MUSIM BERGANTI

2209 Words
Suatu pagi ketika aku baru bangun tidur, aku melihat bapak dan ibu sedang berbicara. Aku tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan karena suaranya yang pelan. Tetapi yang jelas wajah ibu terlihat sedih dan bapak pun terlihat murung. “ Mama, saya lapar .” ucapku sambil mendekati bapak dan ibu. “ Ke sini nak.” panggil ibu. Aku mendekati ibu. Dibukanya tutup periuk tanah dan diambilnya 2 buah ubi jalar rebus. “Ini satu untuk kamu, satu lagi untuk adikmu Niku.” “Kok hanya satu ma, mana kenyang ?’ tanyaku. Rasanya hari ini sedikit berbeda dengan hari – hari yang telah lalu. Biasanya saat makan, kami selalu makan bersama bapak dan ibu. Tapi pagi ini bapak dan ibu tidak ikut makan. Ubi pun hanya tersisa dua buah untuk aku dan adikku Niku “Tidak apa – apa, ini untuk sarapan, nanti bapak cari lagi yang banyak.” kata bapak menjawab pertanyaanku sambil membelai rambutku. “Kaju, nanti ikut Bapak ke hutan e,” kata bapak “Untuk apa kita pergi ke hutan pak ?’ tanyaku heran. Ini adalah kali pertama bapakmengajakku ke hutan. Biasanya aku ke hutan bersama teman – temanku kalau sehabis mandi dari sungai untuk  sekedar mencari buah – buahan liar dan ranting – ranting kering untuk kayu bakar. Letaknya pun tidak jauh dari sungai dan ladang kami. “Ada yang mau Bapak tunjukkan ke kamu.” Jawab bapak  “ Kamu sering menemukan pohon buah – buahan di hutan dekat sungai kan ?”  tanyanya lagi. Aku pun mengangguk. “Nah, kalau di hutan yang akan kita pergi, ada lebih banyak pohon buah – buahan di sana” jelas bapak. Aku pun bersorak gembira. Dalam benakku sudah terbayang, betapa lezatnya buah – buahan yang bisa kunikmati nanti. Namun, bersamaan dengan itu bayangan binatang – binatang  di hutan terlintas di benakku. “Hmm… tapi pak, di hutan kan banyak binatang buas, aku takut “ ujarku pada bapak. “Tenang Kaju, jangan takut. Bapak kan bawa parang dan tombak, jadi kalau ada binatang berbahaya yang menyerang, Bapak bisa potong atau tombak mereka.” kata bapak menenangkanku. “Baiklah pak. Ayo kita berangkat !” ajakku penuh semangat. “Kaju, bawa dengan minum ini.” Kata ibuku sambil mengulurkan bambu yang berisi air minum. Tempat minum ini terbuat dari aur, bambu yang berukuran kecil, seruasnya sekitar 30 cm. “Terima kasih Ma.” jawabku sambil menerima bambu berisi air minum itu. “Kami pergi ya Ma.” pamitku pada ibu. “Iya, hati – hati di jalan. Selalu dekat dengan bapak, tidak boleh jauh – jauh.” pesan ibuku. Setelah berpamitan dengan ibu, kami pun berangkat ke hutan. Bapak membawa lega besar, ( tas yang terbuat dari ayaman pandan hutan ), tombak, dan parang. Tombak bapak pegang di tangan, sedangkan parang disimpan di sarungnya, yang diikat pada pinggang bapak. Aku membawa minum dan lega yang ukurannya kecil. Penuh semangat kami berangkat ke hutan. Kami berjalan menyusuri sungai. Di sepanjang perjalanan, aku melihat banyak daun – daun kering yang berjatuhan. Daun – daun di pohon pun banyak yang layu dan kering. “ Pak, kenapa pohon – pohon itu banyak yang layu dan kering ?” tanyaku pada bapak. “Itu karena mereka kekurangan air.” jawab bapak.  “Kalau kamu kepanasan, apa yang kamu rasakan ?” tanya bapak lagi ? “Haus pak. Terus keringatan.” jawabku. “Betul. Bapak juga merasakan hal yang sama. Begitu juga dengan binatang dan tumbuhan, mereka juga membutuhkan air, tanpa air mereka akan mati.” “Tapi pak, kalau aku kan tidak minum air, hanya terasa haus saja tidak sampai mati kan ?” tanyaku lagi “Kalau manusia seperti kita, kalau kekurangan air, pasti badan kita lemas, lama kelamaan kita juga bisa sakit dan mati kalau tidak segera minum.” Kalau tumbuhan kekurangan air, pertama – tama akan layu, kemudian mati. Semua makhluk hidup itu membutuhkan air. Manusia, binatang, dan tumbuhan, itu termasuk makhluk hidup.” jelas ayah. Aku pun mengangguk – anggukan kepala. Kami terus berjalan sambil bercakap – cakap. Semakin jauh ke dalam , hutan pun semakin lebat. Berbeda dengan pohon – pohon di hutan dekat sungai yang menguning, di sini pohon – pohonnya terlihat hijau, juga tidak terlihat bekas – bekas jalan setapak yang biasa dilalui orang. Mungkin orang lain jarang ke tempat ini pikirku. Bapak membuka jalan dengan memotong semak belukar menggunakan parang. Aku mengikuti di belakangnya. Tak lama kemudian bapak berhenti di bawah pohon jambu batu yang rindang, penuh dengan buah yang berwarna kuning tanda sudah matang. Pohon jambu ini tidak begitu tinggi, apa lagi karena banyaknya buah, ada dahan yang menjuntai sampai ke tanah, sehingga aku bisa memetik buahnya tanpa bantuan bapak. “Pak, lihat jambu ini besar sekali dan rasanya sangat manis.” Kataku pada bapak sambil memperlihatkan jambu yang sudah kugigit. Daging buah jambu ini tebal dan berwarna putih . Empuk sekali saat kugigit. Bapak tersenyum melihatku sambil berkata : “Iya nak,Makanlah.” Bapak pun ikut memetik beberapa buah jambu dan memakannya. “Aku juga mau memetik jambu ini untuk ibu dan Niku. Boleh kan Pak ?” “Boleh. Tapi secukupnya saja ya.” Jawab bapak. “Kenapa Pak ? kan jambunya banyak.” Tanyaku tidak mengerti. “Jambu kan tidak tahan lama disimpan. Nanti busuk kalau dibiarkan.”  “Kamu ingat kan dulu Bapak pernah minta bantuan kamu untuk pasang jerat di ladang ?” “Ingat Pak. kata Bapak hewan – hewan akan merusak tanaman di ladang kita, kalau makanan di hutan berkurang.” jawabku. “Betul sekali. Pintar anak Bapak.” ucapnya sambil menepuk pundakku. “Nah, kalau kita memetik semua jambu, nanti monyet – monyet dan binatang lainnya makanannya akan berkurang, tidak menutup kemungkinan mereka akan merusak tanaman di ladang kita. Kita harus bisa berbagi. Lagi pula jambu ini adanya di hutan, di tempat tinggal para binatang liar. Ambil jambu secukupnya yang kita butuhkan, tidak boleh berlebihan.” jelas bapak lagi. Aku menyimpan semua nasihat bapak dalam hatiku. Bapak memetik beberapa buah jambu dan menyimpannya di lega, kemudian mengajakku berjalan lagi. Ternyata benar kata bapak kalau di hutan ini banyak pohon buah – buahan, karena kami sempat menemukan beberapa pohon jambu, nangka,  dan mangga ketika kami lewat. Aku pun memetik beberapa buah untuk dibawa pulang. Tak lama berjalan, bapak tiba – tiba berhenti di depan tanaman yang merambat. Daunnya berbentuk seperti daun sirih. “Kaju, ini yang mau Bapak tunjukkan ke kamu Nak.” “Tanaman apa ini Pak?” tanyaku “Ini uwi (ubi) nak . Uwi ini bisa kita makan. Rasanya enak sekali.” “Ayo bantu Bapak, cari yang daun dan batangnya sudah mengering.” “Kenapa harus yang sudah kering Pak ?’                                                             “Karena kalau yang daun dan batangnya sudah kering, tandanya uwi sudah tua dan bisa kita makan. Kalau yang masih hijau, uwi nya masih muda, rasanya kurang enak jika dimasak ” jelas bapak. “ Lagi pula  jika kita bisa menemukan uwi yang sudah tua, untuk apa mengambil yang masih muda. Yang masih muda butuh sedikit waktu untuk menjadi tua dan bisa dimakan.” Lanjutnya lagi. Aku membantu bapak mencari uwi yang daun dan batangnya sudah kering.  Lumayan banyak, ada sepuluh rumpun yang aku temui. Letaknya pun berdekatan. Bapak pun mulai menggalinya. Ternyata mengali uwi ini harus hati – hati, karena jika tidak,  uwi dapat terpotong dan hancur, karena umbinya mudah patah. Satu rumpun uwi hanya menghasilkan satu umbi saja. Mungkin karena hanya satu, sehingga umbinya cukup besar dan agak panjang. Bapak mengali dengan sangat hati – hati. Mulai dari kepala sampai pada ujungnya. Tidak ada yang patah. Setelah mengali semuanya, bapak memotong kepala uwi  lalu ditutup dengan tanah untuk ditanam kembali. “Kita harus menanam kembali supaya suatu saat jika kita butuh kita bisa mengambil lagi.” kata bapak Bapak memasukan uwi – uwi ke dalam lega, dan kami pun berjalan pulang. Di perjalanan pulang, bapak menunjukkan daun – daun yang dapat dimasak sebagai sayur. Kami memetik daun – daun itu untuk dibawa pulang. Sebenarnya masih  ada satu pertanyaan  mengganjal di hatiku, mengapa kami harus mencari umbi ke hutan, bukannya di ladang ada singkong dan ubi jalar ? Tak dapat menahannya aku pun bertanya pada bapak. “Pak,  kenapa kita harus mencari umbi ke hutan, kan di ladang ada singkong dan ubi jalar ?” “Nanti Bapak beritahu kalau sudah dekat sungai.” jawab bapak sambil terus berjalan. “Coba kamu lihat air di sungai itu.” Kata bapak ketika kami tiba di pinggir sungai.      “Apa yang kamu lihat, ada tidak yang berbeda?” tanyanya lagi. Aku melihat ke arah sungai lalu menjawab “Tidak ada yang berbeda Pa. Di sungai ada air yang mengalir.” “Betul, air sungainya mengalir.Tapi coba kamu perhatikan baik – baik, aliran air di  sungai makin kecil, bahkan kolam tempat kalian mandi pun jadi dangkal sekarang.” “Oh iya. Betul Pak. Kenapa begitu ya ?” “Nah kamu lihat pohon – pohon di sekeliling kamu. Daunnya pada kering dan layu.” “Tadi waktu berangkat ke hutan kamu sudah bertanya kepada Bapak, kenapa pohon – pohon kering dan layu’ ‘Karena mereka kekurangan air kan Pak ?” “Betul sekali. Air untuk pohon – pohon dan tumbuhan, didapatnya dari air hujan.” “Air hujan yang turun ke tanah, diserap oleh akar – akar pohon dan tumbuhan. Akar – akar pohon dan tumbuhan akan menyimpan air sebagai cadangan   hujan tidak turun, dan sebagian lagi akan keluar lagi sebagai mata air yang mengalir di sungai.” Jelas bapak. “Itulah mengapa aliran sungai menjadi kecil dan pohon – pohon kering dan layu.” lanjutnya lagi. “ Hujan sudah lama tidak turun ya Pak ? Aku lihat banyak sekali debu yang berterbangan.” Bapak  mengangukkan kepala sambil menjawab : “Iya sekarang lagi musim kemarau, hujan sudah lama tidak turun, dan udara sangat panas.” “Kenapa ya Pak, Mama selalu menyuruh aku dan Niku masuk di dalam pondok , kalau ada angin ?” tanyaku lagi. “Seperti yang kamu bilang tadi, sekarang banyak debu. Kalau debu tertiup angin, pasti akan mengenai kamu dan adikku. Debu tidak baik bagi kesehatan. Matamu bisa sakit jika terkena debu. Napas juga bisa sesak kalau menghirup udara yang ada debunya, belum lagi badan kamu juga pasti kotor kalau terkena debu. Itulah sebabnya Mama menyuruh kalian bermain di dalam pondok, agar tidak sakit. ” jelas bapak. Tidak terasa kami tiba kembali di ladang. Aku melihat ke kiri dan kanan. Baru terlihat olehku  ternyata tanah – tanah terbelah, batang – batang singkong yang dulu ditanam bapak dan ibu tidak bertunas, malah kering. Begitu pun  dengan ubi jalar dan pisang semua daunnya menguning. “Mama, Niku, kami pulang.” sapaku ketika tiba di depan pondok. Ibuku membuka pintu pondok membiarkan aku dan bapak masuk. “Mama, lihat nih apa yang kami bawa dari hutan.” “Ada jambu, nangka, dan daun – daun, kata Bapak bisa dibuat sayur” kataku sambil mengeluarkannya dari lega yang kubawa. “Terima kasih Nak. Ini banyak sekali. Kamu kuat memikulnya ?” kata ibu tersenyum sambil mengelus kepalaku. “Kuatlah Ma. Kan saya sudah besar.” Jawabku sambil memamerkan otot lenganku. Bapak dan ibuku tertawa. “Oh iya Ma. Boleh tidak jambunya saya bagi ke teman –teman ?’ tanyaku “Tentu saja. Ini kan banyak, kamu bisa membaginya kepada mereka.” jawab ibu sambil mengeluarkan uwi dari lega ayah dan menyimpannya. “Kalian istirahatlah dulu.” kata ibu sambil menuangkan air untuk ayah. “Saya juga mau Ma.” pintaku sambil memberikan batok kelapa. Pada masa itu, kami belum mengenal gelas. Untuk minum kami menggunakan batok kelapa yang sudah dibersihkan dari kulitnya dan untuk menyimpan air, kami menggunakan bambu. Sedangkan untuk memasak makanan dan merebus air, kami mengunakan periuk tanah. Ibu mengambil satu buah uwi lalu dikupas dan dicucinya kemudian dibelah – belah  menjadi ukuran yang lebih kecil. Karena umbi uwi ini besar, satu buah saja cukup memenuhi setengah periuk tanah yang ibu gunakan untuk merebus. Kami duduk bersama di dekat tungku. Ibu menghidangkan uwi dan sayuran rebus untuk kami sekeluarga. Sebelum makan, bapak memimpin doa, mengucap syukur atas berkat dan rahmat-Nya karena kami bisa pulang membawa makanan dari hutan dengan selamat. Rasa uwi ini sungguh enak. Warnanya putih dan teksturnya mirip nasi. Niku pun suka, sehingga beberapa kali minta tambahan uwi ke ibu. Ibu melayani dengan senang. Terlihat jelas binar di wajah ibu.Tidak ada lagi wajah muram seperti tadi pagi saat aku bangun. Aku senang melihat ibu gembira.  Ibu pasti sedih karena persediaan makanan di rumah sudah habis, karena singkong, ubi jalar, pisang, dan tanaman lainnya yang kering karena kemarau. Sekarang ibu senang karena ada uwi untuk bahan makanan dan persediaan beberapa hari ke depan pikirku. Lagi pula kami telah menemukan rumpun uwi di hutan, yang bisa kami ambil saat dibutuhkan. Sebenarnya masih banyak umbi – umbian di hutan yang bisa dimakan seperti suza, kebu, dan kewa. “Kita harus bersyukur kepada Tuhan. Di tengah kemarau yang panjang, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Di saat tanaman di ladang mengering, masih ada hutan yang menyediakan makanan bagi kita. Karenanya kita harus menjaga hutan dan alam sekitarnya. Ambilah makanan secukupnya, sisakan juga buat orang lain dan makhluk hidup lainnya. Kita juga harus menanam kembali, agar tanaman terus tumbuh dan berkembang.” nasihat bapak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD