Realishitty

1523 Words
"Tambah lagi!" seru seorang lelaki sambil memukul meja bar dengan tidak sabar. Dari penampilannya, lelaki itu seperti sedang stres akibat pekerjaan di kantornya dengan kemeja acak-acakan dan dasi yang tak keruan menggantung dengan longgar di lehernya. "Cepatlah!" seru lelaki itu lagi dengan tidak sabar kepada seorang bartender yang sedikit takut melihat tatapan tajam nan sinisnya. "Sendirian?" Lelaki itu melirik tajam ke arah perempuan seksi yang memakai pakaian tak terlalu ketat dan terbuka, tapi terlihat cocok di tubuhnya. "Mau kutemani?" tanya perempuan itu lagi sambil memainkan ujung rambutnya yang tergerai bebas menyentuh punggung. Lelaki itu memutar bola mata dengan jengah, tidak jarang lelaki itu digoda oleh perempuan yang hanya mengincar hartanya saja. "Berapa yang kamu inginkan? Aku tidak mau tidur denganmu, Nona!" seru lelaki itu menunjuk wajah perempuan itu dengan sedikit kesusahan karna pengaruh alcohol yang menguasai dirinya. "Cepat sebutkan! Akan kuberi secara cuma-cuma!" perintah lelaki itu sedikit membentak yang membuat perempuan itu terlonjak. "Aku tidak minta uangmu, Tuan! Aku hanya sedang bermain Truth or Dare karna aku suntuk kerja terus. Sudahlah, cepat bilang 'iya, temani saya.' supaya aku bisa bebas dari dare menggelikan ini!" jelas perempuan itu sambil melipat tangannya dan mengerucutkan bibir merekahnya dengan lucu. Melihat tingkah perempuan di depannya, entah kenapa membuat lelaki itu tertarik. "Siapa namamu, Nona?" Perempuan itu memekik kaget saat lelaki itu sudah berdiri dan meraih pinggangnya dengan sekali rengkuh. "Apa maksudnya ini? Tadi sok nolak, sekarang malah kepoin nama!" seru perempuan itu mencoba melepaskan diri dari lelaki di depannya tapi tak berhasil. "Gila! Tuan ini sekuat apa? Mabuk saja kayak gini, apalagi kalo sadar?" "Cepat katakan namamu, Nona!" lelaki itu mendekatkan wajahnya kepada perempuan dalam rengkuhannya yang terlihat ketakutan. "Mi-miranda," cicit perempuan itu dibalas dengan senyum miring dari lelaki itu. "Nama yang bagus. Kamu bisa meneriakan namaku Oliver nanti, Miranda." "Hah? T-tapi..." Miranda tercekat melihat senyum mengerikan dari lelaki bernama Oliver yang menarik dagunya dengan sebelah tangan bebasnya kemudian melumat bibirnya kasar. Bahkan, Oliver tak segan menggigit bawah bibir Miranda saat dirinya tak mau membuka mulut untuk memberi jalur lidah Oliver menjelajahi ruang mulutnya. Oliver melepaskan pagutannya saat ia merasa Miranda kehabisan napas akibat ciuman mautnya. Oliver sedikit kecewa karena Miranda tak bisa menyeimbangkan permainan bibir tadi. Namun, kemanisan yang diberikan oleh Miranda membayar semua kepayahannya. "Aku menginginkanmu," desah Oliver dan dengan sekali sentak menggendong Miranda menuju kamar yang disediakan klub malam mewah itu. Dari kejauhan, sekelompok orang mengabadikan kejadian tadi dengan kamera ponsel sambil tertawa dan bertos ria dengan bahagianya. ... Oliver menghempaskan tubuh Miranda ke atas kasur dan dengan tak sabar membuka baju yang dikenakan oleh Miranda hingga tersisa pakaian dalamnya saja. "Aku mau pulang!" seru Miranda dengan mata berkaca-kaca. Oliver yang di bawah pengaruh alcohol tak mengindahkan permintaan itu dan mulai menciumi leher Miranda. "Diam dan nikmati saja permainannya, Miranda!" ucapan yang terdengar seperti perintah itu keluar dari bibir Oliver sebelum lelaki itu membuka kemeja dan dasinya dengan gerakan yang terkesan e****s. Miranda yang berbaring di bawahnya pun terpaku dan meneguk liur melihat pemandangan di hadapannya. "Kurasa ini tidaklah buruk. Lagian, yang lain pasti banyak yang melakukan juga, kok,” gumam Miranda yang disusul lenguhan nikmat saat Oliver menggigiti lehernya, menandakan permainan di malam yang panas itu sudah dimulai. ... Miranda membuka mata dan ia merasakan selangkangannya terasa nyeri dan kepalanya pusing sekali. Perempuan itu memperhatikan sekitar dan matanya terpaku pada cermin yang dipenuhi tulisan bertinta lipstick yang ia yakini punyanya. Maaf atas kejadian tadi malam. Miranda terdiam dan mengingat kejadian tadi malam. "APA AKU BENAR-BENAR MELAKUKANNYA?!" teriak Miranda dengan cepat menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya. Wajah Miranda memucat melihat tubuhnya yang tak mengenakan apapun alias telanjang bulat. Dengan susah payah, Miranda beranjak dari kasur untuk memungut pakaian yang berserakan dan mengenakannya. "Apa ini?" Miranda dengan gemetar memandang bercak darah yang ada di atas kasur. "Tidak mungkin aku haid, ‘kan? Bukannya baru seminggu yang lalu aku selesai?" Miranda tertawa garing sambil berjalan mundur dengan kaki gemetaran. "Itu bukan karna dara keperawananku, ‘kan?" tanya Miranda entah kepada siapa. Miranda keluar dari tempat itu sambil terus menggumamkan kata tidak mungkin walau dalam hati ia meragukan apa yang ia gumamkan. ... MIRANDA’s POV. Satu bulan setelah kejadian bersama lelaki bernama Oliver malam itu, aku dipanggil oleh Big Boss, bos dari agensi tempatku bekerja. "Miranda Fauzi, saya ingin menanyakan beberapa hal kepadamu," ucap seorang wanita dengan wajah sinis yang duduk di hadapanku. Ya, wanita berwajah sinis dan berbadan besar adalah Big boss di agensi yang mengrekrutku menjadi seorang model. Entah kenapa, sebutan big boss begitu pas disandangkan oleh wanita pemarah itu. Ups. "Apa itu, Big Boss?" "Apa kamu tidur dengan seseorang belakangan ini?"  Aku terdiam mendengar pertanyaan dari Big Boss. Melihat reaksiku, wanita itu tersenyum mengerikan yang membuat wajahnya tak berbeda jauh dari gurita di kartun The Little Mermaid, si Ursula. Apa aku harus daftarkan Big Boss kalau Disney mencari cast Ursula, ya? "MIRANDA, JANGAN CEKIKIKAN! CEPAT JAWAB!" Aku tersentak mendengar teriakan menggelegar yang keluar dari bibir menor Big Boss. Ajigile, apa aku cekikan membayangkan Big Boss jadi Ursula? Cari mati sekali diriku ini! "M-maaf Big Boss, saya memang pernah tidur sekali dengan seseorang sekitar satu bulan yang lalu." Aku mengakui hal itu sambil menunduk dalam. Pasalnya, sekalipun aku seorang model, Agensi yang dipimpin oleh Big Boss itu sendiri mempunyai aturan yang ketat bagaikan pesantren. Motonya adalah sekalipun pakaianmu terbuka, jangan sampai kakimu ikut terbuka. Maka tidak segan jika Big Boss banyak dibenci karena aturan yang sepertinya begitu berat bagi beberapa orang. "Kamu tahu ‘kan aturan di tempat ini, Miranda? No free s*x and drug! Kalau kamu mau melanggar, setidaknya bermainlah dengan aman!" seru Big Boss sambil melempar sebuah map tepat di mukaku. "Kau lihat saja sendiri hasil tes n*****a dan kehamilanmu minggu ini." Aku membuka map itu dan membaca hasilnya dengan perasaan was-was. Hasil tes narkobaku negative. Tentu saja, aku menghirup asap rokok saja tidak bisa, apalagi sok pakai n*****a? Tidak mungkin. Aku membalik lembar kertas tadi untuk melihat hasil tes kehamilanku yang ternyata... positif! "S-saya... hamil? Kok bisa?!" Aku menatap Big Boss yang menaikan sebelah alisnya dan menatapku sinis. Sok banget nih orang, dasar Ursula! Teriakku dalam hati. "Mana saya tahu! Tapi, saya yakin kamu bermain tidak aman dengan pria entah siapapun itu. Jika sudah begini, saya biasanya akan langsung menendang keluar. Tapi, kamu adalah bintang di tempat ini. Jadi, saya kasih dua pilihan." "Apa itu Big Boss?!" Mataku menatap Big Boss dengan berbinar dan senyum mengembang lebar. Tapi, senyumku luntur begitu saja saat Big Boss tersenyum miring dan menatapku dengan tajam. "Keluar dari tempat ini atau gugurkan kandunganmu, Miranda."  Itu bukanlah pilihan yang bagus. Rasanya aku ingin sekali menjambak Big Boss sekarang. Ini sih sama saja kayak menyuruhku gantung diri atau loncat dari lantai 10. Apapun jawabannya aku tetap saja mati. "Big Boss juga wanita, ‘kan? Apa Big Boss tega menggugurkan anak sendiri?" tanyaku bergetar menahan emosi yang akan meledak. Wanita itu tertawa meremehkan dan menatapku rendah. "Kenapa jadi bawa-bawa saya? Kenyataannya, kamu yang ada di dalam pilihan itu, bukan saya. Cepatlah tentukan sekarang, saya tidak punya banyak waktu." Mendengar penuturan enteng itu membuatku ingin sekali menghancurkan ruangan ini sekarang. Dasar wanita gurita! Teriakku dalam hati diiringi sumpah serapah yang kutujukan buat Big Boss tercinta ini. "Baiklah, saya putuskan sekarang.” ... Aku mendumel kesal saat keluar dari elevator dan berjalan ke lobby dengan langkah dihentak hingga membuat keributan akibat gesekan heels dan lantai. Beberapa orang menatapku heran saat aku melewati mereka dengan aura yang tidak enak. "Dasar sok alim! Padahal mah di belakang juga main berondong terus!" dengan seenaknya aku menuduh Big Boss untuk melampiaskan kekesalanku. "Ck, seenggaknya aku tidak akan bertemu wanita gurita itu lagi!" Seruku kemudian berusaha menghibur diri. Ya, aku memilih untuk keluar dari agensi daripada harus menggugurkan anakku sendiri. Untuk sekarang mungkin ini yang terbaik. Kuharap seterusnya juga demikian. "Wah, wah, super model kita sepertinya bakal tinggal nama di dunia hiburan." Aku menoleh ke belakang saat mendengar ucapan bernada mengejek itu. Pelaku yang mengatakan hal tadi adalah 5 orang perempuan dan 2 orang lelaki yang sedang tersenyum sinis dan memandang jijik kearahku. Ha, mereka yang memberiku dare saat itu! "Kalian..." Aku tersenyum senang lalu memasang wajah memohon kepada mereka. "Tolong bantuin gue, dong. Ini semua ‘kan juga gara-gara dare kalian." Mereka bertujuh tertawa nyaring dan menatapku dengan wajah sinis. Salah seorang perempuan yang berdiri paling depan, Monica namanya, menolak pinggang. "Kenapa kita harus bantuin lo? Tujuan kita dari awal tuh buat hancurin lo di sini. Keberadaan lo cuma jadi penghalang, bitch.” "Loh, kenapa begitu?" Aku tersentak lalu tertawa garing mendengar penuturan Monica. "Bukannya kita semua berteman baik?" tanyaku penuh rasa keterkejutan. "Teman? Hei, kita semua deketin lo hanya untuk ngancurin lo. Siapa yang mau berteman sama lo, hah?" seorang perempuan di samping Monica berucap sambil tertawa mengejek yang disusul teman-temannya yang lain. "Sebentar lagi, nama Miranda Fauzi akan menghilang dari tanah hiburan. Kabar yang sangat baik, bukan?" seorang lelaki berucap sambil tersenyum miring. Keenam orang lainnya berseru mengiyakan. Aku mengepalkan tangan dengan erat dan tubuhku gemetar. Aku ingin melawan, tapi aku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Yang kulakukan hanya berlari dari tempat itu secepatnya menghindari orang-orang munafik sialan dan beberapa penonton kepo di sekitar tempat itu. Apa yang harus kulakukan sekarang? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD