004. Film Horror (Taruhan)

1159 Words
Pelajaran Pak Jos sudah selesai dan apa yang di katakan Sinta terbukti kalau Bu Meggy tidak menunggui Pak Jos hingga pelajaran akan berganti, dan hal itu membuat Sinta tertawa puas dapat melihat wajah masam Rara karena harus ke hilangan separuh uang jajan bulanannya. "Eh Lo stalkernya Bu Meg ya Ta?" tanya Rara tidak percaya kalau Sinta tahu bahwa guru bahasa Inggris mereka Bu Meggy tidak menunggui Pak Jos seperti biasanya, bahkan semua siswa-siswa satu sekolah hafal akan ke biasaan Bu Meg yang tidak pernah absen untuk menguntit Pak Jos. Sinta menaikkan satu alisnya. "Gue enggak tertarik jadi stalker Bu Meg, mending jadi stalkernya Pak Jos yang hot kalau enggak gitu Dava sajalah." ucap Sinta bangga saat menyebut nama-nama orang yang terkenal most wanted di SMAnya. Dea merasa dunianya sempit mendengar ucapan Sinta, meski Ia hanya mampu diam menjadi pendengar yang baik untuk saat ini. "Eh Dava punya Kita semua tahu!" ucap Rara tidak terima akan perkataan Sinta yang dapat di artikan bahwa hanya Sinta saja yang selama ini menjadi stalker Dava, Dea menghembuskan nafas kasar. "Iya Gue tahu, jadi kapan Kita nontonnya?" tanya Sinta, Rara mendengus. Rara juga harus memikirkan nasib dompetnya yang malang setelah ini. "Nanti pulang sekolah Kita nonton." Sinta bersorak senang lalu memeluk Dea yang masih melamun akan perkataan para sahabatnya yang tanpa sadar mengena di hatinya. Dava punya Kita semua, satu kalimat yang membuat Dea sampai sekarang belum bisa mengakui Dava sebagai miliknya. Satu-satunya pemilik seorang pria bernama Davanas Abigael. "Eh-eh!" kaget Dea, Sinta berdecak atas respon Dea. "Heran deh sama Lo De, Lo sering banget ngelamun sejak Kita kelas tiga.". "Hm, enggak kok. Gue cuma bingung saja bagaimana Lo bisa tahu kalau Bu Meggy enggak masuk hari ini?" tanya Dea mengalihkan topik pembicaraan, agar sahabat-sahabatnya tidak curiga padanya. Memikirkan Dava selalu saja membuatnya bahagia juga sesak bersamaan. "Hahha, ya mana Gue enggak tahu coba. Hari ini Bu Meg ada arisan keluarga dan nyokap Gue di undang. Lo pada lupa kalau Gue tetangganya?". "Sintaaaaaaa!" teriak Rara yang membuat seisi kelas menoleh pada Rara, tidak lupa juga dengan geplakan di kepala Sinta yang membuat Sinta tetap tertawa puas. "Berisik Lo pada!" ucap Raka, sang ketua kelas yang kini tengah duduk di samping bangku ke tiga wanita itu. "Ih kalian mengganggu yang lain tahu." omel Dea tapi tetap dengan kekehannya melihat sahabatnya yang selalu bisa membuat suasana hatinya membaik dan menghilangkan rasa cemburunya. "Sorry guys." kata Rara sungguh-sungguh. "Eh ke mana ya Bu Meg?" celetuk Doni yang terheran akan ke mana gerangan guru mereka yang tidak ke lihatan batang hidungnya sejak pagi. "Kalian bebas hari ini, Bu Meg udah Gue kurung." semua menatap Sinta dengan dahi berkerut-kerut, tidak mengerti dengan ucapan Sinta. Jelas saja semua tidak mudah percaya Sinta karena perawainya yang sering sekali bercanda itu. "Maksud Lo apa Ta?" tanya Raka, mewakili semua siswa sekelas mereke. Yang lainnya hanya mengangguk atas pertanyaan Raka. "Bu Meg enggak masuk hari ini." jelas Sinta dengan senyum bahagianya, menandakan bahwa Iapun juga senang jika guru satu itu tidak hadir. "Lo yakin?" tambah Doni. "Nah teriakan Rara tuh buktinya karena Rara terlalu bahagia denger bu Meg enggak masuk." jawab Sinta dengan menaik turunkan alisnya menggoda Rara, Rara menatap sinis Sinta. Ingin rasanya Rara berucap kasar, namun Ia masih ingat dengan dosa. "Kampret, ke napa Lo enggak bilang?" kesal salah satu temannya. "Lah ini baru bilang." dengan wajah watadosnya Sinta tertawa kemudian. "SINTAAAAAAA!" teriak semuanya, tawa Sinta semakin  menggema. Dea menutup telinganya rapat agar teriakan teman satu kelasnya tidak mengganggu pendengarannya. **** Jam istirahat Dea Rara dan Sinta berjalan menuju kantin, mata semua cowok menatap mereka penuh kagum. Mereka semua adalah cewek dengan prestasi gemilang lalu mereka termasuk cewek dengan pesona yang tidak dapat laki-laki hindari. Meski sangat tertutup, terutama Deandra. Wanita itu terlihat kalem ramah dan cuek bersamaan. "De Lo pesen apa?" tanya Rara. "Em bakso deh." jawab Dea dengan senyumnya pada Rara. "Tumben Lo enggak bawa bekal?" tanya Sinta tahu ke biasaan Dea, Dea menggeleng. "Enggak, hari ini Gue enggak masak.". "Lo istriable banget dah De, pasti yang jadi suami Lo beruntung." tambah Sinta, Dea terkekeh dengan tangannya yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Menolak argument Sinta tentang suami yang merasa beruntung jika istri pintar masak. "Enggak semua suami suka sama istri yang masakin suaminya." Sinta dan Rara menaikkan satu alisnya. "Kaya Lo udah ngalamin aja De?" Dea melebarkan matanya, tapi dengan cepat mencari alasan yang masuk akal. "Ck Gue cuma bilang aja, lagian ya. Mungkin sang suami cinta sama istrinya makanya enggak mau istrinya terlalu capek! Bisa ajakan?" kilah Dea, Sinta dan Rara mengangguk-angguk. Dea sendiri juga mengalami itu, saat Dava sering melarangnya untuk memasak karena takut Dea capek dan mengganggu belajarnya di sekolah maupun di rumah. "Iya juga sih." setuju Rara, mengangguk-anggukan kepala. "Gue samain sama Dea ya Rara Sayang." Rara menatap tajam Sinta, tidak terima dengan ucapan Sinta barusan. "Eh maksud Lo, Gue gitu yang pesen?" Sinta mengangguk atas pertanyaan Rara. "Lo ngeselin sumpah hari ini!" Sinta menyengir, menampilkan sederet gigi-giginya yang rapi pada Rara yang menghentakkan kaki pada ubin kantin karena ke isengan Sinta padanya hari ini. Jelas saja Rara begitu kesal pada Sinta yang mengerjainya hingga Ia harus rela ke hilangan separuh uang jajannya dan sekarang gadis tengil itu malah memperlakukannya seperti babu, sinting memang. Setelah ke pergian Rara, mendadak suasana kantin menjadi sepi. Dea dan Sinta memutar kepalanya apa yang menyebabkan kantin menjadi seperti kuburan?. "De, tuh Dewa." Dea menaikkan satu alisnya, lalu menatap tiga orang cowok yang berjalan mendekat ke arah mejanya. "Biarin aja, kita fokus makan." Sinta mengangguk, kembali pada posisinya. Dewa adalah cowok dengan ke tampanan di bawah Dava, hanya ke lakuannya yang membedakan mereka. Jika Dava terkesan cuek, Dewa malah sebaliknya. Dia akan bangga jika namanya di sebut oleh para siswi-siswi. "Deanya Dewa." Dea mendengus, tidak habis pikir dengan laki-laki itu yang suka sekali menyebut namanya dengan embel-embel seperti Dea adalah milik Dewa. "Dea, Dewa panggilin loh dari tadi." Dea tetap diam sampai Rara dan Ibu kantin membawa makanan mereka. "De bakso Lo, eh Lo Dewa minggir sono Lo!" Dewa berdecak kesal karena ucapan Rara yang mengusirnya dari deretan kursi yang sekarang Dea dan sahabatnya tempati, Sinta terkikik geli menatap wajah kesal Dewa pada Rara. "Eh Gue duduk di sini dari tadi ya?" tolak Dewa. "Tapi Gue dari pagi dan dari orok bareng mereka, tanya saja sama Dea." bela Rara tidak mau kalah dengan ucapan Dewa. "De-!". "Minggir deh Wa." potong Dea cepat karena Dia tidak mau jadi pusat perhatian, Rara dan Sinta tertawa karena wajah kesal Dewa. Ucapan Dea sama sekali tidak bisa Ia bantah. Akhirnya Dewa berdiri dari kursi samping Dea yang katanya tempat Rara, Dewa mengambil duduk di depan Dea. "Tapi Gue ikut gabung makan di sini ya?" tanya Dewa dengan puppy eyesnya, di bantu Raka dan Doni. Padahal mereka tidak satu kelas, Raka dan Doni hanya sedikit badboy berbeda dari Dewa. "Serah Lo deh" jawab Sinta acuh lalu menyantap makanan mereka. Ponsel Dea bergetar menandakan ada pesan masuk. 'Yang, ke napa enggak ke kelasku?' 'Ke kantin, tadi enggak bawa bekalkan?' 'Ok, pulang sekolah Aku ada latihan basket!' 'Siap!' Dea meletakkan ponselnya kembali, selain Dia tahu pesan itu akan berakhir juga karena tatapan penasaran dari Rara dan Sinta. "Siapa?" tanya Sinta, Dea menggeleng. "Bukan siapa-siapa.". Madiun, 20 Agustus 2020 Baca juga cerita Author yang Not A Mistake ya? jangan lupa tinggalkan jejaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD