Bab 2

1001 Words
"Nissa dibeliin sepatu baru sama Budhe Yuli lagi, kapan Zahra beli sepatunya? Ini sudah sempit banget, Yah," ucap Zahra tiba-tiba saat dia sarapan dengan ayahnya di ruang makan. Mas Aris melirikku tajam. Mungkin dia pikir aku yang membujuk Zahra untuk ngomong seperti itu padanya. Padahal sejak kemarin Zahra ingin bilang sendiri sama ayahnya supaya dibelikan sepatu. "Kamu dibujuk ibumu supaya minta sepatu sama ayah, kan, Ra?" tuduh Mas Aris tiba-tiba. Zahra pun menggeleng cepat. "Nggak lah, Yah. Zahra memang mau minta sendiri sama ayah kok padahal kemarin ibu melarang. Sepatu Zahra kesempitan, Yah. Lecet-lecet kakinya," ucap Zahra lagi memperlihatkan tumitnya yang lecet-lecet. "Nanti kalau ayah sudah ada rejeki," ucap Mas Aris singkat sembari menyeruput kopinya. "Kemarin Nissa bilang ayah kasih uang banyak sama Budhe Yuli, makanya dia beli sepatu baru lagi. Sepatu Nissa banyak, Yah. Bagus-bagus lagi. Zahra jadi peng-- Mas Aris menoleh, menatap wajah anaknya lekat, membuat Zahra sedikit takut dan tak berani melanjutkan kalimatnya. "Anak kecil cukup belajar, sekolah sama makan saja, Ra. Nggak usah ngurusin begituan apalagi sampai iri dengan saudara sendiri. Pamali. Jangan ikuti sifat jelek ibumu," ucap Mas Aris lagi, membuatku tersenyum kecut. Dia bilang aku iri? Bagaimana aku nggak iri jika dia jauh lebih mementingkan kakak dan keponakannya dibandingkan anak dan istrinya sendiri. Kenapa Mas Aris nggak pernah sadar kalau selama ini dia hanya dimanfaatkan. Alih-alih balas budi, yang ada hanya memperkaya kakaknya sendiri. "Sudah, Ra. Sarapan dulu. Seminggu lagi InsyaAllah ibu belikan kamu sepatu baru, ya? Jangan iri pada siapa pun, bersabar ya, Nak," ucapku lirih sembari menahan kristal bening yang sudah terbendung di pelupuk mata. "Tapi, Bu ... kaki Zahra sakit," ucapnya lirih membuatku benar-benar teriris perih. Kuusap puncak kepala anak gadisku itu lalu menciuminya sementara Zahra memeluk pinggangku erat. "Sabar ya, Sayang. Ibu janji nanti kalau sudah punya uang, ibu belikan kamu dua pasang sepatu biar bisa ganti-ganti, ya?" bujukku lagi. Anak perempuanku itu pun menganggukkan kepala, meski kedua matanya begitu berkaca-kaca. Aku tahu detik ini dia sangat kecewa. Aku sangat bersyukur dan beruntung memiliki anak seperti Zahra. Dia cukup memahami kondisi orang tuanya, terutama kondisi ibunya. Zahra bukan lah anak yang egois. Bukan pula anak keras kepala yang apa pun dia mau harus dituruti saat itu juga. Dia anak yang cukup penurut dan mau bersabar jika meminta sesuatu. Sikapnya yang lembut dan tenang itu mungkin memang karena sedari dulu dia sudah terbiasa mengalah, sabar bahkan kecewa jika permintaannya ditolak begitu saja oleh ayahnya. Mungkin karena itu pula, Zahra tumbuh menjadi sosok penyabar dan menerima apa pun yang diberikan oleh ibunya sekalipun kadang dia kurang menyukainya. "Jangan pada cengeng deh! Nanti kalau sudah ada rejeki juga dibeliin sepatu," ucap Mas Aris ketus. Dia yang sedari tadi hanya melirikku dan Zahra sekilas saat kami saling berpelukan dan menguatkan. Aku dan Zahra diam saja. Malas membalas ucapan Mas Aris sebab tak mau kembali berdebat pagi-pagi begini apalagi masih ada Zahra di sini. Kubiarkan laki-laki itu menatapku dengan pandangan sinis. Aku tak peduli bahkan pura-pura tak melihatnya sama sekali. Setelah sarapan selesai, Zahra pamit ke kamar untuk memakai seragam dan mengambil tas sekolahnya. "Kamu sengaja membuat drama seperti ini? Supaya Zahra membenci ayahnya sendiri kan, Wit? Puas kamu sekarang karena berhasil menghasut anak itu untuk membenciku?" tuduh Mas Aris lagi. Dia memang nggak peka dan nggak tahu diri. Tak perlu dihasut pun Zahra sudah tahu bagaimana sikap ayahnya itu. "Maksudmu apa, Mas? Bisa-bisanya menuduhku seperti itu. Aku nggak sepicik yang kamu pikirkan!" ucapku sedikit ketus. Tega sekali Mas Aris menuduhku seperti itu. "Ngaku aja, Wit. Tak perlu mengelak karena kenyataannya memang demikian," sambung laki-laki itu lagi. Aku kembali mengucap istighfar dalam hati menghadapi laki-laki tak memiliki hati itu. "Zahra sudah besar, Mas. Dia sudah tahu rasanya disayang, diperhatikan dan kecewa. Dia tahu bagaimana sikap ayahnya. Dia juga sudah bisa merasakan cinta yang tulus atau penuh kepalsuan. Paham bagaimana disayang dan bagaimana diabaikan. Zahra bukan bayi lagi," ucapku panjang lebar. Kuseka rintik air bening yang menetes di pipi. "Halah, banyak alasan kamu, Wit. Dari dulu kamu memang cemburu tiap kali aku kasih uang sama Mbak Yuli atau Annisa. Iya, kan? Kamu nggak rela. Nggak suka lah intinya." "Nggak cuma aku saja yang nggak suka, Mas. Semua istri kalau sikap suaminya seperti kamu pasti juga emosi. Sudah punya keluarga sendiri masih mengutamakan keluarga orang lain," balasku kesal. "Mbak Yuli bukan orang lain, Wita! Dia kakak kandungku, justru kamu yang orang lain. Hanya saja Allah takdirkan kita bersama, misal ditakdirkan berpisah pun kamu balik menjadi orang lain. Tapi Mbak Yuli? Sampai kapan pun dia tetap menjadi kakakku, aku dan dia terlahir dari rahim yang sama!" Air mataku menetes seketika, namun gegas kuusap dengan ujung jilbab saat Zahra sudah muncul dengan seragam dan tas sekolahnya. "Ingat Wit, rumah ini milik almarhum ibu dan bapak. Mereka hibahkan untuk kita, sementara Mbak Yuli beli rumah sendiri. Harusnya kamu mikir, Wit. Kalau ngontrak sudah habis berapa duit kita?" ucap Mas Aris lagi. Dia pikir aku nggak tahu kalau penjualan rumah ini sudah dibagi rata. Mas Aris mengira-ngira harga jualnya lalu dia memberikan separo harganya buat Mbak Yuli. Sama saja kan kalau rumah ini dibagi dua. "Satu lagi, Wita. Jangan campuri urusan Mbak Yuli. Apalagi iri dengannya. Cukup kamu sadar dan menerima takdirmu sendiri. Kamu harusnya bersyukur tak kehujanan dan kepanasan karena tinggal di rumah ini," ucap Mas Aris saat aku beranjak dari kursi sebelahnya. "Oke, Mas. Tapi kamu juga ingat, jika kelak ada apa-apa denganmu, minta tolong lah pada Mbak Yuli. Karena dia dan anaknya yang menghabiskan gajimu, sementara aku hanya kamu berikan sisa. Sisa yang tak seberapa. Anggap saja itu gajiku karena sudah mencuci baju, menyetrika, menyapu, mengepel dan memasak untukmu! Tolong selalu diingat soal itu!" Kutinggalkan Mas Aris yang masih melotot kaget mendengar ucapanku. Gegas kuajak Zahra berangkat sekolah. Dia yang sudah menungguku di ruang tamu setelah pamit pada ayahnya. Mas Aris pikir, aku perempuan kampung dan miskin yang bisa selamanya dibod0hi? Aku memang berasal dari kampung yang jauh dari hingar bingar kota, tapi aku bukan perempuan kampungan yang menggerogoti gaji adik kandungnya sendiri hanya karena alasan balas budi! ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD