Bab 2

1177 Words
Clarissa melambaikan tangannya ketika Raven sudah check in, sahabatnya membalas dengan senyuman. Setelah mengantarkan Raven, Clarissa langsung pergi menuju lokasi pemotretan, kali ini dia melakukan semuanya sendiri tanpa Raven, awalnya Raven menawarkan manajer pengganti, namun Clarissa menolaknya. Sudah hampir dekat dengan lokasi pemotretan, Clarissa malah melamun dan tanpa sengaja menabrak mobil mewah yang terparkir di depan hotel. Pemiliknya masih ada di dalam. “Hei!” teriak pemilik mobil itu. Seorang lelaki tampan keluar dari mobilnya dengan tatapan garang. Clarissa menghela nafasnya kasar, dia merutuki kebodohannya, kenapa bisa sampai melamun dan menabrak mobil mewah di depannya. Dia lalu keluar, menatap pria itu, seolah bumi berputar, Clarissa terkejut dengan lelaki di hadapannya. Lelaki itu tersenyum, senyum sumringah menghiasi wajahnya seperti menemukan harta karun, dia sangat bahagia bisa bertemu lagi dengan gadis yang bisa menggetarkan hatinya. “Loh kamu?” ucap Clarissa dengan setengah tak percaya, katanya pertemuan kedua bisa jadi takdir, bukan sekedar kebetulan. “Hai cantik,” sapa lelaki itu dengan senyuman manisnya. Keduanya tersenyum antara malu dengan bahagia. “Sedang apa kamu di sini? Ah maaf soal ini, aku bisa transfer biaya kerusakan ini,” ucap Clarissa. Bagian belakan mobil Rio lecet dan bahkan lampu belakangnya pecah. “Mungkin dengan cara ini aku baru bisa bertemu dengan kamu, tenang, biar aku telepon pihak asuransi,” balas Rio. Rasanya lega bertemu kembali dengan Rio, satu hal yang Clarissa ingat, malam itu mereka bercinta sangat panas dan penuh gairah, seolah mereka telah jatuh cinta sejak awal. Bahkan sekarang saat bertemu, keduanya saling melepas rindu. Mereka saling bercanda tawa di dalam cafe, Rio bahkan meminta nomor telepon Clarissa sebelum gadis itu pamit pergi. Sedari tadi senyum Clarissa tak henti mengembang, bahkan saat pemotretan semua hasilnya bagus karena mood Clarissa yang sangat baik. “Hasilnya bagus semua, aura kamu kelihatan sempurna,” puji fotografer yang memotret Clarissa. “Terima kasih, kalau gitu, saya pamit dulu ya,” ucap Clarissa. Dia mengambil tas dan perlengkapan lainnya dan menuju pulang. Sebenarnya Clarissa ingin menghabiskan waktunya untuk shopping, namun jika dia sendirian tanpa Raven rasanya tidak menyenangkan. Clarissa menatap mobil Rio yang masih terparkir di depan hotel. Dia melihat sekeliling, dan tak lama matanya menangkap sosok lelaki tinggi tegap yang memandangnya dari kejauhan. Menatapnya dari jauh, membuat hati Clarissa bergetar, ini pertama kali baginya, dia seperti menemukan cinta sejatinya. Rio melambaikan tangannya dan mendekati Clarissa, mereka sama-sama memiliki kepentingan yang di tempat yang sama, Clarissa melakukan pemotretan, sedangkan Rio melakukan pertemuan dengan klien di hall. “Sudah selesai dengan pemotretannya?” tanya Rio. Dia menyodorkan minuman berenergi dingin kepada Clarissa. “Terima kasih.” Clarissa meneguk minuman itu perlahan, dia kembali menatap Rio. “Kamu cantik,” puji Rio melihat Clarissa. Gadis itu kembali tersipu, entah berapa kali Rio mengatakan Clarissa cantik hari ini, dan itu semua membuat Clarissa berbunga-bunga. Banyak lelaki yag mengejarnya, tetapi rasanya hanya Rio yang membuat Clarissa tersenyum dan nyaman seperti ini. Rio seperti lelaki sempurna, idaman baginya. “Kamu mau pulang?” tanya Clarissa. “Enggak, mau balik ke kantor, tapi karena ketemu kamu di sini, gimana kalau kita sekalian jalan-jalan? Atau kamu sudah capek dan mau istirahat?” tanya Rio. “Eh boleh, aku juga lagi mau ke mall.” Pertemuan singkat yang membuat mereka sangat dekat, keduanya baru mengenal tetapi rasanya sangat nyaman dan banyak kesamaan yang mereka sukai. Seperti pasangan pada umumnya, mereka menonton film dan makan bersama. Clarissa sangat menikmati waktu berdua dengan Rio, hari ini dia sangat tersanjung dengan sikap Rio yang mau meluangkan waktu untuknya. Dia ingin mengulang malam panas bersama Rio, namun Clarissa sangat malu untuk mengatakannya. Clarissa terlihat berbinar, cantik seperti bercahaya, tak hentinya tersenyum menatap Rio, sama halnya dengan Rio, dia bahkan menikmati setiap momen dengan Clarissa. Tidak ada perempuan yang bisa membut Rio menjadi gila seperti ini. Sayangnya waktu terasa begitu cepat, keduanya harus berpisah karena hari sudah malam, kini Clarissa sedang duduk di sofa sembari mengeringkan rambutnya, sedari tadi senyumnya tak pernah pudar saat membalas chat Rio.                         Malam ini rasanya Clarissa akan tidur dengan perasaan bahagia, baginya Rio satu-satunya yang bisa membuat dia tersenyum. *** Rio menghela nafasnya saat membaca pesan dari ibunya, kali ini waktu kerjanya akan tersita untuk mengambil pesanan pakaian pengantin. Dia tidak pernah setuju dengan pernikahan ini, tidak masuk akal menurut Rio, kenapa dia tidak boleh menentukan sendiri pasangan hidupnya? “Halo Ma?” “Rio, baju pengantinnya sudah jadi, nanti sekalian kamu coba udah pas belum, Mama enggak bisa ngambil sendiri, ini Mama lagi nungguin Papa kamu terapi.” Rio terdiam sejenak, dia ingin membantah tetapi mengurungkan niatnya, bagi sebagian orang menikah itu hal yang menyenangkan, tapi tidak bagi Rio, dia lebih menyukai kehidupan yang bebas. Sejujurnya, dia belum siap untuk menjadi seorang ayah. “Oke Ma.” Dia menghela nafas, menutup laptobnya dan segera menuju bridal tempat ibunya memesan pakaian pengantin. Tak mau membuang waktunya, Rio tidak mencoba jasnya sama sekali dia sudah yakin kalau pas dipakai. Sekilas dia melihat pakaian pengantin wanita, andai saja jika mempelai wanitanya adalah Clarissa dia pasti akan lebih bersemangat melakukan pernikahan ini. Clarissa baru saja mendapatkan telepon dari sutradara jika ada jadwal syuting baru hari ini, ada beberapa adegan yang harus di take ulang. Clarissa lalu bangkit hendak mandi, namun dia merasa pusing, dia lalu berpegangan pada sisi tepi ranjang tempat tidur. Rasanya berputar, dia sangat pusing, Clarissa pikir mungkin ini hanya karena perubahan cuaca. September bulan ini terasa cuacanya yang sangat labil, terkadang kota metropolitan ini terasa panas, terkadang sangat dingin, terutama di malam hari. Dia sangat pusing, hingga harus duduk beberapa menit, vertigo menyerangnya, Clarissa sudah tak sanggup lagi menahan. Dia kira semakin lama akan semakin membaik, tapi ini malah semakin parah. Detik kemudian Clarissa memilih untuk menghubungi sutradaranya, dia meminta izin untuk tidak hadir hari ini, sungguh Clarissa tidak sanggup lagi untuk bertahan. Clarissa kembali naik ke atas kasurnya, rasanya penat dia meringkuk sembari memeluk gulingnya. Sutradaranya, Damian menghela nafas mendengar kabar Clarissa sakit, dia akhirnya kembali mengurungkan niatnya untuk mengadakan syuting hari ini. Damian beranjak dari ruang kerjanya, dia bergegas menuju apartemen Clarissa. Damian teman SMA Clarissa, mereka tidak begitu dekat saat SMA, namun semenjak ada proyek sinetron baru bersama Clarissa, mereka memulai saling mengenal. Damian datang ke apartemen Clarissa dan berulang kali mengetuk pintu, tidak ada jawaban di sana, hening. Clarissa masih meringkuk dan merasa menggigil sekarang. Tidak hanya pusing yang dia rasakan, namun sekujur tubuhnya terasa panas, dia demam. “Clar? Clarissa?” panggil Damian dari luar. Masih tidak ada jawaban. Damian semakin khawatir sekarang, dia mencoba menerka-nerka pin untuk masuk ke dalam. Dia berpikir keras berapa pin apartemen Clarissa, awalnya dia mencoba memasukkan ulang tahun Clarissa, tetapi tidak bisa, tiba-tiba terlintas plat nomor mobil Clarissa, dia memasukkan nomor plat Clarissa dan pintunya terbuka. Damian bernafas lega lalu segera masuk, memang tidak sopan masuk ke dalam apartemen seseorang tanpa izin, namun Damian khawatir terjadi sesuatu dengan Clarissa, dia teringat pada ibunya yang juga mengalami vertigo dan jatuh terpeleset di kamar mandi saat dia tak ada di rumah, ibunya meninggal di kamar mandi dan tidak ada yang tau. Sejak saat itu Damian merasa menyesal ketika meremehkan seseorang mengeluh sedah sakit. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD