Takdir?

1467 Words
POV ELOISE Pagi harinya aku terbangun dan ingat tentang apa yang terjadi semalam. Meskipun mabuk, aku ingat Tuan Tampan itu mengantar pulang lalu disambut Jenna untuk menuju kamar tidur. Insiden salah mobil memang sangat memalukan. Dan yang lebih mengkhawatirkan ketika membiarkan orang asing membawa diriku yang sedang tidak berdaya. Aku tidak pernah membiarkan itu terjadi padaku lagi. Bagaimana kalau aku bertemu dengan orang jahat, psikopat, atau penjahat kelamiin? Aku tak ingin mereka memanfaatkan kondisiku yang tak sadarkan diri. Rasanya lega karena tidak akan bertemu dengan Tuan Tampan itu lagi. Keluar dari kamar, aku melihat Jenna sedang menyeruput kopi sambil membaca majalah di meja dapur. Selama beberapa tahun ini, Jenna menjadi teman sekamarku di apartemen yang diberikan oleh ayahku. Dia dulu bekerja di departemen yang sama denganku, tapi dia sudah menemui pekerjaan lain sesuai passion-nya. Meski sudah tidak satu kantor, kami tetap tinggal bersama. Lagipula, tinggal di tempat yang besar sendirian, akan membuatku kesepian. Tentu saja aku memberikan tumpangan padanya secara cuma-cuma, tapi kami patungan untuk biaya listrik dan lain-lain. Rasanya kepalaku pengar seperti orang gila. Aku sangat-sangat lelah. Tapi hari ini aku punya agenda yang sangat sibuk. “Kau sudah bangun?” tanya Jenna seraya menutup majalah yang dia baca. “Apa yang sebenarnya terjadi semalam?” sambungnya. Aku mengerang pelan. “Jangan pura-pura tidak tahu. Bukankah kau membukakan pintu untukku.” Mata Jenna melebar karena terkejut, lalu diikuti seringai lebar. “Aku mulai curiga padamu. Kata orang saat mabuk, mereka tidak akan ingat apapun.” “Cih! Omong kosong. Mereka hanya berpura-pura tidak ingat demi menutupi rasa malu.” “Iya juga. Aku pernah melakukan itu.” Jenna mengangguk setuju. “Jadi, apa yang terjadi? Kenapa Nick tidak mengantarmu pulang dan kau malah bermesraan dengan pria seksi itu?” Jenna menyeringai. Aku pun menceritakan apa yang terjadi semalam. Tentang otak m***m Nick serta insiden salah mobil. “Itu saja sih. Aku akan kembali ke restoran untuk mengambil mobil.” “Aku minta maaf tentang Nick. Seharusnya aku profiling dulu soal dia. Lagipula, dia seperti pria baik-baik, tapi mendengarmu mengatakan itu … aku jadi merasa bersalah.” Jenna menghela nafas pelan. “Ini bukan salahmu, Jenna. Tapi aku benar-benar tidak akan pergi kencan buta lagi.” Aku mengambil sumpah. “Tetap saja, ini semua karena ideku. Ngomong-ngomong, aku bisa mengantarmu,” tawar Jenna. “Terima kasih. Tapi aku harus buru-buru. Aku ke kamar mandi duluan, ya.” “Baiklah,” jawab Jenna. “Oh, ya. Soal tadi malam ….” Jenna menahan langkah kakiku. Tapi setelah itu dia menggantung kalimatnya. “Sudahlah, lupakan.” Jenna mengangkat bahu, seolah tak ada apa-apa. *** Hari ini perusahaanku akan kedatangan bos baru, seorang Direktur Operasional untuk departemen creative and marketing. Generations Entertainment Inc. akan berganti kepemimpinan manajemen setelah pisah dari induknya, Sebastian Pictures. Tidak ada sambutan meriah, pesta penyambutan, atau acara apapun itu. Sebab, mereka datang untuk bekerja. Berdasarkan rumor, mereka dikirim dari kantor pusat, salah satu industri perfilman terbesar di Amerika. Aku selalu bertanya-tanya, bagaimana rasanya bekerja untuk mereka. Dan sekarang, para petinggi itu ada disini dan membawa dampak besar bagi kantor kami. Aku tiba di kantor pukul delapan. Dengan beban kerja yang berat, Miss Craig, Direktur Art mengharapkan kami datang tepat waktu. Aku berjalan dengan percaya diri melewati ruangannya dan dia tetap diam. Sekitar pukul setengah sebelas, dia memanggil bawahannya untuk ke ruangan. Trina dan aku tidak membuang waktu lagi dan langsung melangkah kesana. Miss Craig berdiri di belakang meja, mengobrol dengan seseorang yang tampak tertarik dengan portofolio di rak. “Selamat pagi, Miss Craig.” Trina menyapa dan dia pun menunjukkan senyum penuh kebahagiaan ke arahku. “Ah, kalian sudah disini. Aku ingin memperkenalkan kalian pada Direktur Operasional baru di departemen kreatif.” Miss Craig menyingkir dan pandangan kami langsung tertuju pada seseorang yang dia ajak bicara. Seketika itu pula, jantungku mencelos. “Dia salah satu petinggi Sebastian Pictures yang akan bergabung dengan kita. Perkenalkan, Tuan Chase Cromwell. Oh, ya, satu lagi. Aku ingin mengatakan bahwa CEO SP juga datang hari ini,” ungkap Miss Craig. Aku langsung mengabaikan apapun yang Miss Craig katakan. Apa katanya? CEO SP yang juga datang? Persetan dengan itu! Aku hanya fokus memandang pria yang pernah menghancurkan perasaanku berkeping-keping hanya untuk mengencani sepupuku. Chase s****n! “Selamat pagi, semuanya,” sapa Chase dengan senyum penuh pesona. Aku menelan ludah sudah payah. Dia bahkan tambah tampan dan seksi dari sebelumnya. Sungguh mempesona! Menghadapinya saat ini, membuatku tak tahan. Kenapa takdir harus mempermainkan kami?” “Tuan Chase, ini adalah pegawai terbaikku, co-director art, Trina Jackson dan Eloise Walker.” Miss Craig memperkenalkan kami. “Senang bertemu dengan kalian, Nona,” ucap Chase mengulurkan tangan pada kami. Dalam hatiku bertanya-tanya, apa dia masih mengenaliku? Bahkan baru enam bulan berlalu? “Saya Trina Jackson.” Suara riang Trina terdengar sambil menjabat tangan. “S-saya, Eloise Walker.” Aku gugup tak berani memandang ke arahnya. “Hei, Eloise Walker,” sambut-nya. Aku menggigit bibir bawahku. Ketertarikan itu ternyata masih ada, bertahan di hatiku. Dia dengan lembut tanganku hingga menimbulkan arus listrik yang menyengat bahkan ketika dia sudah melepasnya. “Nona Eloise ini orang yang aku kenal sebelumnya,” ucap Chase, mengumumkan. Bagaimana bisa dia mengatakan hal itu tanpa dosa? Padahal aku tidak ingin siapapun tahu tentang sejarah kelam kami. Miss Craig dan Trina menatapku penuh tanda tanya. “Dari kuliah,” timpalku pada mereka yang jadi kebenaran dalam kisah kami. "Oh, begitu. Pasti ini mengejutkan, ya, Eloise? Apa kau sudah tahu sebelumnya?” tanya Miss Craige, penasaran. “Aku tidak tahu,” jawabku jujur. “Baiklah, Tuan Chase.” Miss Craig melemparkan senyum aneh padaku. “Mereka akan membantu Anda dengan semua yang dibutuhkan disini, seperti yang kukatakan tadi.” “Aku mengerti." Chase mengangguk sebelum melanjutkan kalimatnya yang lain. “Tapi rekanku akan terlambat. Anda bisa memperkenalkan mereka lagi nanti kalau sudah datang. Bisakah?” Tanya Chase. “Tentu saja, Tuan,” jawab Miss Craig. “Kalian boleh pergi,” Chase mempersilakan. Tapi matanya tertuju padaku. “Kecuali Anda, Nona Eloise,” sambungnya. Hening. Aku dan Triana saling memandang. Begitupula Miss Craig yang memandangku. "Bolehkah aku bicara dengannya, Miss Craig?" "Tentu, Tuan." Saat mereka keluar ruangan untuk meninggalkan kami, Trina melemparkan senyum penuh arti. Jujur saja, aku sudah menunggu momen ini datang. Tapi saat tiba, aku sadar bahwa aku belum siap menghadapinya. “Bagaimana kabarmu, El?” tanya Chase, menatap mataku dengan tulus. “Jangan panggil aku begitu,” ujarku, sedikit kesal. Chase menghela nafas. “Sudah lama, Eloise.” “Ya, benar. Enam tahun tanpa penjelasan. Tapi kurasa … aku tidak perlu mendengarnya, ya, ‘kan? Selamat atas posisi baru yang excellent, Chase. Kurasa aku harus mencari pekerjaan baru.” “Jangan seperti itu,” ucapnya seraya menghela nafas, jelas sekali dia frustasi. “Semua yang terjadi di masa lalu, tidak seperti yang kau bayangkan, Eloise.” “Oh, ya?” Aku mengejek sambil menyeringai tipis. “Jadi, saat tahu aku tidak menerima uang dari ayahku, kau berselingkuh dengan sepupu ku?” "Aku sudah bilang, bukan seperti itu!" Ya Tuhan, mengapa aku memulai ini? Aku sangat marah. "Maaf. Seharusnya aku tidak membahas itu. Apakah ada hal lain yang ingin kau diskusikan, Tuan?" tanya aku mencoba profesional. “Bagaimana kabarmu setelah meninggalkan New York?” tanya Chase, prihatin. Tapi aku sulit percaya karena ini mengacaukan bagiku. "Aku merasa baik-baik saja," jawabku dingin. "Kau tahu aku sangat khawatir. Jujur saja, aku terkejut sekaligus lega melihatmu disini. Kapan kau kembali?" "Dan bagaimana denganmu? Bagaimana hidup dengan uang Zoey? Kudengar kau masih belum melamarnya," ejekku. "Hentikan, El!” serunya, tak suka. "Hentikan?" Aku menyeringai. "Sepertinya rasa bersalah mulai membelenggumu, ya?” "Aku sudah bekerja keras untuk ini, Eloise. Dengan darah, keringat, dan air mataku. Aku sudah membayarnya kembali untuk uang yang kau bilang tadi.” Tak lama, suara ketukan pintu terdengar. "Bagus kalau begitu,” sindirku, mengabaikan tamu yang datang dengan senyum sarkas. “Apa kau sudah selesai? Aku punya kerjaan lain.” “Mengapa sikapmu jadi seperti ini?” “Seperti apa?” "Jangan bersikap seolah-olah kau tidak punya perasaan padaku. Kau bertanya pada Kenneth tentangku, ‘kan?” Kenneth adalah saudara laki-laki Zoey yang otomatis masih memiliki hubungan denganku. Padahl, aku sudah menyuruhnya tutup mulut. "Aku bertanya tentang kalian berdua. Itu beda. Dan aku tidak punya perasaan lagi terhadapmu,” ucapku, jelas berbohong. Dan mungkin itu terlihat jelas di wajahku. "Kau tahu, Eloise. Aku tidak pernah mencintai Zoey. Tapi kau tidak percaya ….” "Tentu saja. Kalian terlihat sangat bahagia ketika bersama,” cibirku. Tak ingin berlama-lama, aku pun segera beranjak. “Aku akan pergi dari sini dan tolong—-” Pintu tiba-tiba terbuka, menarik perhatian kami. “Maaf, Bro. mereka bilang kau sudah … disini.” Ya Tuhan! Itu Tuan Tampan, orang terakhir yang tidak pernah ingin kutemui lagi. Dan sekarang, dia melirikku sebelum menatap Chase.” Oh, s**t! Waktunya sangat tidak tepat! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD