"Diandra, kenapa aku selalu memikirkan mu terus?" bisik ziko.
deg.
Spontan aku melepaskan tangan Ziko, tapi aku malah terhuyung , keseimbanganku goyah dan dalam sekejap aku kembali dalam pelukannya. Ini tidak benar, sama sekali tidak benar. Apa yang sudah aku lakukan sampai-sampai dia terus memikirkan ku. Aku pikir, aku tidak melakukan salah apapun.
"Aku suka sama kamu, Diandra." Bisiknya lagi tepat di samping telingaku sendiri
Entah mengapa aku jadi takut. Aku tidak tahu mau melakukan apa setelah ini, tapi yang pasti, aku takut. Kenapa aku malah berpikir kalau aku sangat membutuhkan dokter Abimanyu saat ini juga, menolongku dari Ziko yang sepertinya sudah kehilangan akal.
"Maaf, Ziko, tapi..." aku berusaha melepaskan diriku dari dirinya. Semakin aku mencoba lepas, semakin ia memelukku erat sampai ketakutan itu semakin menjadi-jadi dalam diriku. "Kita cukup berteman saja. Aku tidak pantas untukmu, aku ini cacat." kataku.
"Tidak, Diandra. Kamu tidak cacat, kamu sempurna dengan caramu sendiri, dengan apa yang kamu miliki. Kamu sangat sempurna dan sangat pantas." Bisiknya.
Aku merasa Ziko sedikit keterlaluan. Tidak hanya memelukku, aku merasakan bahwa dia mendusel-dusel di leherku. Apakah dia mau memperkosaku? Hanya karena aku menolaknya? Tidak bisa dibiarkan.
"Ziko, jangan seperti ini. Aku takut sama kamu." Dengan terang-terangan aku berkata demikian padanya. Aku tidak mau diperlakukan tidak layak lagi setelah aku tidak memiliki apa-apa di dunia ini selain diriku sendiri.
"Aku orang baik, Diandra. Kenapa kamu harus takut?"
"Makanya jangan sentuh-sentuh!"
Melakukan berbagai cara untuk bisa terbebas darinya. Tenaganya lebih kuat dibanding denganku. Sampai akhirnya aku tidak punya pilihan lain selain berteriak meminta tolong.
"Tolong!"
"Tolong!"
Bugh!
Bugh!
Aku cukup terkejut. Baru saja aku berteriak meminta tolong sudah ada yang datang menolongku. Pertanyaannya, siapa orang yang menolongku ini?
"Kurang ajar sekali kamu, Ziko!"
Suara itu... sudah pasti jawabannya adalah dokter Abimanyu. Dia menolongku dan menjadi penyelamatku. Terimakasih Tuhan, Engkau tidak salah membuatkan mengidolakan dirinya. Dia sebaik itu padaku, tanpa memandang bulu. Padahal Ziko adalah temannya sedangkan aku hanyalah pasiennya saja.
"Abi, kamu ngapain pukul aku? Aku ini temen kamu!"
"Kalau kamu memang teman aku, setidaknya kamu jangan b***t sama pasien aku, Ziko! Dia pasien aku, masih menjadi tanggung jawabku. Kamu ngerti?!"
Entah dimana mereka saat ini berada, aku tidak tahu pastinya. Tapi yang bisa aku pastikan adalah, aku bisa mendengar suara mereka. Kulayangkan tanganku, meraba di mana mereka saat ini, tapi sulit. Aku tidak bisa melihat.
"Jangan bertengkar." kataku, berhara dua pria itu mendengarkanku.
"Aku cuman nyatain perasanku aja sama dia, Abi. Aku suka sama dia, apa aku salah?!"
"Kamu bercanda?! Dia itu buta!" dokter Abimanyu menyindirku, mengejek kekurangan dalam diriku.
Deg.
Aku terdiam di tempatku, tanganku pun kembali turun. Kutundukkan kepalaku, memikirkan apakah aku memang benar-benar pantas disebut-sebut seperti ini? Mereka punya mata yang masih sehat tuk melihatku, tuk menilaiku kalau aku ini punya banyak kekurangan. Seketika aku ingin kabur saja dari dunia ini, apalagi di saat dokter Abimanyu dengan terang-terangan menyebutkan kekuranganku.
"Dia memang buta, Abi. Tapi kamu tidak bisa meremehkan orang begitu saja."
Apakah itu artinya Ziko mendukungku? Entahlah. Satu-satunya yang ada di pikiranku saat ini hanyalah kabur. Aku ingin sendiri. Aku sudah cukup dikhianati oleh masa laluku, aku tidak mau dipukuli lagi dengan harapanku di masa depan. Jujur saja, aku sangat kecewa dengan dokter Abimanyu saat ini. Rasanya kekagumanku padanya perlu kupertanyakan.
"Maaf, aku belum bisa sempurna seperti kalian," ujarku, balik badan dan ingin kabur dari dua pria yang masih mendebat itu.
Baru saja aku balik badan, aku menabrak bangku tempatku duduk beberapa waktu lalu dan mengakibatkan diriku jatuh terguling-guling.
"Diandra!"
***
"Ini mungkin menjadi pelajaran bagi anda untuk kedepannya tidak mudah terpengaruh dengan orang yang anda tidak kenal. Setidaknya Anda tidak menyusahkan orang lain atau bahkan menyakiti diri anda sendiri," ujar dokter Abimanyu yang sedang mengobati lukaku. Luka akibat aku yang terlalu nekat mau kabur di saat aku tak bisa mengenal arah.
Aku hanya mengangguk, meski aku menoleh tuk menatap wajahnya pun tetap saja yang bisa aku gambarkan adalah kegelapan. Aku tidak bisa melihat apapun, aku hanya bisa merasakan. Dan sekarang yang aku rasakan masih kekecewaan.
"Terima kasih dokter Abimanyu. Terima kasih sudah membantu saya selama ini. Saya tidak tahu kalau selama ini dokter Abimanyu malah repot dengan keberadaan saya. Mungkin sebaiknya mulai dari sekarang saya tetap di ruangan saya saja dibandingkan ikut keluar seperti pasien yang lain dan malah merepotkan banyak orang lagi." ujarku.
"Tidak. Anda tidak merepotkan saya. Sama sekali, apalagi Anda adalah pasien saya sendiri. Saya hanya mengatakan kalau kedepannya anda lebih hati-hati kalau ada yang mengajak anda keluar karena mereka belum tentu punya niat baik sama Anda." Ucap dokter Abimanyu lagi. Bukankah maksudnya sama saja? Yang pada intinya adalah jangan merepotkan.
"Termasuk Anda, dokter?" tanyaku.
Lama tidak ada jawaban. Entah dia menatap aku dengan penilaian yang bagaimana. Aku tidak tahu. Tapi sepertinya aku baru saja mengatakan hal yang salah yang mungkin saja menyentil perasannya. Ah, sepertinya itu bukanlah masalah yang serius. Dia juga melakukan hal yang sama padaku. Secara langsung menyindirku buta.
"Kalau anda keluar bersama saya, anda bisa aman. Tapi kalau dengan orang lain, mereka tidak bisa bertanggungjawab. Sederhananya seperti itu dan kedepannya kalau Anda mau keluar, tolong tunggu saya dulu untuk menemani Anda. Setidaknya itu lebih baik dibanding menyakiti diri sendiri," ujarnya kemudian terasa meninggalkan ruangan rawatku.
Hhh... kembali sepi.
***
Keesokan harinya, tumben sekali selain hari weekend kita diminta berkumpul di aula. Karena kejadian kemarin membuatku enggan keluar dari ruangan ku. Aku tetap diam di tempat tidurku, bahkan ketika perawat datang memanggil pun aku tidak mau. Aku menolak, tidak mau dicap sebagai orang yang merepotkan orang lain terus. Aku juga punya hati meski mataku sudah tidak bisa melihat lagi.
"Diandra, ayo keluar. Kita lihat hiburan bareng di aula," ajak orang yang tidak aku kenal fisiknya, tapi aku bisa mengenal suaranya. Dia adalah seorang nenek yang selalu perhatian padaku lebih dari pasien yang lainnya di rumah sakit ini. Dia punya mata tuk melihat, tapi dia tidak bisa berjalan.
Selalu ada keadilan.
"Kayaknya gak dulu deh, nek. Ica lagi malas keluar, mau di kamar aja. Lagian Ica gak bisa lihat acaranya, gak ada bedanya kalau Ica dengr aja dari kamar." kataku, mengulas senyum manis untuknya.
"Kamu bisa duduk di samping nenek. Nanti nenek yang ceritakan." Bujuknya.
Sekali lagi aku hanya bisa menarik senyumku aja untuknya. "Terimakasih nek atas tawarannya, tapi kayaknya aku di kamar aja. Aku takut merepotkan nenek, gak enak sama nenek."
"Kapan kamu merepotkan nenek? Kamu gak pernah merepotkan nenek, nak Diandra."
"Memang bukan nenek, tapi seseorang yang Ica ken--"
"Diandra, mari keluar gabung dengan yang lainnya. Ada pentas seru yang harus kamu lihat dengan temanmu yang lain." Itu suara dokter Abimanyu, mengajakku keluar kamar.
Akhirnya dia turun tangan tuk membujukku.
"Saya takut merepotkan banyak orang, dokter. Saya di kamar saja. Saya masih bisa mendengarkan pentas dari kamar saya." Kataku, menolak.
"Kesempatan tidak datang dua kali."
Suaranya begitu dekat dan tidak berselang lama aku merasakan tubuhku diangkat. Sudah pasti orangnya adalah dia, dokter Abimanyu. Kemudian mendudukkan ku di kursi roda.
"Pentas kali ini Anda pasti sangat menyukainya." ujarnya lagi.