bc

Pernikahan Sementara Sang Dokter

book_age18+
222
FOLLOW
4.3K
READ
HE
submissive
heir/heiress
blue collar
bxg
kicking
lies
athlete
like
intro-logo
Blurb

Rahasia di balik pernikahan kontrak.

.

"Lebih baik aku nikah sama kamu daripada nikah sama cowok itu."

— Paramitha Ayudia —

.

"Masalahnya, buat aku justru sebaliknya. Mending aku nikah sama cewek lain daripada nikah sama kamu."

— Argawira Abimana —

.

***

Untuk mengindari perjodohan yang dilakukan orangtuanya, seorang dokter cantik tetapi sedikit absurd—Paramitha Ayudia memaksa sahabat sejak kecilnya—Argawira Abimana untuk menikah dengan sebuah perjanjian.

.

Awalnya Wira menolak keras tetapi karena sebuah alasan ia pun akhirnya setuju.

.

Seiring berjalannya waktu ternyata Wira memiliki sebuah rahasia yang tidak diceritakan hingga Mita baru menyadari bahwa ternyata ia tidak cukup mengenal suaminya.

.

Lalu apa yang akan terjadi dengan rumah tangga mereka? Akankah berakhir sesuai kesepakatan awal mereka?

.

**

Spin off dari cerita "Melahirkan Anak Kembar Untuk CEO"

chap-preview
Free preview
1~ Malam Pengantin
Hari pertama. Seorang pria terperanjat saat keluar dari kamar mandi setelah selesai membersihkan diri dan mendapati wanita sedang duduk di kursi depan cermin. "Kamu ngapain di sini, Mita?" Pertanyaan yang sarat dengan kekesalan meluncur dari bibir pria itu. "Lah? Terus aku harus di mana, Argawira Abimana? 'Kan ibu bilang malam ini kita istirahat di sini," sahut wanita bernama Paramitha Ayudia yang biasa di sapa dengan sebutan Mita tersebut. Berbalik kemudian menatap pria yang akrab disapa dengan panggilan Wira. Raut wajah sang pria yang awalnya kesal pun mulai berubah. "Sorry. Aku lupa kalau kita udah nikah. Masih harus beradaptasi." Menggantung handuk basah di tempatnya. "Baru juga beberapa jam, udah lupa aja. Kelihatan banget udah tuanya," ejek Mita, kembali memutar tubuh, menghadap cermin dan melanjutkan kegiatan yang tadi sedang melakukan perawatan pada wajahnya. Wira tidak menyahuti. Berdiri di samping tempat tidur sambil mengisi daya ponsel pintar miliknya. "Ra!" "Hem." "Abis ini kita mau tinggal di mana?" Mita berbalik, menghadap ke arah suami. Wira diam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Terserah kamu aja." "Mau gak tinggal di rumah aku? Atau di rumah kamu juga boleh biar sekalian aku tau rumah baru kamu. Kamu 'kan gak pernah kasih tau aku. Aku gak pernah lihat lho, lokasinya di mana juga aku gak tahu." "Rumah itu aku bikin untuk ditinggali sama istri aku nanti." "Aku juga istri kamu." "Istri pura-pura." "Eh! Kata siapa? Kita Nikah beneran lho, Ra. Wali, saksi, mas kawin, semuanya beneran, gak ada yang pura-pura. Apa jangan-jangan mas kawinnya yang palsu." Mita melihat pergelangan tangan di mana sebuah gelang yang dijadikan mas kawin oleh suami melingkar di sana. Ia memang tidak suka mamakai cincin dan Wira tahu itu. "Nikahnya beneran tapi niatannya yang gak bener," omel pria bernama lengkap Argawira Abimana tersebut, sengaja menyindir istri. Alih-alih tersinggung, Mita justru tertawa. "Ya udah, sih, gak usah baper juga kali." Menanggapi dengan santai sambil mengibaskan tangan di depan wajah. "Gak ada juga yang baper. Biasa aja tuh!" kilah Wira. "Kalau gitu kita tinggal di tempat aku aja, toh cuma sementara juga, yang penting gak di sini terus. Males lah harus tidur satu kamar sama kamu. Kalau pisah kamar di sini malah pada curiga nanti." "Idih! Siapa juga yang mau? Aku juga ogah kali berbagi kamar sama kamu kalau gak terpaksa," balas Wira sambil naik ke atas tempat tidur, bersiap untuk istirahat. "Aku mau tidur. Kamu jangan berisik. Kalau kamu mau tidur, tidur aja." "Eh, Ra! Kok kamu tidur di situ? Terus aku tidur di mana dong?" Mita mendekati dan berdiri di samping ranjang, menatap protes suaminya. "Kamu mau tidur di sini juga, boleh aja. Aku gak keberatan," sahut Wira sambil menarik selimut, terdengar santai dan tanpa beban sama sekali. "Di sini? Sama kamu? Ih, ogah aku!" Mita menolak mentah-mentah tawaran suaminya. "Ya udah kalau nggak mau. Terserah kamu aja." "Nanti kamu ngapa-ngapain aku—lagi," balas Mita. Wira yang hendak berbaring, menatap sang teman yang kini sudah berubah status menjadi istrinya, "Aku gak selera lihat kamu meskipun gak pakai apa-apa," ujarnya dengan tatapan mengejek. Mita meraih bantal dan memukulkannya pada pria yang kini sedang tertawa. "Kamu ini aneh. Tadi takut diapa-apain tapi aku bilang nggak selera malah ngamuk. Udah deh, nggak usah banyak drama. Kalau kamu mau tidur di sini, ya udah, tidur aja, nggak usah takut aku apa-apain. Aku juga gak minat ngapa-ngapain kamu. Tapi kalau kamu masih ragu, sana, tidur aja di sofa." Tanpa peduli lagi pada sang istri Wira berbaring di atas tempat tidur seraya menutupi tubuh dengan selimut tebal. "Jangan berisik lagi. Aku mau tidur." Seraya memejamkan mata ia berkata lagi. Mita masih berdiri di tempat, menoleh ke arah sofa. Ia tidak pernah tidur di sofa selama hidup, membayangkan saja badannya sudah terasa ngilu. Wanita itu kemudian menoleh ke arah tempat tidur. Suaminya sudah terlelap dengan posisi terlentang di salah satu sisi ranjang berukuran sedang itu. "Tahu gini tadi aku bujuk ibu aja biar ngizinin aku dan Wira pulang ke rumah aku," gumamnya dengan wajah cemberut sambil naik ke atas tempat tidur. Mita meletakkan bantal guling di tengah antara ia dan suami. Terpaksa tidur di ranjang karena tidak bisa tidur di sofa. Tidak langsung memejamkan mata, ia diam sambil menatap langit-langit. Kembali merenungi apa yang terjadi. Kini ia menjadi ragu, apakah keputusannya untuk menikah itu sudah benar? "Mita ... kamu ini mikir apa sih? Udah terjadi, mana bisa diulang lagi." Ketika hendak memejamkan mata, Mita merasakan teman tidur di sampingnya bergerak, ia pun menoleh dan terkejut karena Wira sedang merubah posisi tidur menjadi menyamping menghadap ke arahnya. Yang membuatnya lebih panik adalah tangan pria itu terangkat seperti hendak memeluknya. Ia spontan menyilangkan kedua tangan di depan dadda. "Heh! Mau apa kamu, Wira?" pekiknya dengan jantung terpacu. Tetapi siapa sangka, Wira ternyata melipat kembali tangannya dan memeluk selimut. Kedua mata masih terpejam. "Astagfirullah ... ini makhluk satu kok bisa-bisanya bikin orang jantungan." Mita menghela napas lega seraya meraba dadanya yang masih berdegup kencang. Ia kira suami akan memeluknya. Meski berteman sejak kecil tetapi saat beranjak dewasa, mereka membatasi interaksi secara fisik. Jangankan memeluk, bersentuhan tangan pun hampir tidak pernah kecuali jika tidak sengaja. Wanita itu akhirnya memutuskan untuk tidur menyamping membelakangi suami. Tanpa ia tahu, pria itu tersenyum dengan mata terpejam. Ya. Wira memang belum tidur dan sengaja menjahili istrinya. 'Siapa suruh manfaatin ibu buat maksa aku nikah. Awas aja kamu. Aku kerjain tiap hari, baru tahu rasa,' batinnya. Wira memang sangat mencintai ibunya, terlebih setelah ayahnya pergi belasan tahun yang lalu, ia hanya tinggal berdua dengan sang ibu. Setahun kemudian mereka diminta teman sang ibu untuk mengurus sebuah panti asuhan hingga sekarang. Anak-anak kurang beruntung itulah yang kini menjadi keluarganya. Karena rasa sayangnya pada sang ibu juga ia tidak bisa menolak saat wanita itu memintanya untuk menikahi Mita—sahabatnya sejak kecil dan baru ia tahu bahwa ternyata Mita mengarang cerita pada ibunya tentang hubungan mereka. Wira membuka mata, menatap punggung wanita yang tidur bersamanya. Tidak habis pikir dengan isi kepala sang teman. "Apa sebenarnya yang kamu pikirkan, Ta, sampai-sampai kamu mengarang bebas pada ibu dan bilang kalau kita punya hubungan lebih dari sekedar sahabat," gumam Wira seraya menghela napas panjang. "Seratus hari, banyak hal yang mungkin terjadi selama itu. Aku harap keadaan tidak menjadi rumit suatu hari nanti, Ta. Aku mungkin tidak sebaik yang kamu pikirkan,'' lirih pria itu lagi.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.2K
bc

My Secret Little Wife

read
98.7K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
102.4K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook