Bab 3

1006 Words
Aku mengantar Zahra ke sekolah dengan motor matic yang dibeli Mas Aris dua tahun lalu secara cash. Dia memang tak suka membeli barang kredit, aku salut itu. Tapi seperti itu lah dia, selalu menyembunyikan gajinya. Aku hanya diberi dua ratus ribu per minggu untuk kebutuhan dapur. Jika masih ada sisa, aku simpan untuk membeli token listrik, PDAM atau bayar sampah bulanan. Kalau tak bersisa, siap-siap mendapat omelannya lagi dan lagi. Bilang aku boros dan suka menghamburkan gaji suami untuk hal-hal tak penting. Untuk uang sekolah Zahra, dia sendiri yang urus ke sana. Tak pernah dititipkan padaku. Alasannya hanya satu, takut aku khilaf dan memakainya untuk shopping, katanya. Aku sendiri tak paham mengapa Mas Aris tak pernah percaya padaku, padahal sejak dulu aku tak pernah sekalipun menggelapkan uangnya. Aku tipe istri yang patuh dan hemat. Tak terbiasa menghamburkan uang yang dia beri tiap minggunya. Namun tetap saja Mas Aris curiga kalau aku tak pandai mengalokasikan uang darinya. "Zahra, sepatumu sudah kecil banget itu. Memangnya kakimu nggak sakit? Apa kamu juga sudah bilang sama Om Aris buat beliin sepatu?" tanya Nissa saat aku dan Zahra berpapasan dengannya di gerbang sekolah. Zahra hanya mengangguk pelan. Tak ada senyum di wajah manisnya. Raut sendunya membuat dadaku terasa sesak. "Om Aris bilang apa?" tanya anak itu lagi. Dia menggandeng tangan Zahra lalu melangkah beriringan. "Nanti kalau sudah ada rejeki juga dibeliin ayah, Nis. Mungkin sekarang ayah belum ada uang. Nggak apa-apa. Ayo masuk kelas dulu," balas Zahra kemudian. Nissa pun mengangguk lalu kembali berjalan bersama menuju kelas mereka. Kulihat sepatu dan tas Nissa memang sering gonta-ganti. Mbak Yuli pun senang sekali nongkrong di warung depan sekolah sembari menunggu anaknya pulang. Ngobrol ngalor-ngidul dengan teman satu ganknya, yang menurutnya selevel dengan dia. Seperti detik ini, dia sudah menikmati roti panggang di teras warung dengan segelas cokelat panas. "Jeng Wita! Sini deh!" Panggil Bu Indah cepat saat aku membalikkan badan lalu melangkah perlahan ke tempat parkir. Kulihat Bu Indah, Mbak Yuli, Bu Sila dan Bu Fira duduk di bangku panjang samping area parkir. Mereka memang sering terlihat bersama dan mungkin membentuk sebuah geng yang cukup aktif di media sosial. Mereka juga sering shopping dan makan-makan bersama lalu fotonya diunggah di medsos masing-masing. Begitu kompak, sepertinya. "Jeng, ada arisan seminggu seratus ribu. Lumayan dapatnya nanti tiga juta. Tapi ini kurang satu orang saja, Jeng. Kamu yang genapin, ya?" ucap Bu Indah sembari tersenyum. Seminggu seratus ribu? Ada-ada saja, bisa nggak makan aku dan anakku kalau ikut arisan begitu. Jatah seminggu dari Mas Aris saja cuma dua ratus ribu. "Maaf, Bu Indah. Saya nggak bisa ikut. Lagipula belum izin suami, takutnya nggak boleh atau gimana," balasku dengan senyum tipis. Meski aku tak menyukai ajakannya, tapi aku berusaha menolak sehalus mungkin agar dia tak tersinggung. Apalagi menganggapku sombong. "Ngapain izin segala, Bu. Kan cuma arisan seratus ribu seminggu. Iseng aja nyelipin sisa belanja dapur. Lumayan nanti kalau dapat bisa buat beli baju, tas, atau perabot dapur yang baru. Kalau nggak begini kadang duit habis tak bersisa dan nggak bisa ngumpul-ngumpul barang, Jeng," timpal Bu Sila kemudian. Aku kembali tersenyum tipis. "Sudah kubilang kan, Si Wita nggak mungkin mau ikut. Mana ada duit dia," ucap Mbak Yuli santai. Dia hanya melirikku sekilas lalu kembali dengan minuman dinginnya. "Iya juga, ya. Cuma kupikir seratus ribu masak nggak ada," ucap Bu Indah lirih, sembari sedikit berpikir. Mungkin memikirkan siapa lagi yang akan ditawarinya arisan biar genap 30 orang. "Seratus ribu seminggu itu berat buat dia. Dia kan nggak kerja, Bu. Beda sama kita yang bisa sambil jualan online, punya penghasilan sendiri dan nggak hanya nodong gaji suami," balas Mbak Yuli lagi, begitu menyakitkan hati. "Enak memang punya penghasilan sendiri ya, Jeng. Apa-apa bisa beli sendiri. Gajian nggak harus awal bulan. Kamu ikut bisnisku aja, Mbak. Jualan produk kecantikan ini. Nanti ada bonus kalau kamu rajin apalagi membermu sudah banyak, bonus akan semakin mengalir. Nggak terlalu capek lagi," tawar Bu Fira yang sedari tadi hanya diam. Aku tahu produk yang dia tawarkan dengan sistem MLM. Cara ngiklan yang sering kali dikomplen para emak di media sosial karena terlalu menyakiti hati perempuan. Mengklaim bisa dipakai untuk apa saja padahal jelas sekadar produk biasa seperti pada umumnya. "Nggak ah, Bu. Saya nggak terlalu nyaman dengan sistem MLM. Sudah dulu ya, Bu. Saya pamit mau beberes rumah, nanti kalau anak-anak sudah pulang, saya juga ke sini lagi," pamitku cukup sopan. Tak lupa kuanggukkan kepala sebelum meninggalkan mereka. "Dikasih solusi biar dapat gaji mingguan bahkan harian terlalu banyak alasan. Ditawari bisnis menjanjikan malah bingung dan alasannya nggak nyaman. Kamu nggak melek sosmed sih ya, Jeng. Makanya gagap gini dikasih bisnis terkini. Gimana mau kekinian kalau duit saja pas-pasan," ucap Bu Fira lagi. Dia terlihat begitu emosi saat aku menolak tawaran bisnisnya. "Maaf bukan bermaksud menyinggung perasaan Bu Fira. Tapi memang saya kurang berminat dengan bisnis seperti itu. Selera orang kan beda-beda, Bu. Jangan disamakan," balasku lagi sembari menstarter motor. "Kok bisa sih punya adik ipar udik begitu, Jeng," ucap Bu Fira sembari melirik Mbak Yuli yang masih menatapku sinis. "Aku juga bingung Jeng, kenapa adikku bisa punya istri udik dan kampung macam dia. Maklum ya, Jeng. Rumahnya memang di pelosok banget, jauh dari kota jadi pikirannya juga nggak bisa berbaur sama kita-kita," ucap Mbak Yuli dengan senyum sinisnya. "Pantes pikirannya juga kampung, Jeng," ucap Bu Sila lirih. Yang lain pun menganggukkan kepala sembari tersenyum sinis. "Saya sih emang perempuan kampung, ya, Bu. Tapi saya bukan kampungan seperti yang ibu-ibu katakan. Apa hanya karena tak memiliki gaji harian disebut kampungan? Menurutku sih bukan begitu. Karena definisi kampungan itu, memaksa bisnis recehnya pada orang lain padahal dia sendiri nggak yakin dengan produk yang dia pasarkan. Bisa juga yang suka minta-minta duit adik atau kakak sendiri dengan embel-embel balas budi. Emm ... atau maksa suaminya korupsi biar bisa memenuhi apa yang dia ingini," ucapku panjang lalu menganggukkan kepala, sebagai tanda pamit pulang. Wajah Mbak Yuli, Bu Fira dan Bu Sila berubah seketika. Merah padam menahan geram karena mereka termasuk dalam kategori kampungan yang kujabarkan barusan. Mereka pikir aku akan diam saja diremehkan? Hemm ... nggak akan! ???
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD