Chapter 2

2246 Words
Reina mengerjap-ngerjapkan matanya berusaha mengumpulkan kesadarannya. Setelah matanya terbuka sempurna, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar yang kini ia tempati. Sepi. Itulah kesan pertama yang ia dapati. Kamar ini sangat menggambarkan bahwa kamar ini adalah milik pria dari segi warnanya karena didominasi oleh warna hitam dan putih. Namun dari segi kerapian dan kebersihan, ini sangat jarang ditemui dikamar pria. Kamar ini sangat rapi dan bersih. Semuanya tertata rapi. Reina terpejam sejenak menghirup aroma kamar ini. Reina yakin ini bukanlah aroma pewangi ruangan, tapi ini wangi pria bernama Bima itu. Bahkan kini Reina merasa aroma khas pria itu menempel pada bajunya karena pria itu tadi menggendongnya.  Krukk...krukkk...  Reina mengusap perutnya yang terasa lapar. Reina baru sadar bahwa sejak tadi siang ia belum makan bahkan kini sudah malam. Ini pasti karena ia sedari tadi hanya tidur untuk menghilangkan rasa pusingnya. Tak tahan dengan lapar yang sudah menyerangnya, Reina langsung bangkit dari tidurnya. Ia sedikit meringis saat merasakan ngilu yang luar biasa di pergelangan kakinya. Dengan hati-hati Reina berjalan keluar dari kamar dengan menopang pada dinding. Di luar kamar, Reina mengedarkan pandangannya mencari sosok Bima. Tak mungkin dengan lancang ia mengambil makanan di apartemen orang asing. Namun tiba-tiba indra penciuman Reina langsung menangkap aroma sedap. Dengan naluri kelaparannya, Reina langsung berjalan menuju asal aroma walaupun harus berjalan dengan susah payah. Reina mengerutkan dahinya saat melihat Bima yang sedang berkutat di dapur. Pria ini sedang masak? Oh tentu saja. “Ekhemmm,” Reina sengaja berdehem agar Bima menyadari kehadirannya. “Eh kamu udah bangun, kenapa gak tunggu dikamar aja? Kaki kamu kan masih sakit. Aku bakal antar makan malam kamu ke kamar kok.” “Kaki gue ini keseleo, bukannya lumpuh,” balas Reina ketus kemudian mengambil posisi duduk di mini bar yang berhadapan langsung dengan dapur. “Yang bilang kamu lumpuh siapa sih.” “Secara gak langsung lo itu memperlakukan gue kayak orang lumpuh.” “Ya udah deh maaf.” “Lo masak? Kenapa gak pesan aja? Buang-buang waktu tau gak masak gitu. Takut uang lo habis karna sekarang tanggungan makan lo bertambah karna ada gue?”Tuduh Reina membuat Bima yang sedari tadi sedang memotong bawang terhenti sejenak. “Bukan gitu, aku memang biasa masak. Lagian lebih terjamin kan kehalalan dan kebersihannya. Memangnya kamu tau yang di jual orang-orang itu bersih apa enggak?” Tanya Bima melanjutkan memasaknya. “Terus menurut lo, yang lo masak itu bersih? Gak bisa terjamin juga kali.” “Ya udah deh kalau kamu gak mau makan masakan aku gampang, gak usah dimakan kalau gak percaya sama kebersihannya,” balas Bima sembari tersenyum membuat Reina geram.  “Oh jadi maksud lo gue gak boleh makan masakan lo?” Tanya Reina. Apakah pria di hadapannya ini tidak tahu bahwa kini ia sangat lapar. “Bukan itu maksud aku, makanya kamu jangan berpikiran negatif terus sama orang. Aku bisa pesan in kamu makanan kalau kamu gak mau makan masakan aku.” “Gue bakal makan masakan lo. Lama kalau pesan lagi,” balas Reina. Bima mengangguk paham. Setelah beberapa saat, makanan yang Bima buat pun sudah selesai. Reina sempat tercengang melihat hasil makanan Bima yang terlihat sangat meyakinkan dari segi bentuk. Udang asam manisnya terlihat sangat menggoda. Bima menatap makanannya di meja makan. “Sini, makannya udah siap,” panggil Bima. Reina langsung turun dari kursinya dan berjalan menuju meja makan. Reina tampak sedikit kesusahan untuk berjalan. Bima langsung bergerak cepat menghampiri Reina. “Maaf,” ucap Bima kemudian menggendong Reina. Reina yang mendapat perlakuan tiba-tiba Bima itu pun terpekik dan langsung melingkarkan tangannya di tengkuk Bima. Bima mendudukkan Reina di salah satu kursi di meja makan itu. Reina sempat terpaku menatap Bima. Pria berperawakan tinggi tegap, bola mata hitam legam, rahang-rahang yang kokoh ah ntah seperti apa mendeskripsikan dirinya. Sepertinya Tuhan benar-benar memberikan kesempurnaan pada dirinya. “Lo apaan sih pakai gendong-gendong.” “Soalnya kamu kelamaan, lagian kasihan kaki kamu dipaksa in banget,” balas Bima sembari memperlihatkan senyumnya. Reina yang merasa jawaban Bima masuk akal pun memilih diam. “Aku mau mandi dulu, kamu makan aja duluan ya,” ucap Bima kemudian berlalu dari hadapan Reina. Melihat Bima yang sudah masuk ke kamarnya. Reina langsung berlalu menyantap makanan di hadapannya. Reina terbelalak kaget saat merasakan masakan Bima. Sangat lezat. Tanpa berpikir panjang Reina kembali menyantap makanan itu.  *** “Kamu di Amsterdam ngapain? Kuliah?” Tanya Bima dengan mata fokus pada tayangan TV yang sedang ia tonton. Reina yang sedang membolak-balikkan majalah fashion milik Bima hanya meliriknya malas tanpa berniat membalas. Reina sempat heran kenapa Bima bisa memiliki begitu banyak majalah fashion. Tapi dilihat dari penampilannya Bima memang pria yang fashionable walaupun ia lebih suka sesuatu yang simpel. “Bener Rein kuliah?” Lagi-lagi Bima bertanya karena belum mendapat jawaban. Reina memutar bola matanya malas. Kenapa pria ini sangat kepo? “Gue bukan kuliah disini. Gue sengaja datang kesini buat lihat pameran lukisan, sekalian keliling Amsterdam buat cari inspirasi,” balas Reina seadanya. Bima menautkan Alisnya mencoba mencerna ucapan Reina. “Jadi kamu ini...?”Ucap Bima menggantung seolah ingin Reina sendiri menjawabnya.  “Ya, pelukis. Lebih tepatnya pelukis amatir,” sahut Reina. Bima mengangguk paham kemudian tersenyum. Ada rasa tak menyangka kalau wanita di hadapannya ini adalah seorang pelukis. Tiba-tiba Bima teringat sesuatu yang membuatnya bangkit dari duduknya dan berlalu mengambil sebuah kotak di atas meja ruang tamunya. Bima membawa kotak itu kembali menghampiri Reina. “Ini buat kamu. Maaf ya gak sama kayak yang lama. Aku udah cari, tapi gak ada. Gak papa kan?” Tanya Bima sembari memberikan kotak itu pada Reina. Reina menatap kotak itu yang ia yakini adalah kotak ponsel. Terlihat jelas dengan merek berupa simbol apel yang digigit sedikit di bagian kotaknya. Reina mengambil kotak itu dan membukanya. Reina terbelalak kaget saat melihat ponsel dengan merek yang sama dengan ponsel lamanya namun dengan tipe yang jauh di atasnya bahkan Reina bisa yakini bahwa ini adalah yang keluaran terbaru. “Kamu gak suka? Kalau gak suka aku cari yang lain ya,” ucap Bima yang melihat Reina hanya diam. Reina mendongakkan wajahnya menatap Bima. “Ini kan mahal banget, lo gak usah susah-susah deh. Hp gue yang lama juga bisa diperbaiki kok. Gue mampu perbaiki sendiri,” balas Reina mengembalikan ponsel itu pada Reina. “Gak papa, kan aku yang rusaki. Anggap aja ini ucapan maaf aku.” “Lo nyogok gue?” Tuduh Reina. Bima terkekeh kecil mendengar tuduhan Reina.  “Tuh kan, masih juga negatif pikirannya, serius deh aku gak ada maksud apa-apa.” Reina menghela nafasnya kemudian kembali menatap ponsel itu. “Itu udah bisa digunain. Kalau kamu mau telefon orang tua kamu udah bisa kok, mereka pasti khawatir,” saran Bima. Bima kembali duduk di tempat yang ia duduki sebelumnya. Reina tampak berpikir sejenak. Sejak tadi ada satu orang yang sangat ingin ia hubungi. Tanpa pikir panjang Reina langsung menekan beberapa digit angka. Bima hanya memperhatikan Reina sambil sesekali menoleh ke arah TV. “Halo La.” “....” “Bukan, gue gak jadi balik hari ini.” “....” “Tadinya gue udah mau pulang, tapi sedikit masalah, nanti kalau udah pulang gue ceritai ya.” “....” “Zidan mana? Gue mau ngomong dong.” “....” “Hai jagoan mommy, lagi apa?” “....” “Pintar banget, mommy juga kangen kamu. Sebentar lagi mommy pulang.”  “....” “Zidan jangan nakal ya sayang. Nurut sama aunty Lala.” “....” “Oke siap. Nanti mommy beli in yang banyak ya. Bye sayang.” “....” Reina tersenyum menutup telefonnya. Perasaan lega langsung menjalar di seluruh tubuhnya mendengar jagoannya baik-baik saja. Walaupun nada rindu yang ia dengar membuat hatinya merasa miris, namun jagoannya bisa dengan cepat mengeti. Reina terdiam sejenak. Ia kini merasa sangat dilema. Di satu sisi jika bisa ia tak ingin kembali ke Indonesia mengingat pembicaraannya dengan orang tuanya sebelum ia melarikan diri secara sengaja ke Amsterdam. Namun di satu sisi ia sudah tak bisa makin lama lagi berjauhan dengan jagoan kecilnya. Bima yang sedari tadi memperhatikan Reina ikut larut pula dengan pikirannya sendiri. Zidan? Mommy? Jadi? Bima menghela nafasnya mengusir pikirannya yang sudah berusaha menebak dan ingin tahu kehidupan Reina. Bukankah itu bukan urusannya? “Gue mau tidur,” ucapan Reina itu menyadarkan Bima dari lamunannya. “Ya udah kamu tidur aja di kamar, biar aku tidur disini,” ucap Bima. Walaupun apartemen Bima ini luas namun hanya memiliki 1 kamar. Ini sengaja Bima pilih karena ia hanya tinggal sendiri disini, lagi pula ia jarang menempati apartemennya ini mengingat pekerjaannya yang mengharuskan ia pergi berhari-hari. “Oke,” balas Reina bangkit dari duduknya. Reina sedikit meringis membuat Bima ikut bangkit dari duduknya. “Aku bantu ya,” tawar Bima lembut. Reina menatap Bima sesaat. Kenapa nada bicara pria ini selalu lembut? Tahukah ia bahwa yang ia bantu kini adalah orang asing. Reina mengangguk kecil sebagai jawaban. “Tapi jangan digendong. Gue masih sanggup jalan,” ucap Reina mengingatkan. Bima mengangguk paham sembari tersenyum. Salah satu lengan kekar Bima melingkari tubuh mungil Reina untuk memegang lengannya pula. Sementara tangan yang lain Bima gunakan untuk menggenggam tangan Reina yang lembut. Bima membantu Reina menuju kamar. *** Tok... tok... tok... “Masuk.” Suara sahutan dari dalam kamar membuat Bima akhirnya membuka knop pintu. Walaupun ini merupakan kamarnya, namun tetap saja ia tak bisa sembarang masuk karna kini ada yang sedang menempati kamarnya. Bima berjalan memasuki kamar sembari membawa nampan berukuran sedang. Dilihatnya Reina sedang duduk menyandar di kepala ranjang. Tangannya terulur mengelus-elus pergelangan kakinya. “Selamat pagi,” sapa Bima. “Pagi,” balas Reina pula. “Ni aku bawa in sarapan, maaf cuma ada teh sama roti bakar. Soalnya kan aku emang udah niat mau pulang jadi gak beli persediaan lagi,” ucap Bima kemudian meletakkan sarapan yang sudah ia siapkan untuk Reina ke atas nakas. “Thanks,” balas Reina pelan. Diambilnya segelas teh itu kemudian diseduhnya. “Gimana kaki kamu?” “Udah lumayan.” “Bagus deh kalau gitu, kamu jangan banyak jalan aja dulu, tapi sambil duduk gini coba di gerak-gerak in sedikit,” saran Bima. Reina hanya membalas dengan anggukan kecil. “Ya udah aku mau keluar sebentar ya,” ucap Bima kemudian hendak berlalu pergi. “Bim,” panggilan Reina