MLR 42

814 Words
Julian Nando mengedikkan bahu, lalu tersenyum. Thalisa yang dia kenal memang seperti itu. Tidak mudah goyah oleh sesuatu yang mungkin cukup berat untuk dihadapi. Untuk alasan itu, dia sangat mengaguminya. Ya, meskipun patah hati karena Thalisa kukuh pada keputusannya, dia tetap mengagumi kepribadian sang mantan yang satu itu. Cowok itu bergegas mengetikkan pesan, mengirimkannya kepada Barra. Menekan cowok itu untuk tidak macam-macam, dan memintanya untuk segera mengubah brosur yang sudah tersebar. Menghilangkan Thalisa Putri Yanuar dari daftar pengisi acara. Nando sadar betul bahwa ada sesuatu yang tidak beres dari segi perekrutan yang dilakukan Barra. Jika dilakukan dengan benar, dia yakin Thalisa tidak akan sampai menelepon dan memohon bantuan dari dirinya. Entah bagaimana, cowok itu merasa harus memastikan Barra dan panitia acara berhenti meminta Thalisa untuk tampil. Dia merasa cukup tenang setelah Barra merespons. Mengatakan bahwa timnya sedang bekerja untuk merevisi brosur tersebut dan meyakinkan Nando bahwa Thalisa sudah dikecualikan dari list pengisi acara. Setelah ini, dia hanya perlu memikirkan cara lain untuk mendapatkan kesempatan dari sang mantan. Dia tak akan menyerah sama sekali. Sudah cukup selama beberapa tahun ini dirinya hidup berdampingan dengan rasa sesal. Kali ini, dia ingin menjalani hidup dengan benar. Melakukan apa yang diiginkan oleh hatinya, bukan menjalani apa yang diminta orang lain. Perasaannya untuk Thalisa tidak pernah tergantikan. Sengaja. Dia ingin mengenang sang mantan dengan abadi. Bahkan untuk merealisasikan keinginannya itu, kisah dirinya dan Thalisa memenuhi hampir seluruh lagu-lagu Adjektiva yang dia tulis. Nando mengabadikan sang mantan dalam lagu yang menjadi hits, hampir di seluruh tangga lagu yang ada. Lagu berjudul Sepi, Nando ciptakan beberapa bulan setelah putus dengan Thalisa. Lagu tersebut memuat seluruh isi hatinya yang merasa kesepian, hampa, tak berarti, dan emosi-emosi negatif lainnya. Hanya dengan keberadaan Thalisa dirinya merasa lengkap dan hidupnya menjadi penuh warna. Mengembuskan napas dengan cepat, Julian Nando tersenyum sambil bertekad dalam hati untuk berusaha keras mendapatkan kesempaan kedua dari seorang Thalisa Putri Yanuar. *** Diandra menarik Thalisa ke area acara jurusan yang diselenggarakan hari ini. Panitia menyewa tempat di gedung serba guna milik universitas. Fakultas mereka memiliki halaman yang cukup luas. Akan tetapi, demi menjaga efektivitas dan keamanan, maka dipilihlah gedung serba guna yang dapat diawasi di beberapa pintu. Bagaimana pun, kehadiran artis nasional dapat menarik perhatian orang banyak. Penggemar Adjektiva, dan juga penggemar dari pengisi acara yang lain, yang tidak kebagian tiket, ditakutkan akan memaksa masuk demi melihat penampilan musisi-musisi kesayangan mereka. “Gue nggak punya tiket, Diandra!” pekik Thalisa setelah mengetahui bahwa dirinya diseret ke tempat ini. Tempat yang mati-matian tidak ingin dia datangi. Dua hari lalu, Barra mengirim pesan singkat. Sangat singkat, hanya mengatakan bahwa Thalisa sudah dikeluarkan dari daftar pengisi acara. Saat itu, Thalisa mendengus. Kemudian tertawa sinis. Seolah-olah dirinya yang sangat ingin tampil, lalu dikeluarkan secara sepihak oleh pihak panitia. Padahal, sudah jelas bahwa dirinya yang meminta mati-matian supaya dirinya dikecualikan dari acara tersebut. Dia menolak dengan keras untuk menjadi pengisi acara. Diandra mengambil sesuatu dari tas kecil yang dibawanya hari ini. Setelah ditemukan, dia tunjukkan benda tersebut. Dua lembar tiket berlogo khas acara rutin jurusan mereka. Menunjukkannya pada Thalisa dengan senyum penuh kemenangan. Senyum yang menyebabkan sang sahabat melongo. “Pokoknya gue nggak mau!” Thalisa memekik sekali lagi. “Lo harus mau, Thalisa! Lo harus tunjukin ke orang-orang di dalam sana, kalau lo tuh bukan pengecut yang akan menghindar gara-gara masalah kemarin. Kalau lo ngehindar gini, yang ada si cowok berengsek itu kesenengan, karena udah berhasil bikin lo takut.” Thalisa terdiam. Ucapan Diandra ada benarnya. Barra pasti berpikir bahwa dirinya ketakutan, dan tidak akan berani lagi bertemu cowok itu. Akan tetapi, dia juga bersungguh-sungguh ketika memutuskan untuk menghindari tempat dan acara ini. Kalau boleh jujur pada diri sendiri, Thalisa memang merasa takut. Dia takut bertemu dengan Barra. Juga Nando. Cewek itu memejamkan mata. Mencoba mengambil keputusan. Dia tahu, Diandra tidak hanya ingin membantu dirinya keluar dari rasa takut. Sahabatnya itu juga ingin melihat Julian Nando dan Adjektiva dari dekat. Ada maksud tertentu dari bantuannya itu. Namun, dia juga sadar. Diandra tulus menemani dan membantunya selama ini. Hanya dengan masuk ke dalam sana, dia tidak akan kesakitan. Lagi pula, ada Diandra Kartini yang akan melindunginya. “Oke,” jawabnya sambil membuka mata. “Ayo, masuk!” Diandra tersenyum lebar. Senang karena akhirnya dapat membujuk Thalisa untuk menonton Adjektiva bersama. Sungguh. Selama ini, dia penasaran pada reaksi Thalisa jika melihat penampilan mereka. Dia tahu, Thalisa adalah orang yang menghargai karya seni. Dia juga tahu bahwa rasa tidak suka sahabatnya itu terhadap Nando dan Adjektiva, tidak akan memengaruhi penilaian objektifnya terhadap musik-musik mereka. Dengan hati kegirangan dan langkah yang terasa sangat ringan, Diandra Kartini menuntun sang sahabat untuk segera melewati pintu pengecekan tiket. Tidak sabar untuk bersenang-senang bersama Thalisa. Untuk membawa cewek itu ke dalam dunianya. Dunia yang dipenuhi dengan Julian Nando. Andai Diandra tahu, Thalisa tidak bisa membayangkan akan seperti apa reaksi cewek itu nantinya. Yang pasti, sahabatnya itu akan sangat terkejut dan mungkin … kecewa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD