Duniaku Hancur

1002 Words
Ariena kembali mempercayai Radit. Ia sudah meneguk minuman berwarna pekat dari dalam gelas sloki besar tersebut. Hanya satu tegukan, namun ia sudah merasakan tenggorokannya terbakar. Ariena segera meletakkan kembali gelas tersebut di atas meja sofa. Ia mulai mengedarkan pandangan menatap teman-teman Radit lainnya. Ariena kebingungan karena yang lain terlihat sangat menikmati minuman tersebut. Termasuk Winona yang hanya terkekeh ketika meneguk minuman yang sama sepertinya. Bahkan kekasihnya sudah meminum tiga gelas. Okay, mungkin ia hanya belum terbiasa. Tapi rasanya ia tidak tertarik untuk kembali mencobanya. Ariena mendekat pada Radit, entah kenapa ia begitu penasaran. "Kak ... ini minuman apa? Rasanya sangat aneh." Radit sukses terbahak. "Minumlah satu teguk lagi, Sayang. Maka aku akan menjawabnya." "Tidak, Kak. Aku sudah minum." Ariena menggeleng. "Ayolah ... habiskan minumanmu, Sayang. Lihat, bagaimana aku menghabiskan minumanku." Ariena terkejut melihat perubahan cara bicara Radit. Ia semakin terlonjak saat Radit menyuruh waiter untuk kembali mengisi gelasnya. "Ayo semuanya bersulang untuk kelulusan pacar kesayanganku dan juga untuk first anniversary kami!" Radit berteriak lantang kepada teman-temannya dan sudah mengangkat gelas. Pemuda itu kembali memberi kode pada Ariena untuk melakukan hal yang sama. Melihat semua sudah mengangkat gelas, dengan tidak enak hati dan rasa terpaksa Ariena pun melakukan hal yang sama. Semua bersulang dan menenggak minuman dari gelas masing-masing hingga tak bersisa, tidak terkecuali dengan Ariena. Meletakkan gelas besar nan panjang itu kembali di atas meja, tiba-tiba Ariena merasakan matanya memburam. Kepalanya pun mulai berdenyut nyeri. Semua terlihat berputar-putar. Terlebih, ia merasakan panas mulai menjalari seluruh tubuhnya. Ariena mulai gerah. "Kak ...." "Hmm ...?" "Kenapa panas sekali di sini?" "Panas? Aku tidak merasakan apa pun, Sayang. Pendingin ruangannya juga hidup, kan?" "Ta-tapi Kak, aku ..." Ariena tidak sadar saat tangannya sudah bergerak hendak melepas jaket kulit hitamnya. "Stop, Sayang. Jangan di sini. Ayo ... aku akan meredam rasa panasmu. Aku akan menyembuhkanmu." Radit sudah menahan tangan Ariena. Ia menggenggam tangan Ariena lembut lalu memapahnya bangkit dari sofa. Ariena hanya mengikuti kekasihnya. Ia tidak mampu menolak. Rasa panas seperti terbakar sudah mengambil seluruh fokusnya. Keduanya berjalan sempoyongan. Ariena tidak merasakan apa pun lagi, selain .... "Kak ... to-tolong ..." Suara Ariena melemah. "Sabar, Arien. Aku akan segera menolongmu. Aku akan memberikan semua yang kamu butuhkan. Semuanya." Ariena bisa mendengar kekehan kecil dari birai Radit. Pandangannya yang masih memburam tidak mampu menangkap objek apa pun. Termasuk smirk yang menguar tiba-tiba dari birai kekasihnya. Setelah melalui lorong panjang temaram yang dipenuhi oleh pasangan-pasangan yang tengah bercengkrama, mereka menaiki tangga yang mengantarkan ke lantai dua. Keduanya kini berhenti di depan sebuah pintu kayu bercat coklat gelap. Radit merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan sebuah kunci dari sana. Membuka pintu dengan kunci tersebut perlahan. Pemuda itu lantas mengajak Ariena masuk ke dalam setelah menutup sempurna daun pintu tersebut. Kembali menguncinya. Keduanya sudah berada dalam sebuah ruangan minimalis yang berukuran 5x6 meter. Lebih tepatnya sebuah kamar berinterior minimalis. Radit memapah Ariena dan mendudukkannya di tepi ranjang berbalut seprai broken white. Ariena merasakan dadanya terus berdebar kencang, bersamaan dengan rasa panas yang terus menyelimutinya. Suasana