itu membuat langkah Bima terhenti. Bima berbalik menatap Reina. “Gue mau pulang ke Indonesia.” “Loh bukannya kaki kamu masih sakit? Kamu istirahat aja dulu.” “Lo kenapa jadi larang-larang gue gini sih? Gue udah muak tau sama lo disini. Lo sengaja nahan-nahan gue disini karna lo mau macam-macam?” Bima menggeleng pelan mendengar tuduhan Reina. Apakah di pikiran Reina, Bima itu sangat buruk? Bukankah tadi Bima hanya bertanya bahwa kakinya masih sakit? Tapi kenapa ia menjawab begitu panjang dengan tuduhan yang bertubi-tubi? Bima kembali menghampiri Reina kemudian duduk di tepi ranjang. “Bukan itu maksud aku, kan kaki kamu masih sakit. Kalau kaki kamu udah enakkan, kita bakal langsung pulang kok,” balas Bima lembut. “Tapi gue udah kangen Zidan,” gumam Reina lirih. Walaupun hanya sebuah gumaman namun Bima bisa mendengar jelas. Reina memalingkan wajahnya ke arah luar jendela apartemen. Bima bisa melihat sudut matanya yang sedang membendung air matanya. Sepertinya Reina sangat merindukan Zidan. Bima sedikit terkesiap saat melihat air mata Reina sudah menetes di pipinya. Tanpa sadar tangan Bima terulur menyeka air mata itu. Lengan kokohnya terarah mengusap pipi Reina lembut. Reina yang tersadar akan perlakuan Bima kembali memalingkan wajahnya menatap Bima. “Gue kangen Zidan Bim,” lirih Reina pelan. Bima mengangguk paham. “Besok kita pulang ya. Nanti setelah urusan Aku selesai aku beli tiket buat kita ya,” balas Bima. Reina mengangguk pelan. Bima menarik kembali tangannya kemudian tersenyum pada Reina. Setelah itu Bima berlalu keuar kamar. Sepeninggalan Bima, Reina kembali menatap luar jendela. Kamar apartemen Bima yang terlihat di lantai yang cukup atas membuatnya bisa melihat kota Amsterdam. Pemandangan di hadapannya ini seharusnya bisa membuatnya nyaman. Jika dalam keadaan normal rasanya ia kini ingin sekali mengambil kanvas dan kuas, atau sekedar buku gambar dan pensil untuk menggambarkan indahnya suasana pagi di hadapannya. Namun dengan perasaan gundahnya kini rasanya tangannya tak mampu menggoreskan apa pun pada kanvas itu. Reina tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti saat ia sampai di Indonesia. Harapannya hanya satu, ia bisa bahagia dengan Zidan, jagoannya. *** “Ini tiketnya, besok pagi jam 8 kita balik ke Indonesia ya,” ucap Bima memperlihatkan 2 tiket di tangannya. “Thanks,” balas Reina seadanya. Bima hanya mampu tersenyum mendengar jawaban dingin Reina. Sejak mereka bertemu nada bicara Reina selalu seperti itu. Bahkan ia belum pernah mendapatkan senyum darinya. Bima akan pastikan bahwa bertemu dengan Reina adalah pengalaman yang tak akan pernah ia lupakan.  “Zidan itu anak kamu?” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir Bima. Bukannya ingin terlalu tahu, hanya saja hal ini sedari tadi mengganjal pikiran Bima. Bagaimana tidak, Reina terlihat terlalu muda untuk memiliki anak, walaupun Bima yakin umur mereka tak jauh berbeda. Hanya saja wajahnya terlalu menggemaskan untuk menjadi seorang ibu-ibu. “Iyalah anak gue,” balas Reina penuh penekanan. “Oh sorry. Terus suami kamu gak ikut kesini?” Pertanyaan Bima itu membuat Reina terdiam membeku. Bima yang tersadar bahwa dirinya terlalu banyak tahu hanya mampu menggaruk tengkuknya yang tak gatal.  “Bukan urusan lo!” Desis Reina tajam kemudian berlalu ke kamarnya. Bima mengusap wajahnya kasar. Dari respons Reina sepertinya Reina tak ingin membahas masalah ini dan seharusnya Bima juga tak menanyakannya. Bima yakin pasti kini Reina makin membencinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD