Tuan Tampan vs Gadis Lugu

1520 Words
POV ELOISE “Ya Tuhan, Eloise! Apa yang kau lakukan di sana?” Jenna menudingku dengan nada tak percaya, dia bahkan menertawaiku sekarang. “Sungguh memalukan! Jenna, lihat saja kau! Pria itu menertawaiku karena ulahmu!” Jenna pun tertawa terbahak-bahak. “Kau saja yang gila! Apa kau mengira aku mengenal pria sepertinya? Maksudku … kau lihat saja tampangnya,” ucap Jenna masih terus tertawa. “Aku tahu … aku tahu.” Aku menghela nafas frustasi. “Dia memang tampan sih. Kau mau kembali kesana?” “Tidak lucu, ya?! Bawa aku pergi dari tempat ini! Tutupi wajahku atau lakukan sesautu untukku!” Aku memutar bola mata dengan malas. “Maafkan aku. Tapi … kau serius mengira itu orangnya? Ya Tuhan, Eloise!” Jenna berdehem. “By the way, ini Nick.” Jenna menjeda ucapannya. “Nick kenalkan, ini Eloise.” Nick terlihat sopan. Penampilannya sangat rapi, tertata, dan awet muda. Dia tidak seperti sosok pria yang Jenna deskripsikan sebelumnya. Tak salah kalau aku mengira Tuan Tampan adalah Nick. Tapi jujur saja, aku sudah tidak peduli lagi. Nick menjabat tanganku lalu memulai obrolan. “Senang bertemu denganmu, Eloise.” Aku tersenyum tipis, cenderung … malu. “Aku juga,” ucapku. Kami akhirnya duduk di meja yang sudah di pesan, dimana Jenna duduk disampingku. “Jadi, Nick. Kau tidak mau menceritakan tentang kapal pesiarmu?” Jenna memulai obrolan sementara aku tetap membisu. “Oh, iya! Aku ingin sekali kau datang dan berlayar bersamaku,” pinta Nick. Aku mengangguk, pura-pura tersenyum padahal dalam hati ku ingin pulang. Hiks! Jenna dan Nick sangat asyik mengobrol dengan topik yang tidak kumengerti sama sekali. Aku hanya diam mendengar sambil sesekali meneguk minumanku. Satu waktu, Nick mencoba merangkul pinggangku, tapi aku menghindari sentuhannya. Tapi sayang, aku sudah tidak minat dengan kencan buta ini. Aku benar-benar tidak minat sama sekali. Mungkin jika aku tidak bertemu dengan Tuan Tampan, aku bisa memberi Nick kesempatan. Ya Tuhan! tapi jika ini jadi salah satu cara agar tidak malu, tak apalah. Aku akan tetap berbasa-basi dengan Nick disini. Diam-diam aku melirik si Tuan Tampan. Jujur aku masih penasaran. Dia memandang ke arahku, mata abu-abunya yang tajam terasa mengintimidasi, seperti bidik panah yang menusuk tepat ke jantung. Dia menyesap sampanye sambil terus memandangi kami bertiga. Aku memalingkan wajah ketika tangan Nick terasa mengusap bahuku. Aku memandang Nick yang kini tersenyum manis padaku sambil bercerita sesuatu yang tidak ku mengerti. Aku kembali memandang ke meja si Tuan Tampan, tapi ternyata dia sudah pergi. *** Sudah satu jam berlalu sejak aku tiba di restoran dan Jenna meninggalkan kami. Ternyata Nick cukup kurang ajar. Jelas sekali dia punya maksud tersembunyi ada disini. “Aku lulusan ilmu politik dan menjabat di pemerintahan pusat. Bagaimana kalau kita bertukar pikiran tentang politik?” tanya Nick mencoba membuatku terkesan. “Sayangnya aku tidak tertarik politik,” jawabku seraya menggigit makanan. “Wanita jaman sekarang harus tahu segalanya. Apalagi, kau seseorang yang bekerja di industri perfilman. Tapi, kau terlihat … ‘biasa-biasa’ saja. Bukankah seseorang yang kerja di perfilman itu bersinar, ya, ‘kan? Bagaimana dengan trendsetter-mu? Apa itu style baru?” Nick panjang lebar mengomentari tentangku. Tapi apa katanya? Biasa saja? Darahku bergejolak panas. Apa salahnya kencan hanya menggunakan kemeja dan celana panjang, bukannya gaun? “Aku baru pulang dari kantor,” ujarku. Nick mengangkat bahu. “Tapi kau terlihat lumayan dengan rambut pirangmu itu. Sebenernya, aku ‘berfantasi’ punya kekasih berambut pirang. Sebab, aku punya banyak ide tentang ‘gaya’ apa yang harus kulakukan di ranjang bersamamu. Bagaimana kalau kita lakukan setelah makan malam ini? Aku mengajakmu ke tempatku? Tentu malam ini akan semakin menarik.” Nick menggigit steak, meneguk wine dan mengunyah makanan itu seperti orang gila. Aku mendengus melihatnya. Kini kesabaranku habis. Seolah-olah dia memang tengah menguji kesabaranku. Dia benar-benar menghina martabatku! Aku pun beranjak dengan tiba-tiba. “Kenapa?” tanya Nick, tampak terkejut. “Aku hanya ingin ke toilet.” Aku berlalu dan diam-diam kabur dari restoran. Namun entah mengapa, ruangan terasa berputar dan pandanganku jadi buram. Ternyata aku sangat mabuk sampai-sampai tubuhku seperti boneka yang tak bisa ku kendalikan. Jenna, s****n! Bagaimana bisa dia pergi meninggalkanku sendirian? Apalagi Nick hanya menginginkan tubuhku saja! Aku tidak berkencan untuk itu! Walau kencan buta sekarang terasa mustahil. Aku harus terima kenyataan untuk melupakan tentang pernikahan. Bayangkan saja, semua temanku—kecuali Jenna sih. Sudah menikah. Ya, dia memang memilih untuk melajang seumur hidupnya. Meski begitu, Jenna sosok yang memukau dengan rambut pirangnya. Semua orang bahkan menyukaiku. Dia lebih suka menikmati masa lajangnya di usia tiga puluh lima tahun ini. Dia ingin menikmati hubungan tanpa sebuah komitmen. Kencan buta ini tidak akan terjadi kalau mantanku jujur, membiarkanku melanjutkan hidup. Ya Tuhan, mengapa aku malah mengenang Chase sekarang? Dia orang yang sudah menghancurkan kepercayaan diriku. Tidak, tidak, itu bukan salahnya. Semua itu karena kebodohanku. Aku kehilangan dia karena sepupu b******k itu! Kenapa harus sepupuku dari semua wanita yang ada di dunia? Sepupuku tahu betul aku sangat mencintai Chase. Aku selalu mengatakan padanya tentang isi hatiku dan keinginanku untuk menikah dengannya. Tapi ada yang dia lakukan? Dan apa salahku sampai harus dikhianati oleh sepupuku sendiri? Bagaimana bisa seorang sepupu yang kuanggap sebagai saudara kandung sendiri mencuri kekasihku? Dasar Zoey s****n! Dia memang manusia berhati iblis! “Bukan salahku kalau Chase memilihku. Kau pikir, dia benar-benar mencintai orang sepertimu? Kau bahkan tidak bisa mengurus dirimu sendiri? Kata-kata itu sungguh menikam hati. Apa dia benar-benar keluargaku? Astaga! Sudah enam tahun aku memutuskan hubungan dengan mereka. Aku pergi ke Edinburgh untuk menyelesaikan studiku. Dan aku nyaman saja sendirian. Sekarang, aku memilih berkarir di industri perfilman, di Manhattan. Gajiku cukup besar. Tapi sialnya, ku dengar Chase dan Zoey snagat sukses dalam karir mereka. Dan mereka sangat kaya. Aku merasa beruntung tidak bertemu dengan mereka sejak pulang ke New York tahun lalu. *** Aku berjalan sempoyongan di tempat parkir untuk mencari mobilku. Setelah menemukan dimana letaknya, aku dengan bingung menggeledah tas untuk mencari kunci. Tapi astagas … perutku mual, aku hampir muntah. Dan rasanya tidak kuat menahannya. Tidak ada waktu untuk berlari ke toilet. Aku pun muntahin jendela mobilku. Huh! Kenapa hidupku harus sesial ini?” “Hei!” Tiba-tiba seorang pria muncul di belakangku. Aku pun berbalik ke arahnya. Wajah itu tak bisa dilupakan, definisi kesempurnaan seseorang. Tuan Tampan, itulah sebutan untuknya. “Apa yang kau lakukan dengan mobilku?!” serunya sedikit kesal dan mengusak surainya. “Ma-maafkan aku.” Aku mengarahkan pandanganku ke arah mobil—merek Aston Martin, berwarna perak mengkilap, itu mobil pemberian ayahku karena dia tidak tahu harus menghabiskan uangnya kemana. Rasa sakit langsung menikam dadaku karena orang yang kucintai kini meninggalkanku karena alasan yang egois. Apa yang telah kulakukan sampai-sampai salah? “Tunggu, bukankah ini mobilku?” Aku berbisik, ragu. “Ini milikku!” bentak Tuan Tampan yang terlihat kesal. Kepalaku berdenyut dan pandanganku semakin buram. “Tunggu, Tuan ….” Aku terhuyung ke arahnya sambil tertawa konyol. “Apa kau mabuk? Ini mobilku,” ucapku menuduhnya, sambil terkekeh. “Jadi, kau mau bilang kalau dirimu punya mobil dengan brand Aston Martin?” Dia menyeringai seraya mengejek. “Ya! Ayah memberikannya padaku tahun lalu. Apa kau percaya? Dia pura-pura peduli padaku dengan meninggalkan mobil ini dan apartemen mewah yang kubutuhkan. Cih! Tapi apa gunanya rumah dan mobil mewah kalau tidak bisa ada untuk putrinya?” Aku tertawa kencang dengan air mata berlinang. Apa yang kulakukan? Mengapa aku mengatakan hal paling menyakitkan ini padanya? Dia menghela nafas frustasi. “Anggap saja kita punya mobil dengan warna yang sama. Tapi kau itu sedang mabuk, jadi minggirlah! Apa yang harus kulakukan dengan muntahmu ini?” Dia menunjuk kekacauan di jendelanya. “Kau lucu sekali! Mengklaim mobil orang lain. Apa menipu adalah pekerjaanmu?” Aku tertawa, menggelengkan kepala sampai pening. Dia menatapku tajam sebelum aku terjatuh ke arahnya. Aku cegukan dan harus segera pulang. Dan dia, seharusnya tidak mengklaim itu mobilnya. Rasa mual kembali menekan perutku. “Tunggu!” seru aku dan langsung muntah sekali lagi. Dan kali ini … aku muntahin jas-nya. “Ya Tuhan!!!!” Dia mengerang, melepaskanku dan mengesampingkan ku. “Maaf, maafkan aku. Aku tidak bisa menahannya,” racauku. Dia melepas jasnya dan hanya menyisakan kemeja putih dan rompinya. “Kau gila?! Diam disini!” Dia menarik tubuhku dan mengunci pinggangku. Tiba-tiba aku merasa sebuah sengatan listrik mengaliri tubuhku. Dengan perlahan, dia mengusap sisi muntah di mulutku dengan jasnya. “Apa lebih baik?” Aku mengangguk. “Terima kasih.” “Sekarang apa yang harus kulakukan denganmu?” Dia menatap wajahku dengan intens. “Tolong jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa menyetir dalam keadaan seperti ini.” Aku cegukan lagi dan mengikik. “Kau akan jadi tersangka utama kalau terjadi sesuatu padaku.” Aku meracau. “Aku hanya ingin pulang. Perutku sangat mual.” Dia menghela nafas lalu membukakan pintu mobil. “Baiklah. Masuk.” Aku tidak menolak. Aku bahkan tidak yakin bisa berdiri lagi. Lutut terasa bergetar. Aku naik ke kursi kopilot sebelum dia menutupnya. Lalu ia pun duduk di kursi kemudi. “Kau tinggal dimana?” “Jalan, Mondrian East nomor 54,” bisikku. Sesaat kemudian, aku mendengar mesin menyala. Aku pun menutup mata saat menyadari mobil ini mengeluarkan harum musk dan cendana. Sangat berbeda dengan mobilku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD