Episode 6

1192 Words
Di dalam ruangannya, Chachaa terlihat tengah duduk di kursi kebesarannya sambil menatap layar handphonenya. ‘Sudah dua hari berlalu sejak pertemuanku dengan si Crocodile. Kenapa dia tidak pernah datang lagi ke sini yah dan kenapa handphoneku juga sepi sekali. Biasanya dia rajin mengirim pesan dan melaporkan apa saja yang sedang dia lakukan, walaupun tidak pernah aku tanggapi,’ batin Chacha. ‘Apa gue keterlaluan yah mengerjainya saat itu? Apa dia benar-benar di keroyok?’ batin Chacha. “Ah Chachaa, lu sudah gila. Kenapa memikirkan si Crocodile gila itu,” gumam Chachaa mengusap wajahnya gusar. “Tapi rasanya sepi sekali tanpa di ganggu dia, biasanya dia selalu datang dengan membawa berbagai hadiah,” gumam Chachaa melirik boneka panda kecil berwarna pink putih yang sempat diberi Okta beberapa hari yang lalu. “Kenapa aku begitu merindukannya. Ah,, sadar Chachaa sadarlah.” Chachaa memukuli kepalanya sendiri. Karena terlalu pusing memikirkan Crocodilenya, Chacha pun beranjak seraya mengambil stetoschope dan beranjak keluar ruangan. Sebaiknya ia memeriksa kondisi pasien daripada terus memikirkan pria itu. Sesampainya di ruang incubator, Chachaa langsung memeriksa kondisi bayi fremature yang beberapa waktu lalu lahir secara caesar setelah ibunya melakukan operasi jantung. Terdengar derap langkah kaki mendekatinya membuat Chacha menoleh dan melihat kehadiran Dhika di sana. “Bagaimana kondisinya sekarang, Dokter Clarisa?” tanya Dhika yang kini berada di hadapan Chacha. “Keadaannya jauh lebih baik, jarang sekali bayi fremature menunjukkan perkembangannya secepat ini,” ujar Chachaa membuat Dhika mengangguk paham dan menatap ke arah bayi laki-laki itu yang tengah tertidur. ‘Apa gue tanya tentang si Crocodile ke Dokter Dhika saja yah?’ batin Chachaa menatap Dhika. ‘Tetapi nanti di kira gue suka lagi sama tuh buaya,’ batin Chachaa sebal sendiri. “Ada apa Dokter Clarissa? Apa ada yang mau kamu tanyakan?” tanya Dhika yang sadar Chachaa memperhatikannya. “Itu- anu-,, emmm” Chachaa mendadak gugup. “Ada apa?” tanya Dhika menunggu pertanyaan dari Chachaa. “Kenapa Crocodile tidak pernah datang lagi ke sini?” cicit Chacha. “Crocodile?” Dhika mengernyitkan dahinya. “Ma-maksud saya Oktavio,” ucap Chacha, menundukkan kepalanya karena malu dan mengutuk dirinya sendiri karena sudah menanyakan hal itu. “Oh si Aligator, dia sedang ada pekerjaan di Bandung. Kenapa? Kamu merindukannya?” goda Dhika. “Ti-tidak kok, saya hanya penasaran saja dan apa malam itu, dia sempat di keroyok orang-orang?” tanya Chacha menggigit bibir bawahnya. “Kejadian itu yah,” gumam Dhika. “Tidak. si Aligator berhasil lari,” ujar Dhika membuat Chachaa bernafas lega. “Aligator? Panggilan yang tidak terlalu buruk,” gumam Chachaa terkekeh. “Mau saya sampaikan salam padanya?” tanya Dhika. “Tidak,, tidak perlu repot-repot Dokter Dhika. Saya hanya merasa bersalah saja karena sudah menjebaknya,” ujar Chachaa salah tingkah. “Benarkah?” tanya Dhika memicingkan matanya. “I-iya,, kalau begitu saya permisi. Mari Dokter.” Chachaa beranjak meninggalkan ruang incubator dan Dhika hanya terkekeh melihat tingkah chachaa yang salah tingkah. ◄► Okta baru saja sampai di AMI Hospital. “Ah apa kabar yah si Nela? Apa dia kangen gue?” gumam Okta berjalan menyusuri lorong rumah sakit.           Langkah Okta terhenti saat melihat Claudya yang menangis di taman rumah sakit. Jiwa pria di dalam dirinya memberontak untuk menenangkan wanita itu. Okta adalah pria baik yang tidak kuasa melihat air mata wanita jatuh membasahi pipinya.           Okta sudah sampai di hadapan Claudya yang tampak sibuk dengan pemikirannya dan air matanya terus jatuh membasahi pipinya. Kemudian ia mengambil sapu tangan dari saku jasnya dan menyodorkannya ke arah Claudya.  “Kamu-“ ujar Claudya saat melihat Okta. “Tidak baik seorang wanita menangis sendirian di sini,” ujar Oktavio yang kemudian mengambil duduk di samping Claudya. “Kamu sahabatnya Dokter Dhika, kan?” tanya Claudya. “Iya,” jawab Okta. “Kenapa menangis? Apa yang terjadi?” “Tidak apa-apa, hanya saja aku baru saja di tolak,” kekeh Claudya mentertawakan dirinya sendiri. “Wah,, siapa lelaki bodoh yang sudah menolak wanita cantik seperti kamu?” goda Okta membuat Claudya terkekeh. Dari kejauhan, Chachaa tengah berjalan melewati taman rumah sakit dan terhenti saat melihat Okta yang tengah bercanda dengan Claudya. “Dasar Crocodile gila. Dasar Crocodile b******k. Dia masih bisa merayu gadis lain. Di saat gue khawatir memikirkan keadaannya!!” gerutu Chachaa kesal. “Awas aja!” ujar Chachaa kesal seraya membuka sepatu pentopelnya dan Puk Tepat sasaran, sepatu Chachaa melayang tepat mengenai kepala bagian belakang Okta. “Sialan!!! siapa yang berani lempar ini,” teriak Okta kesal hingga berdiri dari duduknya. “Ada apa?” tanya Claudya bingung. “Ada yang nimpuk pake itu,” tunjuk Okta ke arah sepatu yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Okta beranjak mengambil sepatu pentopel itu dan berdiri melihat sekeliling hingga pandangannya bertemu dengan mata tajam milik Chachaa. “Oh Nenek lampir titisan Penyihir Jahat itu,” ujar Okta beranjak meninggalkan Claudya dan menghampiri Chachaa. “Heh Nela, kenapa nimpuk gue sih?” ujar Okta sewot. “Heh Crocodile gila, ngapain lu rayu-rayu cewek lain? Lu bener-bener nggak punya malu yah, setelah mencoba merayu gue sekarang lu rayu cewek lain. Dasar buaya darat lu, Crocodile jelek, bahkan paling jelek di antara buaya-buaya yang ada,” cerocos Chachaa kesal dan Okta hanya tersenyum. “Sudah puas ngomelnya Nela?” ujar Okta dengan santai. “GUE BUKAN NENEK LAMPIR, i***t !!!” “Serem juga yah kalau lu sedang cemburu,” ujar Okta membuat Chachaa terdiam dan menyadari sikapnya yang konyol, Chachaa bersikap seakan tengah menangkap basah pacarnya yang sedang selingkuh. “Siapa? Siapa yang cemburu?” ujar Chachaa gugup. “Gue nggak cemburu, gue hanya tidak suka lu mengoda Dokter lainnya dan akan ada korban lain lagi.” “Haha, lucu sekali. Lu pusing mengkhawatirkan hidup orang lain,” ujar Okta. “Heh Nela, gue tidak lupa yah dengan apa yang udah lu lakuin ke gue beberapa hari yang lalu.” “Tunggu saja pembalasan dari gue. Karena gue bukan orang baik yang bisa memaafkan begitu saja.” Seringai terukir di bibir Okta membuat Chachaa terdiam. Okta beranjak meninggalkan Chachaa. “Heh Crocodile, balikin sepatu gue!” teriak Chachaa karena Okta sudah berjalan menjauhi Chachaa. “Ini?” Okta menunjukkan sepatu hitam yang dia pegang. “Ambil nih.” Okta melempar sepatu Chachaa ke dalam gerobak sampah yang tak jauh dari sana. “Dasar Nyebelin! Itu sepatu mahal, i***t! Gue baru aja membelinya,” teriak Chachaa kesal. “Ambil lagi Crocodile jelek, dasar gila, tidak waras. Seenaknya lu lempar sepatu gue!” teriak Chachaa kesal dan mengabaikan tatapan dari orang-orang yang melihatnya. “Apa bagusnya dia? Ganteng juga enggak. Huh nyesel gue sempet ngerasa bersalah. Pria kayak dia tuh nggak boleh di kasih hati. Dari sejak kuliah sampai sekarang makin akut aja nyebelinnya!” omel Chacha membuat Okta tersenyum yang berdiri di balik dinding dan mendengar semua omelan Chacha. “Menggemaskan,” gumamnya tersenyum penuh arti dan kembali melanjutkan perjalanannya. Chachaa yang masih kesal berjalan mendekati gerobak sampah itu. “Bau sekali” ujar Chachaa menutup hidungnya. “Sepatu favorit gue, dasar Crocodile gila!” gerutu Chachaa seraya mengambil sepatunya dengan telunjuk dan jempol. “Ueeeeekkkkk,, bau banget sepatu gue,,” keluh Chachaa masih menutup hidungnya dan berjalan meninggalkan tempat itu. ◄► 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD