Sejak hari itu, aku selalu mencoba untuk menghindari dari keramaian. Setiap pagi, kami akan selalu berkumpul sambil sarapan. Aku mencoba mencari tempat yang sepi. Bukan untuk apa, tapi karena memang hati ini tidak bisa di bohongi. Sejak saat itu, aku kembali mengingat Bagas. Merindukan saat-saat dia bersamaku, tertawa bersama, hingga berjanji untuk bersama selamanya.
Aku terlalu bodoh, tidak bisa melihat hubungan gelap mereka berdua. Padahal dulu saat masih bersama, Bagas sering perhatian dengan Hana. Aku pikir dia seperti itu karena Hana adalah sahabatku, nyatanya dia punya perasaan lain yang bahkan aku sendiri tidak bisa menyangkalnya.
Setiap kali seperti ini, aku selalu marah pada diriku sendiri. Hampir membuatku gila, tawa kemenangan mereka selalu terdengar di telingaku seperti sebuah musik.
"Tidak, mereka tidak mungkin di dekatku."
Terkadang, alasanku menghindar dari pasien yang lainnya adalah kebersamaan mereka. Sepertinya hanya aku pasien di sini yang tidak pernah seorang pun datang menjenguk. Sedangkan yang lainnya, aku selalu mendengar tawa mereka bersama keluarga tercinta.
Hanya aku, manusia paling kesepian.
"Halo, cantik."
Aku terkejut. Itu sama persis seperti suara Ziko, penyanyi kemarin yang kebetulan juga adalah teman dokter Abimanyu.
Aku tidak menjawab, beluk tahu apakah dia sekarang sedang mencoba mengobrol denganku atau tidak. Maklumi saja, orang yang tidak bisa melihat seperti kami ini sangat lah kesusahan.
"Iya, aku sedang bicara denganmu, yang kemarin nyanyi di depan." Ucapnya lagi.
Ah, itu aku. Aku langsung tersenyum manis, meski tidak tahu ke arah mana. Apakah dia ada di samping kiri ku, kanan, atau dari depanku.
"Kenalkan, aku Ziko. Nama kamu siapa?"
Dia menjabat tanganku. Ternyata dari samping kanan ku. Anehnya, perasaan saat di pegang tangan oleh Ziko sangat lah berbeda saat dengan dokter Abimanyu. Aku merasa biasa saja dengan Ziko.
"Halo kak Ziko, kenalkan aku Diandra Kalisa. Senang berkenalan dengan kakak," ucapku sesopan mungkin.
"Wah, nama kamu secantik pemiliknya. Oh iya, tadi aku lihat dari jauh, kamu seperti tidak nafsu makan seperti itu. Kenapa? Masalah pacar? Atau bagaimana?" Tanya Ziko, menebak apa yang aku rasakan. Dia sudah berhasil menebak, tapi aku ragu untuk bercerita.
Tapi, kalau aku pendam sendiri, terlebih tidak bisa melakukan apapun, aku akan terus kesusahan. Dan sepertinya Ziko ini pria yang mudah diajak kerja sama. Mungkin saja dia bisa menyembunyikan perasaanku setelah ini.
"Hmm... Dari mana kakak tahu?" Tanyaku, sebelum memutuskan untuk menceritakan yang sebenarnya terjadi.
"Kamu menyanyikan lagu yang tentang melepaskan seseorang. Siapa lagi kalau bukan untuk pacar?"
Ah iya, lagu yang sangat mudah di tebak. Terlebih Ziko juga seorang musisi.
Aku mengangguk. Dia sangatlah benar.
"Iya, aku menceritakan hubunganku dengan pacarku. Dia... Menyakitiku,"
Aku berhenti di situ. Belum sanggup melanjutkannya. Seperti ada pukulan kecil dalam hatiku saat mengingat dirinya. Andai hati bisa berteriak dengan lantang, maka aku tidak akan berbicara. Cukup hanya aku dan Tuhan yang tahu bagaimana sakitnya perasaan ini.
"Sepertinya kamu tidak nyaman dengan pembicaraan ini. Apakah aku salah? Ah, sudahlah, jangan di lanjutkan. Kamu sarapan saja, aku pergi."
"Bisakah kakak cari tempat untukku cerita?" Pintaku.
***
Aku tidak tahu ini dimana. Kalau bisa menebak, mungkin ini adalah taman. Udaranya yang begitu menenangkan bisa aku rasakan dengan baik. Aku bisa menghirup aroma bunga, meski tidak terlalu tajam.
"Ayo duduk di sini,"
Ziko membantuku untuk duduk di sebuah bangku panjang. Sepertinya aku benar, kita sedang ada di sebuah taman.
"Terima kasih, kak. Hmm, kita tidak akan dihukum kan kalau berdua seperti ini?" Tanyaku.
"Tentu saja di hukum. Sebentar lagi aku akan dimarahi oleh seseorang karena membawamu ke tempat ini. Kamu tahu?"
"Memangnya siapa yang akan marah? Kalau begitu, ayo kita balik lagi ke dalam daripada nanti kakak yang dimarahi sama orang itu." Ajakku.
Aku sudah mencoba bangun, tapi Ziko menarik tanganku lagi untuk kembali duduk.
"Tidak perlu. Nanti aku akan bicara dengannya. Kamu ceritakan saya padaku, apa yang sebenarnya terjadi?"
"Baik kak, maaf kalau nanti kakak dimarahi. Aku tidak bermaksud seperti itu."
"Hmm, sebenarnya aku punya keluarga. Setahun yang lalu, aku dan keluargaku terlibat kecelakaan maut. Hanya aku yang selamat dari kecelakaan itu, sedangkan mereka sudah tiada. Aku tidak tahu kalau Tuhan akan memberikan takdir seperti ini padaku, tidak bisa melihat bahkan tidak tahu mau melakukan apa-apa. Aku tidak tahu kuburan mereka di mana, aku tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Semuanya, aku tidak tahu, termasuk dengan pacarku."
Baru pertama saja, aku sudah goyah. Aku tidak mampu melanjutkan cerita. Berbicara tentang keluarga memang sangat susah. Ada begitu banyak hal yang harus di korbankan.
Aku mengepalkan tanganku, mencoba untuk menyalurkan perasaan sakit yang ku rasa. Ingin rasanya menangis, meledak. Sulit.
"Aku ada di dalam toxic relationship yang dibuat pacarku sendiri. Aku baru menyadarinya sehari sebelum kecelakaan itu. Dia... Dia selingkuh dengan sahabatku sendiri. Bodohnya aku adalah tidak menyadarinya hubungan gelap mereka. Mereka mengkhianatiku, memanfaatkan diriku selama ini. Aku--"
Tangisku meledak. Aku tidak bisa menahannya. Terlalu sulit. Ziko mencoba menenangkan ku, mengelus punggungku dengan harapan bisa membuatku lebih tenang.
"Tak seorang pun datang untuk menjengukku. Keluarga, bahkan teman, tidak ada. Aku benar-benar sendirian di dunia ini. Aku hanya ditemani memori ku saja. Aku ingin melupakan mereka, membuka lembaran baru tapi Tuhan memberikan takdir pahit ini. Bagaimana aku bisa membuat lembaran baru kalau aku saja tidak bisa melihat?. Please, coba katakan, apa yang bisa aku lakukan untuk melupakan mereka. Bahkan aku sen--"
"Sudah, cukup. Jangan diteruskan lagi. Aku paham, jadi jangan menangis lagi."
"Ini terlalu sakit, kak." Gumamku, sesegukan.
"Sudah, sudah." Ucap Ziko, menenangkan ku.
"Zikooo!"
Itu suara dokter Abimanyu. Sepertinya dia takut temannya dekat-dekat dengan pasien sepertiku. Pantas saja tidak ada seorang pun yang datang menjenguk.
"Atas dasar apa kamu keluar membawa pasien seperti ini!?" Bentak dokter Abimanyu. Aku kaget, tidak menyangka dia akan seperti ini.
"Maafkan aku, sepertinya kalian tidak perlu bertengkar hanya karena pasien seperti ku ini."
Aku hendak pergi, tapi tanganku di cegat. Ini Ziko, aku tahu. Lagipula, mana mungkin dokter Abimanyu yang melakukannya.
"Kamu keterlaluan, Abi. Kamu harus membedakan mana perasaan dengan pekerjaan. Jangan sampai kamu dibohongi oleh dirimu sendiri. Keep positive, bro!"
Ziko mengajakku untuk pergi. Aku hanya mengikuti dirinya. Entah dia akan membawaku ke mana.
"Dokter Abimanyu benar-benar marah sama kita?" Tanyaku. Takut kalau itu benar-benar terjadi.
Bisa bahaya kalau seorang dokter membenci pasiennya. Bisa-bisa pasien di beri racun, atau dosis tinggi. Terlebih aku tidak bisa melihat.
"Tidak. Dia hanya resah saja."
Maksudnya apa?. Ah sudahlah, pada akhirnya aku akan tetap tidak berkepentingan dengan dirinya.
***
"Kamu marah tidak kalau aku bawa ke danau dekat sini? Aku mau menunjukkan sesuatu padamu,"
"Tidak masalah. Aku juga ingin melihat setenang apa danau yang ada di sini. Seindah apa mereka, mungkin bisa membuatku semakin semangat untuk bisa melihat, nantinya." Harapku.
"Tentu saja. Aku akan memberikan kejutan untukmu disana nanti," ujarnya.
Aku sangat berharap, setidaknya bisa membangkitkan semangatku untuk hidup dari orang lain. Ya, aku masih menganggap Ziko sebagai orang lain. Ini baru pertemuan kedua kita.
Dokter Abimanyu? Entahlah. Aku tidak tahu. Apakah dia sudah menjadi orang spesial bagiku atau belum.
Aura ketenangan sudah terasa. Angin sepoi-sepoi, dingin, sudah sangat mengisyaratkan ada danau di sekitarku. Apalagi, ini aromanya seperti air. Astaga, susah mengungkapkannya.
"Kak Ziko, kita sudah ada di danau?" Tanyaku.
Tidak ada jawaban. Kemana dia? Jangan bilang kalau dia meninggalkanku sendirian di sini?. Please, aku tidak bisa melihat. Aku tidak tahu jalan pulang.
Dejavu.
Aku langsung bergerak lincah mencari sumber suara itu. Suara petikan gitar, nada per nadanya dipadukan dengan suara yang indah. Ini Ziko, tapi kenapa dia melakukannya?.
Pasalnya, aku mengingat apa yang dilakukan Bagas dulu padaku. Dia juga menyanyikan lagu ini saat menjadikanku sebagai pacarku.
Please, can anyone tell me about this one?. Ini sangat membingungkan.
Ica, tetap tenang. Please,
Aku memang mendengarkan Ziko bernyanyi, tapi aku tidak bisa fokus. Pikirku sudah kemana-mana. Aku ingin tetap berpikiran positif, tapi sulit.
Aku kaget. Ziko memegang tanganku. Sebenarnya aku tidak nyaman dengan hal ini. Ziko seperti mengungkapkan sesuatu padaku. Sabar, Ica, dengarkan sampai akhir.
Akhirnya, selesai juga.
"Diandra, kenapa aku selalu memikirkan mu terus?" Bisik Ziko.
Deg.