MLR 7

757 Words
Beberapa waktu kemudian, Diandra belum juga menunjukkan tanda-tanda akan segera selesai. Oleh karena itu, Lisa membawa kakinya untuk melangkah keluar dari butik. Bermaksud melihat-melihat barang selain pakaian yang sedang Diandra inginkan. Di toko bunga tiruan, dia termenung. Menatap lurus pada lili putih yang tampak begitu mencolok. Menimbulkan perasaan itu lagi, yang sempat bergejolak dalam dirinya selama bebbeberapa saat ketika masih berstatus sebagai pelajar sekolah menengah atas. Sewaktu hari-harinya diisi oleh seseorang yang pernah dia sayangi dengan sepenuh hati. Seseorang, yang juga sedang menatap ke arah yang sama tanpa saling menyadari.   MLR 7 Lisa melirik ke samping kiri. Kenarah cowok yang juga sedang menalihat ke arah bunga lili putih yang mencolok itu. Penasaran, ingin melihat dengan jelas cowok yang tertangkap oleh ujung matanya tersebut. Namun, seketika dirinya menyesal. Begitu menoleh, matanya bersitatap dengan cowok itu. Berserobok, seolah Tuhan memang sengaja membuat mereka bertemu di sini. Saling menatap, dan sama-sama terkejut. Lisa berhasil menguasai diri dalam sekejap. Rasa terkejutnya menghilang dengan cepat. Lalu, cewek itu berbalik arah, tujuannya adalah kembali ke tempat Diandra berada. Dia melangkah dengan pasti, tanpa ragu sedikit pun. Membiarkan cowok itu menatap punggungnya yang menghilang di salah satu butik. Embusan napas leganya tersamarkan oleh suara beberapa orang pengunjung butik yang sedang mengobrol. Lisa kembali ke tempat duduk yang tadi dia duduki. Di sana masih ada jaket dan tas Diandra. Cewek itu berani meninggalkan barang berharga di sana, karena sudah beberapa kali datang dan toko ini memiliki sistem keamanan yang sangat ketat. Beberapa kali meninggalkan barang berharga di sini, tanpa penjagaan, tidak pernah ada yang hilang satu pun. Thalisa mencari-cari keberadaan sahabatnya. Rupanya, cewek itu masih memilih pakaian di area yang lain. Membuat bola matanya memutar dengan malas. Hanya dengan menemani Diandra, dia sudah mengalami shock therapy sebanyak dua kali. Dan cewek itu belum selesai juga. Padahal, ujung-ujungnya paling hanya membeli satu atau dua setel pakaian. Tak habis pikir. Padahal, dirinya juga pemilih dalam membeli apa pun. Akan tetapi, tak pernah selama Diandra membeli sesuatu. Diandra, mungkin dapat mencoba seluruh pakaian di butik jika tidak segera disadarkan. Maka, Thalisa memutuskan untuk menghampiri sahabatnya itu. Bermaksud mengajak pulang, dan memintanya untuk segera menentukan pilihan. “Lo nyari baju yang kayak gimana, sih? Udah mau tiga jam kagak kelar-kelar, ini.” Diandra langsung berbalik begitu mendengar keluhannya. Menatapnya dengan garang. “Gue nyari yang bisa memuaskan selera fashion gue, Thalisa. Dan gue belum menemukan satu pun.” Thalisa menepuk dahinya cukup kasar. “Cepetan, kek! Gue tinggal juga, ya, lo lama-lama.” Diandra berkacak pinggang. Kedua alisnya terangkat. “Emang lo berani, hah? Naik ojek online aja nggak berani, lo!” Lisa merengut. Diandra memang benar. Dirinya tak berani naik kendaraan umum seorang diri. Ancamannya terhadap sang sahabat tidak akan terealisasi, terutama ketika sadar bahwa mereka ke sini menggunakan mobil Diandra. Namun, tentu saja dia tidak mau kalah. Akalnya terlalu luas untuk sekadar membuat seoang Diandra kesal setengah mati. “Ya, gue tinggal telepon sopir, lah. b**o amat, lo!” “Dan ketika sopir lo dateng, gue udah kelar beli baju. Alias jam segini macet, dan rumah lo jauh dari sini.” Diandra mengungkapkan fakta. Rumahnya berada di bagian lain Jakarta, berjauhan dengan mal yang sedang dia kunjungi ini. Saat ini juga di jalanan sedang ramai orang-orang yang pulang bekerja atau sekadar jalan-jalan. Lalu lintas biasanya sangat padat dan macet tak pernah bisa dihindari. Sopir yang dipekerjakan sang ayah untuk mengantar-jemput keluarganya, pasti tidak akan sampai dalam kurun waktu satu jam. Bisa jadi, Diandra benar. Sopirnya baru sampai setelah sang sahabat selesai memilih dan membayar baju yang diinginkannya. “Ngeselin banget, lo!” Lisa menatap Diandra dengan penuh kekesalan. “Gue mau makan aja, laper! Kering banget gue nungguin lo belanja, nggak ada pengertiannya sama sekali.” “Kok, jadi ngerembet, sih? Kan di sini emang nggak boleh makan, b**o!” “Bodo amat! Pokoknya, gue minta kartu lo, sini! Gue mau makan.” Sambil berdecak, Diandra bergegas mengambil tasnya di sofa yang telah ditinggalkan Lisa. Mengambil dompet berwarna cokelat, lalu mengeluarkan salah satu kartu debit yang diinginkan sang sahabat. “Nih!” Lisa menerima dengan ekspresi senang sekaligus jahat. Dia memikirkan akan membeli banyak makanan, sehingga Diandra akan menyesal dan kapok untuk mengajaknya berlama-lama di butik lagi. Di lain waktu, dia yakin, sahabatnya itu akan megajak orang lain untuk hunting pakaian, atau mengurangi waktu memilih dan tetap mengajaknya. “Jangan banyak jajan, lo! Pake duit sendiri kalau mau! Kayak nggak dikasih jajan aja, lo, sama Pak Edi.” Thalisa tak mengindahkan omelan Diandra. Cewek itu bergegas pergi tanpa pamit. Berlalu dengan segala rencana dalam kepala cantiknya. Memikirkan makanan apa saja yang bisa menguras isi kartu debit milik seorang Diandra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD