Genre Musik

1717 Words
Terpaksa, daripada memperpanjang masalah dan membuat keributan pagi-pagi hari, akhirnya aku mau keluar dari kamar rawat ku. Tentu saja dengan bantuan dari dokter Abimanyu dan beberapa perawat yang mengikuti dari belakang. Entah pentas apa yang dimaksudkannya, semoga saja tidak ada Ziko di acara kali ini. Aku cukup lelah dan masih mengingat pembicaraan mereka yang kemarin. Sesampai di aula, rasanya dokter Abimanyu pula yang mengangkat tubuhku tuk duduk di bangku panjang dan berdampingan dengan pasien yang lainnya. Riuh suara dan tepuk tangan bisa aku dengar, sayangnya aku hanya tidak bisa melihat. Itu saja. "Diandra, sepertinya akan ada pentas komedi. Biar nenek sja yang ceritakan sama kamu, ya." Ucap nenek, yang ternyata masih mengingat janjinya padaku. Aku mengulas senyum untuknya, "iya, nek. Ceritakan aku, biar aku bisa ngerasain jga kayak yang lainnya." Aku memegang tangan nenek itu sepanjang pentas berlalu. Ia menuturkan semua yang terjadi hingga aku bisa merasakan kalau aku berbaur dengan keadaan ini. Aku bisa tertawa bersama dengan yang lainnya, tidak merasakan sendiri lagi. Sampai akhirnya acara selesai, semuanya bubar, tapi aku bingung mau balik dengan apa. Aku tidak membawa tongkatku. "Nek, balik sama siapa? Ica lupa bawa tongkat." Kataku pada nenek, kali saja masih ada di sampingku. Namun, bukan nenek yang menjawabmu, melainkan dokter Abimanyu. "Balik dengan saya, Diandra. Kebetulan Anda belum sarapan juga, kan?" Tanyanya Dalam hati aku berkata, "bagaimana dia bisa tahu aku belum sarapan? Aku kan sengaja gak keluar, takut ngerepotin seperti katanya. Huft... Gimana ini? Aku jujur atau bohong saja?" "Perawat lapor sama saya kalau Anda belum sarapan, jelas itu tidak baik untuk anda. Jadi untuk sekarang, biar saya yang membawa anda ke kantin dan saya juga yang bantu anda makan." Ujar dokter Abimanyu. Aku bisa merasakan badanku kembali diangkat, merasakan tubuhku sudah ada di kursi roda. Aku juga merasakan kalau kita sudah mulai pindah, beranjak ke kantin seperti katanya. Hanya saja, aku menakutkan satu hal, "kalau anda kerepotan, lebih baik jangan, dokter Abimanyu. Saya bisa sarapan sendiri, mungkin bisa menyuruh perawat untuk membawakan saya sarapan ke kamar saya. Pak dokter juga pasti banyak urusan, dibandingkan harus mengurus saya." Kataku takut-takut berani mengatakannya. "Tidak, kok. Saya tidak ada kerjaan setelah ini. Untungnya sekarang ada yang gantian shift dengan saya, jadi saya tidak kerja sendirian seharian penuh." Tuturnya. "Jadi kamu tidak perlu canggung sama saya. Anggap sja kalau kita berteman." Dia terdengar baik dan memang mungkin seperti itu. Selama ini aku selalu menganggap kalau semua orang di dunia ini adalah orang yang baik, hanya saja terkadang ada yang berani menganggu kebahagiaan mereka sehingga hasrat tuk menjadi buruk itu muncul. "Terima kasih kalau begitu, dokter Abimanyu. Saya janji kedepannya tidak akan menganggu anda lagi. Saya hanya berharap secepatnya ada donor mata untuk saya." Kataku, harapan ini selaku aku adukan kepada Tuhan. Keinginan terbesarku saat ini adalah bisa melihat. "Iya. Akan saya usahakan juga, Diandra. Sampai saat ini saya tidak berhenti mencarikan donor mata untuk anda." Syukurlah. Aku sangat bersyukur masih bisa mengenalnya, menjadi dokter yang baik pada pasiennya. Aku hanya sedikit tidak bersyukur dengan takdir yang sengaja mempermainkan diriku ini. Tidak lama, aku bisa menghirup aroma masakan, sudah pasti jarak kantin ada di dekatku. Bahkan tak jarang aku mendengar suara denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Beruntungnya untuk orang yang bisa melihat, bisa makan dan beraktifitas dengan baik seperti sedia kala. Kalau aku? Semuanya gelap, segelap harapanku. "Mau lauk apa?" Tanya dokter Abimanyu. "Terserah, dok. Saya terima semuanya, tidak memilih. Tapi yang penting jangan kuah ya, dok. Saya tidak bisa merabanya, saya takut nanti malah merepotkan dokter " kataku. "Oke." Meski aku sudah mengatakan ini-itu, tapi aku tidak bisa memastikan bahwa dokter Abimanyu mengambilkan lauk selain yang berkuah. Aku memasrahkan semuanya padanya, dia lebih tahu daripadaku. Kemudian tidak lama setelah itu, ia kembali mendorong kursi rodaku. "Diandra, tolong buka mulut anda. Biar saya yang suapin." Deg Beneran? Gak bohongan, kan? Aku takut berharap lebih. "Maaf, dok. Bisa ulang sekwli lagi? Sepertinya saya salah dengar," pintaku. Ia malah terkekeh. "Biar saya yang suapin anda. Saya mengambilkan kuah sup jga untuk anda. Ini baik untuk kesehatan anda dibanding makan makanan berminyak setiap harinya." Katanya. Satu kata, dia baik sekali. Aku membuka mulutku dan benar saja dia menyuapiku kuah sup yang rasanya sangatlah enak. Setelah cukup lam ada di rumah sakit ini, mungkin ini kali pertamanya aku makan sup lagi. Selama ini aku selalu berusaha mandiri, tidak menyusahkan yang lainnya, terutama perawat yang sering memantau ku. Mentok-mentok, aku hanya makan nasi agar tidak mengotori bajuku. Aku tidak mau merepotkan siapapun, tapi sekarang ada pria baik yang malah menawarkan dirinya dengan sangat suka rela. "Bagaimana?" Tanyanya. "Sangat enak." Jawabku. Aku sampai ingin menangis saking enaknya, tapi aku hanya bingung sekaligus menjadi penasaran saja, bagaimana jadinya aku yang buta dan tidak bisa melihat ini menangis? Pasti aku terlihat lucu dan banyak yang akan menertawakan ku. Ya, mungkin. "Kalau enak, mungkin kedepannya saya bisa menyuapi anda lagi kuah sup yang seperti ini." Dokter Abimanyu menawarkan dirinya lagi. Astaga, baik sekali. Dia yang sekarang sangatlah berbeda dengan dia yang berbicara dengan nada yang tinggi kemarin di danau. Apakah dalam wktu semalam saja dia langsung berubah? Benar-benar di luar dugaanku. "Tapi saya takut merepotkan Anda, dokter. Saya takut tuduhan anda yang kemarin tentang saya terdengar lagi. Saya cukup malu dengan tuduhan itu, semakin membuat saya sedih dengan keadaan saya yang seperti ini." Ujarku sembari tetap menerima suapan demi suapan yang ia berikan padaku. Jujur saja, sngat enak. "Tidak kok. Anda tidak merepotkan saya. Sudah saya katakan sebelumnya, anggap saja saya ini teman anda, jadi anda tidak perlu merasa tidak enak hati lagi." Aku mengangguk menyetujui. "Terima kasih, dokter. Mulai hari ini saya akan makan makanan sehat, tapi kalau dokter punya pekerjaan yang lebih penting, bisa tinggalkan saya. Saya sudah terbiasa makan tanpa lauk semenjak buta gini." "Lebih enak dengan lauk." Katanya menegaskanku. Baiklah, ternyata dokter Abimanyu sangatlah keras kepala. *** Aku tidak tahu dan tidak mengerti kenapa dia bisa sebaik ini sama aku. Dia memberikanku ponselnya yang sudah tersetel lagu-lagu, menyumpal telingaku dengan earphone miliknya, membiarkanku mendengarkan alunan nada yang sangat indah ini. Tahu kalau aku sangat suka musik. "Dokter, apa suaranya bisa dikencangkan sedikit? Kalau tidak merepotkan." Kataku. Dia terdengar tertawa, "tentu saja bisa, Diandra. Oh iya, aku percayakan hp aku di tanganmu ya. Aku mau pergi mengontrol pasien yang lainnya, jadi aku harus ninggalin kamu sementara di taman ini. Ingat kataku, jangan kemana-mana, tetap diam di sini mendengarkan musik yang aku setelkan untukmu." Ucapnya yang malah terdengar seperti perintah di telingaku. Aku mengangguk patuh, "baik, dokter. Percayakan pada saya. Lagipula, saya juga tidak bisa bawa kabur hp anda. Saya tidak bisa melihat, mana mungkin saya bisa berlari dengan lancar. Tenang saja." Dia malah memberantakkan rambutku. "Iya, saya percaya Anda." Ucapnya. Sepertinya dia sudah pergi, tidak ada aura keberadaannya di sekitarmu. Mungkin di sekelilingku ada banyak orang, punya aktivitas yang berbeda-beda, akan tetapi aku bisa merasakan hal yang berbeda khusus untuk hari ini. Udara yang segar, angin sepoi-sepoi, ditambah lagi dengan alunan lagu yang kudengar. Dokter