di dalam kamar itu terang benderang. Ariena memejamkan netranya yang terasa pedih saat semburat cahaya lampu itu terasa menusuk. "Terlalu terang ya? Aku hidupkan lampu tidur saja ya ..." Radit menggerakkan tungkainya perlahan ke dinding kamar bercat putih tersebut lalu mematikan saklar lampu utama, dan kembali berjalan sempoyongan menuju nakas sisi ranjang, menghidupkan sepasang lampu tidur yang berdiri kokoh di atasnya. "Kak ... tolong hidupkan pendingin ruangan. Aku tidak tahan dengan panasnya." Ariena berucap tiba-tiba seraya menyeka buliran keringat yang memencar di kening putih mulusnya. "Pendingin ruangannya sudah hidup, Arien. Malah ini sudah di suhu 16° Celcius. Apa begitu panas?" Radit menghampiri Ariena dan duduk tepat di sebelahnya. "Pa-Panas sekali. Rasa panasnya semakin bertambah. A-aku tidak tahan. To-tolong," racau Ariena dengan tangan terus bergerak menyeka peluh di kening dan lehernya. Ariena tidak mampu melihat dengan jelas. Semuanya masih sama. Terlalu temaram dan ditambah netranya masih memburam dengan kunang-kunang yang malah terlihat di matanya. "Bagaimana sekarang, hmm?" Debaran Ariena semakin tak karuan saat Radit menggerakkan jari kekarnya di permukaan wajah Ariena. Memeta setiap inci wajah cantik yang disapu make up natural minimalis. "Ja-jangan, Kak." Ariena masih mencoba memerangi perasaan anehnya yang berusaha menggoyah pertahanannya. "Bukankah kamu menginginkannya sekarang? Ayo ... memohonlah Ariena. Cukup memohon padaku, maka aku akan mengukir malam ini dengan indah dan sempurna." "A-apa yang Kakak bicarakan? Kakak sedang mabuk," tutur Ariena pelan. Napasnya tersengal. "Kamu pikir kamu tidak mabuk?" "Kakak menjebakku," Ariena masih mencoba berpikir jernih. Akan tetapi semuanya sudah di ambang batas pertahanan. Ariena merasa ingin segera meledak. "Siapa yang menjebakmu, Sayang? Kamu yang menjebakku dalam pesonamu. Aku gila karenamu, Arien. Kamu membuatku tergila-gila sejak pertama kali melihatmu di sekolah dulu. Kamu itu berbeda dari gadis lainnya yang selalu mengejarku. Kamu tidak pernah menatapku. Tapi ... Juan. Kamu selalu menatapnya. Kamu pikir aku tidak tahu seberapa besar cintamu untuk sahabatku itu? Aku tahu semuanya Ariena. Bahkan, sampai detik ini ... kamu hanya mencintai dia. Tidak ada aku sedikit pun di hatimu." Radit berucap parau. Ariena tidak mampu mencerna dengan baik semua kalimat yang keluar dari birai plum kemerahan milik Radit. Perasaannya tengah campur aduk. Napasnya tidak beraturan. Ia tidak mampu bersuara. Hanya deru napas memburu yang terus menguar. "Aku ... ingin memilikimu seutuhnya. Aku ingin kamu hanya memikirkanku, bukan Juan Sandyaga. Jadilah milikku, Arien. Aku akan membuatmu bahagia." Ariena mengerjap. Ia terperangah saat melihat sosok Juan Sandyaga di hadapannya. "K-Kak Juan?? A-aku ... merindukanmu. Aku sangat mencintaimu ...." *** Pagi ini datang membawa kehancuran di dunia Ariena yang memang tidak lagi bersinar. Semua menjadi gelap dalam penglihatan. Seperti hidupnya yang tidak memiliki sinar harapan. Ariena tidak sanggup memetakan kehancurannya. Ia mendekap selimut tebal berwarna broken white itu erat. Bersembunyi di dalam sana. Ia hanya sendiri, tidak menemukan satu orang pun bersamanya. Ariena mencoba memutar kembali ingatannya akan kejadian semalam yang telah menghancurkan dan memporakporandakan perasaan. Ia menangis sejadinya, meremas kasar selimut tebal itu. Satu nama terlintas dalam pikiran. "Kamu laki-laki sialan yang tidak tahu diri! Aku membencimu ... kamu telah merusak masa depanku. AKU MEMBENCIMU, RADIT ALDYNATA!!" *** To be continued ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD