“Apa maksudmu Atlas?” ucap Syifa menatap pria yang baru saja tadi pagi mengucapkan ijab kabul padanya.
“Pendengaranmu tentu masih berfungsi dengan baik Syifa! Aku bilang bahwa aku menikahimu secara terpaksa,” sahut Atlas yang membuat Syifa berpegangan pada tangan sofa karena lututnya yang terasa lemas setelah mendengar apa yang dikatakan oleh suaminya.
“Aku harus berkata jujur padamu! Aku menikahimu hanya karena kita terlahir dari suku yang sama! Aku tidak sama sekali mencintai dirimu karena aku sudah memiliki wanita lain yang aku cintai.”
Syifa menggelengkan kepalanya pelan, mata Syifa sudah berkabut dengan air mata yang siap mengalir hanya dengan sekali kedipan mata.
“Atlas pernikahan bukan untuk dipermainkan,” balas Syifa dengan suara serak.
“Hmm aku tahu itu! Aku memang tidak akan memainkan pernikahan jika aku memang menikah dengan orang yang aku cintai.”
Syifa menggigit bibir bagian dalamnya dengan kuat tidak menyangka bahwa malam pengantin yang kata semua orang akan membuat kita menjadi wanita paling bahagia tapi tidak berlaku untuk Syifa.
Di malam pengantin dia malah harus menangis pilu mendapati fakta bahwa suami yang menikahinya sama sekali tidak mencintai dirinya.
“Lalu kenapa kau menikahiku! Kenapa?” tanya Syifa dengan suara yang lirih hampir saja Atlas tidak bisa mendengar apa yang Syifa katakan.
“Sesuai dengan apa yang aku katakan tadi! Aku menikahi dirimu karena kau bersuku lampung! Kau tahu bukan meski keluargaku tinggal di jakarta tapi orang tuaku ingin aku menikah dengan orang yang bersuku sama untuk memuaskan kegilaan adat mereka.”
“Kau tenang saja kau tidak akan dirugikan dari pernikahan ini.”
Syifa memandang Atlas dengan tatapan tidak percayanya bagaimana bisa Atlas bicara dia sama sekali tidak dirugikan dari pernikahan palsu ini.
“Aku hanya akan menjalani pernikahan dengan dirimu sampai kekasihku selesai dengan pekerjaannya di luar negeri! Setelah dia kembali kita akan bercerai,” sejenak Atlas menatap wajah sedih Syifa.
Wanita yang pertama kali dia lihat terlihat meneduhkan! Orang tuanya memang memilihkan wanita sholeh yang kebetulan sangat dia kenal karena waktu dirinya masih tinggal di lampung mereka bertetangga.
Atlas dan Syifa adalah teman satu geng yang setiap harinya akan bermain sampai lupa waktu ketika kecil sampai dia remaja.
“Aku tidak akan menyentuhmu dan aku juga akan memberikan kau uang rumah juga tanah sebagai imbalan atas dirimu yang sudah menjadi istriku.”
Syifa menarik nafasnya dalam dia mengusap kasar air matanya yang sialnya malah keluar begitu saja padahal sejak tadi Syifa sudah sekeras mungkin berusaha untuk tidak mengeluarkan air mata.
“Apa kau pikir aku ini wanita mata duitan Atlas? Apa selama kau mengenalku aku w************n yang mau memberikan diriku hanya untuk uang?”
Atlas membuang pandangannya dia tidak mau merasa kasihan dengan Syifa, “Yah mana aku tahu! Bukankah kita sudah lama tidak bertemu,” balas Atlas yang membuat Syifa memandang Atlas dengan benci.
“Kau benar, kita sudah lama tidak bertemu,” ucap Syifa dengan senyuman penuh penyesalan karena sudah menerima pinangan dari Atlas.
Syifa pikir Atlas masih menjadi orang yang sama seperti dulu, dimana dia tidak pernah neka-neko, itu yang membuat Syifa yakin untuk menikah dengan Atlas.
“Baik! Kau ingin aku tidak menganggap pernikahan ini ada bukan? Aku akan melakukannya, aku akan menganggap diriku belum menikah! Sampai waktunya tiba kita akan bercerai,” Syifa berusaha untuk tegar saat mengatakannya.
Syifa memang tidak pernah suka terlihat lemah di depan semua orang, dia lebih suka menangis sendirian.
Atlas sedikit tersentak mendengar ucapan Syifa dia pikir Syifa akan menangis hebat bahkan mengamuk padanya.
Tapi ternyata wanita di depannya ini terlihat bisa dengan mudah menguasai dirinya, ahh atau karena Syifa juga tidak memiliki rasa yang sama padanya jadi mudah untuknya menerima semua ini.
“Bagus! Memang itu yang mau aku dengar dari dirimu.”
“Malam ini kita akan tidur di kamar yang sama! Tapi kau tenang saja aku akan tidur di sofa kau bisa memakai ranjangku, sampai besok kita akan pindah ke rumah yang sudah aku beli dan di sana kita akan memiliki kamar masing-masing.”
Syifa menatap sofa di depannya, dengan tubuh Atlas yang tinggi sofa itu tidak akan muat untuk suami di atas kertasnya itu.
“Biar aku yang tidur di sana! Ini kamarmu, kau yang lebih berhak atas kamar ini,” balas Syifa lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk menenangkan dirinya.
“Apa aku keterlaluan,” gumam Atlas mulai menyugar rambutnya.
Tidak ini bukan sepenuhnya kesalahan dirinya andai saja orang tuanya tidak kolot dengan mengelu-elukan pernikahan dengan suku yang sama tentu saja ini tidak akan pernah terjadi.
Dret ... dret ... Atlas tersenyum saat dia melihat layar ponsel jesslin kekasihnya menghubungi dirinya, “Hallo sayang,” ucap Atlas dengan lembut.
“Kau akan ingat dengan janjimu bukan?” sarkas Jesslin yang tidak akan pernah mau sampai Atlas menyentuh wanita kampungan itu.
“Aku sangat ingat sayang! Aku juga tidak akan pernah mau menyentuh dirinya! Aku tidak bernafsu dengan wanita kampungan,” balas Atlas yang membuat Jesslin tersenyum penuh kemenangan.
Tanpa Atlas sadari ucapan dirinya di dengar dengan jelas oleh Syifa yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Syifa dengan sekuat tenaga menulikan pendengarannya, ‘Dia pikir aku mau disentuh oleh dirinya,’ batin Syifa marah.
Syifa juga punya harga diri sebagai seorang wanita, dia tidak akan mau menyerahkan dirinya untuk orang yang sama sekali tidak mencintainya.
Dengan kasar Syifa menarik bantal dan juga guling dari atas kasur membawa ke sofa, dia ingin tidur lebih cepat selain untuk mengistirahatkan tubunya yang lelah karena seharian berdiri di atas pelaminan.
Dia juga ingin malam ini cepat berlalu, Syifa berharap semua yang terjadi padanya ini adalah mimpi.
Saat dia terbangun nanti Syifa ingin dia ada di rumahnya dan kembali menjalani harinya yang menyenangkan sebelum pernikahan ini terjadi.
Atlas yang sudah selesai menelpon masuk dari balkon kamarnya dan melihat Syifa yang mulai memejamkan matanya.
“Apa dia mendengar semuanya?” gumam Atlas mulai merasa tidak enak hati.
“Aiisss terserahlah, lebih bagus dia dengar! Biar dia tahu aku sama sekali tidak tertarik dengan dirinya,” lanjut Atlas lalu dengan sembarang membuka bajunya hingga hanya menyisakan boxer seperti yang biasa dia lakukan sebelumnya.
Atlas pikir tidak masalah dia membuka bajunya karena Syifa terlihat sudah tertidur lelap.
“Atlas aku ingin bicara,” tiba-tiba Syifa duduk dan membuka matanya kembali.
Mulut Syifa menganga melihat pemandangan di depannya, “Aaaaa—” teriak Syifa menutup matanya mengggukaan telapak tangannya sendiri.
Begitu juga dengan Atlas dia langsung memeluk dirinya sendiri meski apa yang di lakukan oleh Atlas tidak bisa menutupi apa-apa.