3. Belajar Hidup dengan Rasa Sakit

1195 Words
3. Belajar Hidup dengan Rasa Sakit Amelia Malam itu, kami pulang ke rumah dengan wajah anak-anak begitu muram. Melihat mereka begitu sedih membuatku melupakan rasa sakitku sendiri. Aku harus kuat demi mereka. “Gosok gigi terus langsung tidur, ya. Mami sayang banget sama kalian.” Anak-anak hanya mengangguk pelan. Aku tahu mereka sangat sedih, tapi pada akhirnya, kesedihan itu akan berlalu. Mereka masih anak-anak. Mereka tidak akan kehilangan ayahnya. Mereka hanya tidak akan tinggal satu rumah lagi dengannya. Aku berharap Yohan tidak akan mengabaikan mereka jika nanti dia punya anak lagi. Aku benar-benar tidak ingin anakku merasa tersingkirkan. Setelah naik ke lantai atas, aku tetap duduk di ruang tamu untuk merenung. Apa kami masih bisa tinggal di sini? Sejujurnya, rasanya sangat menyakitkan bagiku. Kami pernah sangat bahagia di sini, tapi sekarang, kebahagiaan itu telah menghilang seperti pasir yang lepas dari genggamanku. Aku akan membicarakannya dengan anak-anak. Aku masih tidak tahu apa yang akan terjadi dengan hidupku. Aku belum pernah bekerja, dan aku sudah lama tidak belajar, jadi bisa dibilang aku tidak punya ide apa pun tentang pekerjaan yang bisa aku lakukan. Aku duduk di sofa dan menghela napas. Orang tuaku dulu sudah menyuruhku untuk melanjutkan sekolah, tapi aku memilih untuk fokus menjadi istri dan ibu. Tapi aku tidak bisa terus duduk diam dan mengasihani diri sendiri. Tidak ada lagi yang akan menopangku, jadi sekarang semuanya tergantung aku untuk mencari tahu apa keahlianku. Meski aku baru tiga puluh tahun, orang mungkin akan berpikir aku terlalu tua untuk belajar lagi. Mungkin aku harus mencoba berjualan? Hmm, tapi aku tidak pernah jago dalam urusan jualan. Atau mungkin bekerja di kantor sebagai sekretaris? Aku perlu memperbarui keterampilanku. Aku ingin sekali masuk ke kamarku dan terus menangis, tapi apa gunanya? Aku harus belajar hidup dengan rasa sakit ini sampai tiba waktunya rasa itu tidak menyakitkan lagi. Aku menghela napas dan berdiri. Aku harus membereskan kekacauan yang aku buat dari benda-benda yang aku lempar ke lantai tadi. Untungnya, anak-anak terlalu sedih untuk memperhatikan semuanya tadi. Kalau tidak, mereka pasti ketakutan. Dengan perasaan lega, aku mengumpulkan pecahan piring “mewah” yang hancur di lantai. Sebagai bentuk balas dendam kecil, aku ingin sekali mengumpulkan pecahan itu, memasukkannya ke dalam kotak, dan memberikannya ke ibu Yohan sambil bilang, “Ini sampah: lo, anak lo, sama piring jelek ini.” Pikiran konyolku sendiri membuatku tersenyum. Tapi aku harus jujur, aku tidak pandai membalas dendam. Mungkin aku perlu belajar dari temanku, Dian, yang ahli membuat mantan-mantannya menyesal setelah mereka melakukan hal buruk padanya. Walaupun sekarang ia sudah menikah dan berpura-pura menjadi wanita manis, tapi aku sudah mengenalnya seumur hidupku. Suaminya benar-benar percaya. Kasihan, dia tidak tahu kalau istrinya adalah sang “janda hitam.” Setelah selesai bersih-bersih, aku lewat depan kamar Lily. Dari balik pintu, aku mendengar suara isakan pelan. Hatiku seketika hancur. Tapi seberat apa pun keinginanku untuk menghiburnya, aku belum bisa melakukannya. Belum saat rasa sakitku sendiri masih begitu menguasai jiwaku. Aku memutuskan untuk terus berjalan melewatinya, membiatkan dia meluapkan semua kekecewaannya, supaya tidak ada lagi yang tersisa di dalam dirinya. Aku ingin dia tumbuh kuat dan percaya diri di masa depan, dan kalau dia melihatku hancur, aku akan meninggalkan memori yang akan sulit dihapus dari pikirannya nanti. Dia harus mengerti bahwa dunia ini penuh dengan rasa sakit, tapi rasa sakit itu tidak boleh menghancurkannya. Aku tahu dia akan bisa melewatinya. Aku mengintip ke kamar anak laki-lakiku. Gelap, tapi cahaya lampu jalan yang masuk dari jendela membuatku bisa melihatnya. Aku tahu dia sedang memproses semua yang terjadi. Tapi aku percaya dia akan jadi penopang buatku dan Lily, dan hal ini tidak akan mengubah pandangannya dalam jangka panjang. Aku akan menjadikannya misiku untuk mendidik seorang pria luar biasa, yang kelak akan setia dan jujur, tidak seperti ayahnya, yang tidak mempunyai nilai-nilai itu karena ibunya membiarkan dia menghancurkan keluarganya. Tidak, aku tidak akan mau jadi seperti mantan ibu mertuaku. Ketika aku sampai di kamarku, aku memulai dengan sebuah "pembersihan." Selama bertahun-tahun, aku berbagi tempat ini dengannya. Rumah pertama kami sangat sederhana. Kami seperti dua anak kecil yang bermain "rumah-rumahan." Dengan banyak usaha dan pengorbanan, dia mulai bekerja. Dia selalu sangat cerdas, jadi perusahaan tempat dia mengembangkan aplikasi baru membuka pintu dunia baru untuknya. Dan dia membawaku melalui setiap pencapaiannya. Begitulah, dengan kebebasan finansial yang lebih besar, dia bisa membeli rumah ini untuk kami. Kamar ini diisi dengan furnitur sesuai seleranya. Aku berjalan mengelilingi kamar, memperhatikan setiap detail barang yang ada. Tempat tidur pertama kami diganti dengan tempat tidur besar ini, tempat kami berbagi begitu banyak malam penuh gairah. Lampu modern, cermin indah, lemari besar—semuanya menyimpan kenangan yang sekarang terasa seperti duri dalam hatiku. Dan itulah yang paling menyakitkan. Tempat ini sekarang akan terasa lebih luas dan lebih kosong tanpanya. Aku tidak akan sanggup tinggal di sini, mengetahui bahwa separuh jiwaku tidak akan pernah kembali. Bahwa dia sekarang akan berbagi tempat tidur lain, di tempat lain, dengan perempuan yang bukan aku. Aku membiarkan diriku rebah ke karpet, membiarkan kesedihanku terus mengalir. Aku berada di titik di mana aku bertanya-tanya, di mana salahku? Tapi aku tahu hanya dia yang punya jawaban, dan aku tidak akan menanyakannya padanya. Aku memaksa diriku bangkit dari lantai. Aku membuka lemari untuk mengambil beberapa pakaian, dan jantungku berdegup kencang saat melihat sisi lemarinya masih penuh dengan barang-barangnya. Seperti sebuah ritual aneh, aku menyentuh setiap pakaian. Seolah-olah dengan melakukannya, aku bisa menghapus kenyataan ini. Tapi aku tahu itu tidak mungkin. Pakaian-pakaian itu tetap sama, begitu juga dengan kami. Yohan telah meninggalkanku untuk wanita lain, dan itulah yang harus aku terima. Sebelum mandi, aku mengambil kopernya untuk mulai mengemas semua barangnya. Aku melakukannya dengan hati-hati, seolah-olah dia hanya akan pergi untuk perjalanan bisnis, bukan selamanya. Kadang-kadang, aku merasa seperti seorang masokis, tapi kekecewaanku begitu besar sehingga aku mencari secercah kenangan indah agar aku tidak benar-benar hancur. Ketika aku selesai, aku memandangi hasil pekerjaanku. Setengah dari ruang yang dulu penuh itu sekarang kosong. Sama kosongnya dengan hidup dan hatiku saat ini. Aku menutup lemari itu dengan hati-hati dan pindah ke sisi tempat tidurnya. Aku mengambil beberapa barang yang dia tinggalkan di lacinya. Aku memasukkannya ke dalam tas, bersama dengan foto pernikahan kami yang dia simpan di meja kecil di samping tempat tidur. Semua itu tidak ada gunanya lagi bagiku. Rasanya sangat menyakitkan. “Sisi tempat tidurnya.” Sekarang itu hanya akan menjadi “tempat tidurku.” Aku berbaring di ruang itu, yang masih menyimpan aroma tubuhnya. Aku membelai bantalnya, yang tidak akan dia gunakan lagi. Tapi pada menit terakhir, aku bangkit dan juga menyingkirkan bantal itu. Aku memutuskan untuk menyingkirkan semuanya—seprai dan sarung bantalnya—dan menggantinya dengan linen bersih. Linen yang tidak akan lagi mengingatkanku padanya. Untuk waktu yang lama, aku mencari semua yang mungkin akan mengingatkanku padanya di masa depan, lalu menyelesaikan pembersihan itu. Aku berharap, seperti aku mengemas semua barang ini, aku juga bisa mengemas rasa cintaku padanya dan meninggalkannya bersama barang-barang itu. Tapi itu tidak mungkin. Aku harus menerima kenyataan bahwa aku masih perlu waktu. Bahwa kenangan ini akan berlalu seiring waktu. Atau mungkin tidak. Entahlah. Aku mandi, membiarkan air mataku mengalir lagi. Setelah lelah menangis, aku keluar untuk mencoba tidur. Aku tahu itu tidak akan mudah, tapi aku akan bisa melakukannya. Karena aku adalah perempuan kuat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD