Chapter 3

1784 Words
“Barang kamu udah siap semua kan? Gak ada yang ketinggalan?” Tanya Bima. Reina hanya menatap Bima malas kemudian berlalu keluar mendahului Bima tanpa berniat membalas pertanyaan Bima. Bima menghela nafas pelan kemudian menutup pintu apartemennya dan segera menyusul Reina yang hendak memasuki lift. Sepertinya Reina masih kesal dengan kejadian kemarin. Seperti yang dikatakan Bima kemarin, hari ini mereka akan kembali ke Indonesia. Reina sudah merasa kakinya kini lebih baik. Ia kini bisa berjalan dengan normal. Reina kira butuh waktu berminggu-minggu untuk kembali bisa berjalan normal. Namun karna kakinya hanya terkilir biasa, jadi tak butuh waktu lama. Bima dan Reina pun segera menuju bandara.  “Halo Captain Bima,” panggilan seseorang itu membuat langkah Bima dan Reina terhenti. Bima menoleh ke asal suara sementara Reina hanya mengikuti. Bima tersenyum saat melihat seorang pria yang berusia beberapa tahun lebih tua darinya tampak menghampirinya. Reina hanya mengernyitkan dahinya heran melihat seorang pria di hadapannya, terlebih lagi saat mendengar Bima dan seseorang itu menggunakan bahasa yang sama sekali tak Reina mengerti namun Reina yakini bahwa itu adalah bahasa Belanda. “Introduceer hem aan mijn vrienden, Reina (perkenalkan dia teman saya, Reina).” Bima dan pria di hadapan Reina itu sama-sama menatap Reina membuat Reina memperlihatkan ekspresi bingungnya. Bima terkekeh kecil. Menggemaskan. “Reina hallo, ik ben Mark. Leuk je te ontmoeten (hallo Reina, saya Mark. Senang bertemu denganmu). Reina makin menatap heran saat mendengar seseorang di hadapannya berbicara sembari menatapnya. Bima terkekeh melihat Reina makin kebingungan. Reina menatap Bima tajam. Ia tahu Bima sedang menertawakannya. Menyebalkan sekali! “Eh lo gak usah ketawa-ketawa. Dia ngomong apa? Lo jangan bikin gue kayak orang b**o ya,” ucap Reina geram. “Dia bilang namanya Mark. Dia senang ketemu sama kamu. Dia ini teman aku,” ucap Bima menjelaskan. Reina mengangguk paham kemudian melemparkan senyumnya pada pria bernama Mark itu.  “Nice to meet you too,” balas Reina. Hanya itu yang bisa ia jawab. Reina berharap ia mengerti. Setelah Bima berbicara kepada Mark, Bima mengajak Reina untuk berlalu pergi. Mungkin Bima baru saja berpamitan. “Lo kok bisa bahasa Belanda?” Tanya Reina. “Kan aku udah lama disini.” “Oh iya, tadi dia panggil lo captain, emangnya kerjaan lo apa?” Tanya Reina yang mulai penasaran. “Pilot,” balas Bima sembari tersenyum. Reina membelalakkan matanya kaget. Pilot? “Pilot?” Reina bertanya meyakinkan. Wajahnya memperlihatkan ekspresi tidak percayanya. Reina menghentikan langkahnya menunggu jawaban dari Bima. “Iya,” balas Bima. Mendengar jawaban Bima membuat Reina tertawa, lebih tepatnya tertawa meremehkan. “Lo pikir gue percaya? Cara lo ini udah basi tau gak, lo pikir gue bakal kagum gitu karna pekerjaan lo keren? Tampang kayak lo itu cocoknya jadi sopir kopaja tau gak. Jadi gak usah ngibulin gue,” ucap Reina kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan Bima. Bima terkekeh kecil mengingat ucapan Reina. Sopir kopaja? Reina adalah orang pertama yang tak percaya bahwa ia pilot. Bima akhirnya melanjutkan langkahnya mengikuti Reina. Lagi pula tak masalah pagi Bima jika Reina tak percaya pekerjaannya. Bima dan Reina harus menempuh perjalanan yang cukup panjang untuk sampai ke Indonesia. Reina dan Bima duduk bersebelahan di dalam pesawat. Selama di dalam pesawat, Reina hanya diam. Pandangannya kosong memandang keluar jendela pesawat. Bima memperhatikan Reina dari samping. Cantik. Satu kata itu yang kini terlintas dalam benak Bima. Namun Bima merasa bahwa wanita di samping sedang memiliki banyak pikiran maupun beban. Bahkan selama ia tinggal bersama Bima di apartemen, Bima tak jarang melihat Reina termenung sendiri. Bima merasa aura dingin sangat mendominasi gadis ini. Sangat berbeda dengan Bima yang begitu hangat. Entah kenapa Bima rasanya ingin membagi aura hangat ia punya. “Kalau kamu ngantuk, tidur aja,” ucap Bima. Reina hanya diam tak bergeming. Merasa tak ada jawaban, Bima pun memutuskan untuk diam dan mulai memejamkan matanya. Agak asing rasanya duduk di bangku pesawat karna biasanya ia yang membawa pesawat menembus awan. Sebenarnya sangat sulit bagi Bima meninggalkan Amsterdam. Meninggalkan kariernya sebagai seorang Captain pilot yang bisa dibilang sedang ada di puncak kariernya. Namun rasa ingin kembali berkumpul dengan ibu dan kakaknya membuat Bima harus kembali ke negaranya. Lagi pula Bima sudah mendapat panggilan kerja di salah satu maskapai dengan status Captain yang tetap. Saat masih asyik dengan pikirannya sembari terpejam, tiba-tiba Bima merasa ada sesuatu yang mengenai pundaknya. Bima membuka matanya kemudian menoleh pundaknya yang kini sedang menopang sesuatu. Bima tersenyum saat melihat Reina yang sudah tertidur dengan bersandar di pundaknya. Nafas gadis itu terdengar teratur, wajahnya terlihat begitu damai. Bima kembali memejamkan matanya dan menyusul Reina ke alam mimpi. *** Bima dan Reina kini sudah sampai di bandara Soekarno Hatta. Bima mengetik sebuah pesan di ponselnya sementara Reina sedari tadi mengedarkan pandangannya. Mata Reina tampak berbinar saat melihat orang yang ia cari. “Mommy,” suara pekikan itu membuat Reina langsung merentangkan tangannya menunggu jagoannya yang sedang berlari menghampirinya. Bima memperhatikan anak kecil yang sepertinya umurnya sekitar 4 atau 5 tahun itu sedang berlari dengan tawanya. Saat sudah berada di hadapan Reina, Reina langsung membawanya ke dalam pelukan Reina dan menggendongnya.  “Hai jagoan mommy, mommy kangen banget,” Reina memeluk putranya erat. “Zidan juga kangen mommy,” balas Zidan memeluk mommy nya tak kalah erat. “Apa kabar lo Rein?” Reina menoleh pada Lala sahabatnya yang sedari tadi mengikuti Zidan. “Gue baik. Sorry La udah ngerepotin,” sesal Reina. Lala yang mendengar hanya menggeleng pelan. Pandangan Lala terhenti pada Bima yang hanya memilih diam karna ia tak tahu apa-apa sekarang. Namun saat Lala menatapnya ia langsung memberikan senyumnya membuat Lala menjadi salah tingkah. Bagaimana tidak, pria di hadapannya kini sangat tampan dan senyumnya begitu meneduhkan hati. Lala menatap Reina mengerti seolah meminta penjelasan siapa pria itu. “Nanti gue jelas in,” ucap Reina pelan. Zidan melepaskan pelukannya kemudian menatap Reina dengan senyum mengembangnya, diciumnya setiap sisi wajah Reina membuat Reina terkekeh. Bima ikut tersenyum melihat pemandangan di hadapannya itu. Sejak pertama bertemu baru kali ini ia melihat Reina terlihat begitu bahagia. Zidan menghentikan aksinya menciumi wajah Reina kemudian beralih menatap Bima. Wajahnya tampak kaget saat melihat Bima, namun beberapa detik kemudian berubah menjadi berbinar. “Daddy,” panggilnya menatap Bima membuat Bima menautkan alisnya heran. “Mommy benar-benar pulang sama daddy? Jadi ini daddy Zidan?” Tanya Zidan pada Reina dengan mata yang makin berbinar. Zidan menunggu jawaban Reina dengan senyum yang terus mengembang di bibirnya. “Hai jagoan,” Bima mengelus pucuk kepala Zidan lembut membuat Zidan kembali menatap Bima. “Ya daddy.” “Sayang dia bu..” “Sini digendong sama daddy,” ucap Bima merentangkan tangannya. Reina dan Lala sama-sama membelalakkan matanya menatap Bima tak percaya mendengar jawaban Bima terlebih lagi Reina. Ia menatap Bima tajam pertanda bahwa ia tak suka dengan jawaban Bima, sementara Bima hanya mengangguk sembari tersenyum. Entah apa maksud Bima, Reina benar tak paham. Dengan cepat Zidan menyambut uluran tangan Bima membuat Zidan kini beralih ke dalam gendongan Bima. “Ternyata muka daddy Zidan kayak gini,” ucap Zidan meraba wajah Bima. Bima hanya tersenyum kecil. Bima memperhatikan wajah Zidan. Ia terlihat sangat tampan dan menggemaskan. Mata dan hidungnya sangat mirip dengan Reina, hanya bagian bibir yang berbeda. “Daddy kenapa baru pulang?” Tatapan Zidan berubah menjadi sendu. “Daddy kerjaannya banyak banget ya?” Tanya Zidan lagi.  “Zidan, ki..” “Biar aku aja yang jawab Rein,” ucap Bima lagi-lagi memotong ucapan Reina. “Iya, kerjaan daddy banyak banget. Setelah ini daddy juga mau kerja lagi.” “Kenapa? Zidan mau ikut sama daddy.” “Daddy harus lanjut kerja. Zidan kan jagoannya mommy, jadi Zidan sekarang daddy kasih tugas buat jagain mommy. Zidan mau?” Tanya Bima. Zidan tampak berpikir sejenak. “Ya daddy, Zidan bakal jagain mommy selama daddy kerja,” balas Zidan membuat Bima tersenyum. Reina memalingkan wajahnya menatap pemandangan di hadapannya ini yang membuat perasaannya menjadi sangat nyeri. Kenapa putranya sangat mudah mengikuti perkataan Bima? Tangan Lala terulur mengelus pundak Reina. Lala sangat paham apa yang dirasakan sahabatnya itu. “La, bawa Zidan ke mobil duluan ya,” ucap Reina. Lala mengangguk paham. “Zidan ikut aunty Lala ke mobil dulu ya, nanti mommy nyusul,” ucap Reina. Zidan mengangguk kecil kemudian kembali menatap Bima. “Daddy cepat selesaiin kerjaannya ya. Zidan bakal tunggu daddy,” ucap Zidan. Bima mengangguk kemudian memberikan Zidan pada Lala. Zidan melambaikan tangannya pada Bima dan Bima langsung membalasnya. Sedari tadi senyum itu tak pernah lepas dari bibir mungil Zidan. “Maksud lo apa ha? Kenapa lo mengaku-ngaku jadi daddy dia?” Tanya Reina tajam. Ia menatap Bima geram. “Lo bikin gue makin susah tau gak jelasin keadaan ini sama dia,” Reina mengusap wajahnya kasar. “Aku minta maaf Rein, tapi apa kamu tega hancurin kebahagiaan dia tadi? Kamu liat sendirikan gimana bahagianya dia? Dia anak pintar kok. Buktinya dia paham,” jelas Bima. “Dia paham, tapi lo enggak. Lo sama sekali gak paham apa yang sebenarnya terjadi. Lo bikin dia berharap sama lo.” “Aku minta maaf kalau yang aku lakuin tadi menurut kamu salah. Tapi setidaknya kamu masih punya banyak waktu buat jelasin sama dia,” balas Bima. Reina hanya diam tak tahu harus berkata apa lagi. Air matanya jatuh begitu saja. “Aku gak tau apa yang terjadi sama kamu, tapi aku harap masalah apa pun bisa menjauh dari kamu. Maaf kalau sejak kita ketemu aku udah menambah beban kamu.” “Ini bukan salah lo kok, masalah udah begitu akrab sama hidup gue. Makasih tadi bikin Zidan bahagia, bahkan gue gak pernah lihat mata dia sebebinar itu. Maaf buat sifat jutek gue selama ini dan maaf juga udah repot in lo,” ucap Reina. Bima tersenyum kecil. Tangannya terulur begitu saja menghapus air mata Reina. “Gak papa kok. Aku ngerti. Semoga hidup kamu bahagia,” balas Bima. Reina mengangguk kecil. Ditatapnya Bima sesaat kemudian berlalu pergi. Bima menatap kepergian Reina. Bima masih belum mengerti bagaimana kisah hidup wanita itu selama ini. Namun yang Bima rasakan, apa pun itu, semuanya terasa begitu berat untuk Reina.  *** Reina menghempaskan badanya di atas sofa. Dipijitnya pelipisnya pelan. “Nih diminum dulu,” Lala memberikan segelas jus jeruk pada Reina. “Thanks La.” Reina meneguk jus jeruk itu sembari menatap putranya yang terlihat sudah asyik bermain. “Gimana?” Tanya Lala. Reina menghela nafasnya sejenak. “Gue gak nemuin dia La, dia gak ada disana,” balas Reina lirih. “Mungkin lo memang harus berhenti nyari dia.” “Tapi Zidan butuh dia La,” balas Reina lagi. Di tangkupnya wajahnya dengan kedua tangannya. Lala mengelus pundak sahabatnya itu berusaha menguatkannya. “Besok lo jadi ke kantor bokap lo?” Tanya Lala. Reina mengangguk kecil. “Gue harap apa pun keputusan gue nanti, papa bisa terima,” harap Reina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD