Karena penasaran dan baru tahu, Vika membuka video masa kecil Zio.
"Zio mau kemana?"
Terdengar suara perempuan dari video tersebut yang Vika yakini adalah suara Reya.
"Pelgi sekolah."
Vika tertawa sambil mengunyah sandwich karena ia akui Zio kecil terlihat sangat menggemaskan dengan botol minum yang tergantung di lehernya.
"Hati-hati ya."
Vika dapat melihat Zio kecil mengangguk lalu mencium tangan Reya.
Tidak puas hanya dengan satu video, Vika melihat video yang lainnya.
"Tadi Zio bilang apa ke Mami?"
"Io punya lagu balu."
"Lagu apa? Mami mau denger."
"Twinkle-twinkle."
"Gimana lagu nya?"
"Twinkle-twinkle little stal..."
Dari video tersebut terlihat Zio kecil bernyanyi dengan begitu baik dan menggemaskan karena cadelnya, ditambah Zio bernyanyi sambil memeluk leher Reya.
"Lucunya." Gumam Vika sembari mencari-cari video yang lain.
Karena sudah terlalu asyik dengan video masa kecil Zio. Vika yang gampang bosan dalam hal menunggu terlihat tenang dalam duduknya menikmati setiap video masa kecil kekasihnya yang ia akui sangat menggemaskan dan pintar.
️
Vika memainkan jemarinya sendiri dengan mata yang tertuju ke arah koper miliknya dan milik Zio.
Vika menatap Zio saat tangannya yang saling bertautan dipegang.
"Dingin banget tangannya, kayak mau ketemu sama siapa aja."
Vika kembali memperhatikan koper nya, rasanya Vika ingin memeluk Zio.
"Abang sama Vika udah nunggu lama?"
Zio dan Vika kompak menatap empat orang yang sedang berdiri di depan mereka.
"Belum, Mi."
"Vikaaaa..." Reya terlebih dahulu menyapa Vika.
Vika tersenyum beranjak dari duduknya untuk memeluk Reya.
"Akhirnya kita ketemu lagi."
Vika tertawa kecil.
"Om," Vika menatap Nevan.
Nevan tersenyum seraya mengangguk.
"Kak, Lo gak mau nyapa gue."
Vika menatap Fazra.
"Fazra apa kabar?" Tanya Vika.
"Baik dong." Jawab Fazra sambil mengunyah permen karet.
Vika melirik Nia yang sedang menatapnya dengan sinis.
"Nia, tadi udah makan belum di rumah?" Tanya Zio.
Nia beralih menatap Zio.
"Udah, Bang. Yang pastinya ntar Nia gak bakal nyusahin kok." Nia tertawa sambil sesekali melirik Vika.
Zio tersenyum.
"Ya udah kita langsung check in ulang." Ucap Nevan.
"Loh kan udah check in, kita langsung ke lounge aja. Capek nih, pegel." Nia menghentakkan kedua kakinya.
"Tadi kita check in di bandara mana, bego? Ini kita mau kemana? Norak banget sih Lo."
"Fazra mulutnya." Tegur Zio.
"Pinter banget, Bang. Salut gue." Kata Fazra sambil duduk di atas koper nya.
"Ya tapi mulutnya jangan gitu." Nevan seolah-olah ingin mencubit bibir Fazra.
"Tau nih!" Timpal Nia sambil menendang koper yang diduduki oleh Fazra hingga membuat Fazra hampir terjatuh.
"Lo!"
"Mami!!" Nia bersembunyi di balik badan Reya.
"Gak di rumah gak di luar rumah kayak kucing sama tikus, berantem mulu." Kata Reya sambil memainkan ponselnya.
"Excuse me, Mr and Mrs."
Mereka semua tersenyum kepada seorang perempuan yang merupakan seorang petugas di bandara tersebut.
"I'm the officer who will serve you, follow me." Katanya dengan begitu ramah.
"Yuk, koper kamu mana?" Tanya Zio.
Vika menunjuk kopernya yang berwarna merah dimana koper tersebut berada di dekat Nia.
"Nia!"
Nia berdecak kesal dan berhenti berjalan berbalik menatap Fazra.
"Tarik." Fazra menepuk-nepuk pegangan koper nya menyuruh Nia untuk menariknya.
"Ih, gue bukan babu Lo!"
"Ck!" Fazra berdecak sambil melotot.
"Ngeselin banget sih!"
Senyum Fazra tersungging lebar ketika Nia menghampirinya.
"Ya Lo awas cicing!"
"Nia..."
Nia langsung menutup mulutnya ketika baru sadar jika di dekatnya ada Zio.
"Hehehe, kelepasan." Nia cengir kuda.
Nia memukul Fazra yang masih setia duduk di atas koper.
"Ih berat!" Nia menarik koper dimana koper tersebut diduduki oleh Fazra.
"Ntar gantian gue!"
"Haaa?" Fazra menaruh tangannya di telinga seperti tidak mendengar apa yang Nia katakan.
Nia berhenti menarik koper dan mendekatkan mulutnya ke kuping Fazra.
"Lo anjing."
Fazra tertawa geli. Jika Nia sudah berbicara kotor entah mengapa Fazra sangat suka mendengarnya, sebab ia bisa...
"Papi! Nia ngomong kotor!"
Nevan menghela napas bukan karena aduan Fazra. Tapi karena suara Fazra yang keras membuat orang disekitar langsung menoleh ke arah anaknya.
️
-Zurich Airport-
"Papi..." Nia menaruh kedua tangannya di bahu Nevan menyandarkan kepalanya di bahu Nevan.
"Hmm?"
"Capek."
"Kita ke stasiun kereta apinya mau jalan kaki aja atau naik mobil?" Tanya Nevan pada anak-anak dan istrinya.
Nia menatap Nevan karena dirinya tidak digubris.
"Ih Papi!"
"Iya tau capek, bentar lagi kita sampe di hotel." Nevan mengelus kepala Nia.
"Jalan kaki aja, Pi. Sekalian liat-liat kan, kayaknya bagus deh banyak gedung-gedung tua di sana." Usul Fazra.
"Gak mau gue capek!" Kata Nia.
"Bodo!" Balas Fazra.
"Iya jalan kaki aja." Reya tampak setuju dengan ucapan Fazra.
"Vika, capek gak?" Tanya Reya pada Vika yang lebih banyak diam dan tidak pernah jauh dari Zio.
"Gak Tante." Jawab Vika sambil tersenyum.
"Ya udah kita jalan kaki aja. Kata kamu cuma sepuluh menit aja kan sampe di stasiun nya?"
Nevan mengangguk, "hmm."
"Ih Nia capek!"
"Nyusahin! Katanya gak bakal nyusahin." Ucap Fazra sambil menyeret kopernya.
Nia menarik baju Nevan.
"Naik taksi aja."
Nevan menatap Nia.
Nia mengerjapkan matanya beberapa kali di hadapan Nevan.
"Nia mau taksi aja." Kata Nevan pada Reya.
"Gak usah!" Fazra malah tidak mau.
"Abang ngalah sama adiknya ya."
Nia tersenyum puas mendengar ucapan Reya.
️
"Serius nih Nia sama Vika tidurnya gak mau bareng?" Tanya Nevan.
"Gak!" Jawab Nia dengan cepat.
"Oke, ini kunci kamar Nia yang ini punya Vika." Nevan memberikan dua kunci kepada Vika dan Nia.
Vika mengambil kunci yang diberikan oleh Nevan, begitu juga dengan Nia.
Vika sedikit meringis ketika tangannya yang berada di pembatas lift ditimpa oleh tangan Nia yang sedang memegang kunci.
"Oh, sori." Nia menjauhkan tangannya secara perlahan.
Vika tersenyum kecil dan merapatkan tubuhnya pada Zio.
Zio menunduk menatap Vika lalu menatap Nia yang sedang memperhatikan pintu lift yang masih tertutup.
Zio merangkul Vika mengusap-usap lengan Vika.
️
Vika berdiri di depan cermin kamar mandi untuk mencuci muka. Setelah mencuci muka Vika duduk di tepi tempat tidur sambil memperhatikan punggung tangannya yang merah akibat kejadian di lift tadi.
"Tangan kamu kenapa?"
Vika terlonjak kaget karena tiba-tiba saja Zio berdiri di sampingnya.
"Kamu kok bisa masuk?"
"Pintunya gak kamu kunci, lain kali jangan kayak gitu." Zio duduk di sebelah Vika dan mengambil tangan kiri Vika.
"Ini kenapa?" Tanya Zio sambil mengusap punggung tangan Vika yang merah.
Vika menggeleng. "Gak papa."
Zio menggenggam tangan Vika yang terasa pas di tangannya.
"Kamu mandi ya, bentar lagi kita makan malem."
"Aku sama kamu?"
"Sama yang lainnya."
Vika mengalihkan pandangan ke arah lantai.
"Nanti aku duduk di kanan kamu, di kiri kamu Fazra, atau Mami Papi aku."
Vika menatap Zio dengan pandangan sendu.
"Oke?"
Vika mengangguk kemudian memeluk erat Zio.
Tibanya malam hari, Vika yang masih berada di dalam kamar berjalan ke arah pintu karena dari luar ada seseorang yang sedang mengetuk pintu kamarnya.
Zio tersenyum ketika Vika sudah membukakan pintu.
"Ayo kita makan." Zio menarik lembut tangan Vika menggandeng kekasihnya.
️
"Dah kayak laki bini ya, masuk keluar kamar selalu bareng."
Zio tersenyum mendengar ucapan Fazra menarik kursi yang ada di sebelah Fazra untuk Nia.
Vika memegang telunjuk Zio ketika melihat Zio hendak pergi sedangkan di sebelah kursi kosong yang akan Zio duduki ada Nia.
"Aku mau ke toilet dulu." Kata Zio dengan pelan.
Vika pun melepaskan telunjuk Zio memperhatikan Zio yang sudah berjalan jauh darinya.
"Vika nunggu Zio ya baru mau makan?"
Vika menatap Reya.
Vika tersenyum, "enggak kok, Tante." Vika mulai memegang garpu dan pisau.
Vika melirik ke samping kanan dimana Nia berpindah duduk menjadi disebelahnya.
"Gak ada yang ngelarang kan?" Nia menaikkan satu aslinya bertanya pada Vika yang sedang mengunyah dengan gerakan lambat.
Vika tersenyum kecil dan menggeleng.
"Nia kok duduk di sini?"
"Kan Nia mau deket-deket sama calon kakak ipar." Nia melirik Vika saat ia mengucapkan kata kakak ipar.
Zio menatap Vika yang sedang menunduk menatap makanan gadis tersebut.
Zio pun duduk di kursi milik Nia tadi menciptakan jarak dengan Vika.
"Pi, besok kita mau kemana?" Tanya Fazra sambil makan buah, sudah ada buah dan ada kue juga.
"Kemana aja." Jawab Nevan menyipitkan matanya karena ia sedang menatap sebuah kertas.
"Ya Allah bapak, udah rabun aja." Kata Nia dan disambut tawa oleh mereka, kecuali Vika.
"Sembarangan ngomong! Nih coba Nia baca, bisa gak?" Nevan memberikan kertas yang ia pegang pada anak gadisnya.
Nia mengenyampingkan rambutnya yang tergerai dan mulai membaca tulisan yang ada di kertas tersebut.
Baru beberapa saat membacanya mata Nia juga ikut menyipit.
"Ini, A apa E sih."
"Gak bisa kan, ngatain orang tua rabun." Cibir Nevan merebut kertasnya yang ada di tangan Nia.
"Burem kertasnya, gak bisa liat dengan jelas diriku." Sahut Nia.
"Bacot." Timpal Fazra sudah beralih makan kue.
Nia tidak menggubris Fazra melainkan memperhatikan secara terang-terangan Vika yang sedang makan. Mata Vika beralih ke arah gelas yang berisikan air putih dimana gelas tersebut berada di antara dirinya dan Vika.
"Besok kita ke Ju..."
"Jurang." Potong Fazra.
Nia menatap sinis Fazra.
"Ke mana, Pi? Jung-"
"Eh!"
Mereka terkejut ketika melihat gelas milik Vika terjatuh dan berhasil di tangkap oleh Vika, namun tangan dan baju Vika harus basah karena seluruh air putih nya jatuh membasahi tangan dan baju nya.
"Lasak banget sih Lo." Kata Fazra pada Nia karena tadi saat memperhatikan Nia yang sedang berbicara Fazra juga memperhatikan siku Nia yang menyenggol gelas milik Vika.
"Ya maap." Nia beranjak dari duduknya dan tempat duduk tersebut langsung diduduki oleh Zio.
"Mau ganti baju langsung?" Tanya Zio sambil mengelap tangan Vika yang basah.
Vika diam dengan mata yang memanas namun tidak berani ia tunjukkan pada siapapun, Vika terus menunduk.
"Emang tadi Nia ngapain sih kok bisa jatuh gitu gelas nya?" Tanya Reya.
"Gak ngapain-ngapain, orang cuma kesenggol doang kok." Jawab Nia dengan tenangnya, malah sekarang ia sedang makan buah.
"Mau ke kamar." Kata Vika dengan lirih.
Zio menaruh sapu tangan yang memang disediakan di meja.
"Abang anter Vika ke kamarnya dulu ya."
"Iya. Cepet diganti baju nya ya, Vika. Ntar masuk angin." Ucap Reya.
Vika tersenyum sambil mengangguk lalu pamit pergi ke kamarnya.
"Kamu mau ke bawah lagi nanti?" Tanya Zio ketika mereka sudah tiba di depan pintu kamar Vika.
"Enggak."
"Jadi kamu mau tidur?"
Vika mengangguk.
"Aku temenin?"
"Gak usah." Vika masuk ke dalam kamarnya dan diikuti oleh Zio.
"Ngapain masuk? Mau liat aku ganti baju?"
Zio menggeleng.
"Mungkin tadi Nia gak sengaja."
Vika meremas ujung baju nya dengan d**a yang terasa sesak.
"Kamu beneran mau tidur?" Tanya Zio dengan lembut.
Vika mengangguk.
"Yakin gak mau aku temenin? Biasanya kan aku temenin."
"Kan udah dibilang gak usah."
Vika mengigit bibir bawahnya saat dirinya dipeluk oleh Zio.
"Aku tau kamu bukan orang yang kuat, kalo mau nangis, nangis aja."
Mata Vika langsung berkaca-kaca. Benar apa yang dikatakan oleh Zio. Vika bukanlah orang yang kuat, hatinya begitu sensitif membuatnya mudah menangis sebagai ungkapan atas apa yang ia rasakan.
Hidupnya sudah terlalu pahit.
Dan Zio, adalah alasan ia bertahan.
Hanya Zio yang ia punya.