Abimanyu sangat pintar memilih tempat shingga menciptakan suasana yang begitu membuatku nyaman. Aku ikut ke bersenandung mengikuti lagu-lagu yang bergantian memutar. Hampir semua lagu yang diputar bisa aku nyanyikan. Aku santai, aku merasa damai, dan aku suka kepada yang seperti ini. "Rasanya pengen setiap hari kayak gini. Gak cuman di taman aja, kalau bisa aku juga mau kayak gini pas mau tidur. Pasti aku gak perlu maksain diri dulu baru bisa ketiduran." Gumamku. "Emangnya anda gak punya hp?" Dokter Abimanyu balik lagi. Aku bisa merasakan dia sudah duduk di sampingku, sangat terasa auranya. Dia memperbaiki rambutku, mungkin masih berantakan dan semakin berantakan karena beberapa kali aku mengangguk-angguk kepala sembari mendengarkan musik. "Dokter lupa? Saya ke rumah sakit ini tidak bawa apa-apa. Bahkan kalau pun saya punya hp, saya gak bisa mengoperasikannya, dok. Saya gak bisa lihat, kecuali ada yang mau bantu saya setel musiknya." Kataku. "Saya bisa bantu anda setel musiknya. Anda tinggal tunggu saja mendatangi kamar anda, saya akan setelkan musik. Anda bisa tidur dengan nyenyak setelah itu." Apakah ini benar-benar dokter Abimanyu? Dia seperti seorang malaikat baik hati yang selalu siap siaga menyiapkan semuanya, apapun itu bentuknya. Aku hanya tidak menyangka kalau dia mau melakukannya untukku. "Terimakasih dok." Ujarku, tertawa garing. Bisa kurasakan dokter Abimanyu menarik sebelah dari earphone, yang mungkin dipasangkan di telinganya. Aku merasa sedikit kecewa, lagu yang mengalun terdengar cukup kecil di telingaku. "Anda suka lagu yang kayak gini ya?" Tanyanya. "Maksud dokter?" Tanyaku. "Lagu yang melo. Perasaan dari kemarin anda selalu menyanyi lagi itu, terkadang diam-diam saya menemukan Anda bernyanyi lagu melo. Kayak anda seperti sendirian saja." Tanpa dokter Abimanyu sadari, dia sudah mendapatkan jawabannya dan tanpa sengaja mengejek diriku. "Benar, pak dokter. Saya orang yang kesepian, tidak punya keluarga satupun, saya tidak punya alasan bertahan di dunia sedikitpun. Maka pantas kalau saya lebih suka lagu Melo dibanding yang lain, semacam mengutarakan apa yang saya rasakan aja." Kataku. "Kamu tidak mau coba genre yang lain?" Tanyanya. "Maksud dokter?" Tanyaku balik. "Kali aja kamu mau merubah warna genre kesukaan kamu. Sekarang aku dengar banyak lagu-lagu percintaan, mungkin kamu akan suka." Aku merasakan dia mengambil ponselnya dari pangkuanku, mungkin bermaksud mau mengubah lagu menjadi genre yang disebutkannya tadi. Tidak. Dia tidak mengerti maksudku. Dia tidak tahu kalau hidupku yang sekarang tidak bisa berwarna lagi. Sepenuhnya sudah hitam dan putih, dipaksa memiliki warna sama saja dengan menyakiti diriku sendiri dengan perasaan harapan yang mungkin tidak akan bisa tergapai olehku. Aku hanya takut terlalu berharap dan terluka setelahnya. Lebih baik aku tidak melakukannya. "Tidak. Dokter tidak mengerti." Kataku. "Saya tidak bisa mendengar lagu lain. Saya tidak bisa, dok." "Kenapa?" Tanyanya. "Lagunya bagus-bagus kok. Mungkin saja membuat anda berkeinginan untuk jatuh cinta lagi. Secepatnya anda akan menemukan orang yang tepat dalam hidup anda." Tuturnya. "Hati saya sudah membatu, pak. Saya tidak bisa jatuh cinta lagi. Saya buta akan warna percintaan, saya tidak bisa melihat warna lain selain hitam. Artinya tidak ada harapan lagi bagi saya, dok." *** Malamnya, benar saja dokter Abimanyu mendatangi kamarmu dan menyetel kan lagu untukku. Genre sedih dan melo adalah pilihan yang tepat. "Maaf kalau saya terlalu lancang, tapi bagi saya anda masih punya banyak kesempatan untuk bisa jatuh cinta lagi, Diandra. Saya sudah berjanji untuk membawakan anda pendonor mata, maka segera setelah Anda bisa melihat, anda juga bisa merasakan jatuh cinta lagi." Kata dokter Abimanyu, kembali mengungkit masalah tadi pagi. Aku hanya bisa tersenyum. "Semoga saja." Kataku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD