Bagian 65

1579 Words
Sejauh ini, selama bertahun-tahun hidup dengan bayang-bayang masa lalu, tak ada satu pun hal yang membuatnya merasa bahwa masa lalu tersebut perlu dianggap sebagai pelajaran. Semuanya, bagi seorang Thalisa Putri Yanuar, hanyalah omong kosong. Masa lalu tetaplah masa lalu, dan sakit hatinya tak bisa disembuhkan hanya dengan sebuah pelajaran. Lisa tak pernah bersedia untuk memaafkan atau memberi kesempatan pada seseorang yang telah menyakitinya. Dia juga tak berpikir akan dengan mudah melihat orang itu lagi berada di hadapannya suatu hari nanti. Akan tetapi, beberapa kondisi membuatnya harus berhadapan dengan cowok itu. Berawal dari permintaan tak masuk akal sang mantan, secara perlahan, hatinya mulai melunak. Bahkan sampai bersedia membuat video yang diminta oleh Nando. Berakhir dengan semuanya menjadi kacau. Dirinya menerima banyak hujatan, bahkan ancaman kematian. Sungguh, dia tak pernah berpikir akan mengalami apa yang selama ini hanya dia baca di berita. Diancam penggemar hanya karena melontarkan kritikan, rasanya seperti dia berada di dunia otoriter yang tak mengenal demokrasi sedikit pun. Hari ini, cowok itu datang. Rasa marah yang sudah menguasainya sejak beberapa hari belakangan, bergejolak hanya dengan melihat raut penuh penyesalannya. Tidak ada yang ingin dia lakukan selain mengusir cowok itu dari kamarnya. Membuat Julian Nando menghilang dari jarak pandangnya. Dan saat ini, baru saja, dia mendengar sang sahabat yang memberi tahu Nando tentang keberadaannya. Membiarkan cowok itu muncul di hadapannya, padahal Diandra tahu bahwa semua kekacauan ini bermula darinya. Akan tetapi, biar bagaimana pun, Lisa tak bisa menyalahkan Diandra. Barang kali, sang sahabat melakukan itu karena berpikir ini yang terbaik untuknya. Supaya mereka bisa menyelesaikannya dengan berbicara. Barang kali, juga disebabkan oleh rahasia yang belum dia ungkap kepada cewek ini. Benar. Daripada marah, Lisa akan mencoba jujur dan membuat Diandra memahami keputusannya. Mengerti akan perasaannya terhadap Nando yang lebih didominasi oleh rasa kecewa. “Bentar, Sa,” ucap Diandra setelah beberapa waktu memutuskan untuk diaam demi mencerna informasi yang Lisa berikan. “Gimana? Gue nggak salah dengar, kan? Lo ... lo dan Nando ... kalian pernah pacaran?” Lisa mengangguk. Dia mengerti atas kebingungan Diandra. Sahabatnya ini mungkin tidak pernah memikirkan dengan serius alasan di balik dirinya begitu antipati terhadap Adjektiva terutama Julian Nando sang vokalis. Lagi pula, jika menjadi Diandra, Lisa pun tidak akan menganggap hal ini penting. Masih banyak hal yang jauh lebih serius untuk dijadikan bahan pikiran. “Kapan? Kok bisa? Dan lo nggak cerita apa pun ke gue? Gimana, sih, Sa? Gue benar-benar bingung ini.” Kebingungan Diandra menjadi hiburan tersendiri bagi Thalisa. Cewek itu tertawa pelan, menimbulkan rasa penasaran yang menjadi-jadi di kepala sang sahabat. “Kok, malah ketawa, sih! Jawab, Thalisa! Gue nunggu jawaban lo, ya!” “Iya, iya,” sahut Lisa sambil berusaha meredakan tawanya. Keduanya kemudian larut dalam pembicaraan tentang masa lalu seorang Thalisa dan Julian Nando. Masa lalu yang membuat Diandra tercengang, berkali-kali memotong ucapan sang sahabat karena merasa kurang bisa memahami. Pada akhirnya, memang tidak ada yang bisa Lisa sembunyikan dari Diandra. Selama ini, dia merasa bersalah karena menyembunyikan dari sahabatnya yang tak pernah menyembunyikan apa pun. Meski dia yakin bahwa Diandra tak akan keberatan dengan hal itu, tetap saja membuatnya berpikir banyak. “Gila! Bisa-biasanya!” Adalah respons Diandra setelah Thalisa mengakhiri ceritanya. Sebanyak apa pun dia menebak, memperkirakan alasan-alasan yang membuat Lisa begitu membenci Nando, tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa mereka adalah sepasang kekasih di masa lalu. Thalisa mengedikkan bahu. “Ya ... mau gimana lagi? Memang kayak gitu, Di.” “Gue kok nggak pernah kepirkiran, ya, lo mantanan sama Nando? Padahal, jelas-jelas rumah kalian sampingan yang benar-benar dempet gitu.” Thalisa nyengir. “Keluarga gue aja nggak ada yang tahu, Di. Teman-teman SMA gue dan Nando juga nggak ada yang tahu.” “Bisa banget kalian backstreet ampe segitunya?” “Ya ... gitu, deh.” *** Diandra merenung. Memikirkan banyak hal membuat kepalanya terasa ingin pecah. Ditambah lagi, informasi baru yang diberikan Thalisa. Selain kepala terasa penuh, dia juga merasakan rasa bersalah yang teramat. Seandainya tahu masa lalu Lisa dan Nando cukup buruk, dia tak akan membiarkan cowok itu mendatangi sang sahabat. Riuh-rendah suara mahasiswa yang mulai berdatangan membuyarkan segala renungannya. Cewek itu mulai mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan dosen killer yang hanya benar-benar galak pada dirinya saja. Galak yang tanpa ampun sedikit pun. Bagaimana dia tidak menganggapnya seperti itu, jika yang benar-benar diusir dari kelas setiap kali terlambat hanya dirinya? Mahasiswa lain biasanya hanya diinterogasi sebentar, lalu dipersilakan duduk setelah diberi wejangan agar tidak terlambat lagi. Namun, ketika dirinya yang datang beberapa menit setelah sang dosen, laki-laki itu akan terus menginterogasi sampai dirinya menunjukkan tanda-tanda ingin menangis. Interogasi berlebihan yang tetap berujung pada pengusiran. Hal ini sudah berjalan sebanyak dua tahun. Tidak berturut-turut empat semester, karena mereka bertemu hanya di semester genap. Namun, rasanya seperti neraka. Setiap memilih mata kuliah ini dengan dosen pengampu berbeda, entah bagaimana, dirinya tak pernah beruntung. Selalu berakhir menjadi mahasiswa seorang Gerald Antonio. “Lisa masih belum masuk juga, Di?” Cewek berambut pirang dengan setelan serba merah muda bertanya di sela-sela kegiatannya merapikan peralatan menulis. Diandra mengerutkan dahi. Tidak ada nada menyindir atau senyuman miring. Pertanyaan itu terdengar biasa saja, bahkan cenderung menunjukkan rasa simpati. Dia tidak tahu apa yang terjadi, tetapi rasanya sangat aneh mendengar seorang Ghea Harris berbicara tentang Lisa tanpa nada sinis seperti biasanya. Bukan apa-apa. Selama ini, Ghea memang dikenal sebagai orang yang menunjukkan sifat kompetitifnya pada siapa pun jika benar-benar merasa tersaingi. Dia pernah mendengar selentingan bahwa cewek ini merasa tersaingi oleh kehadiran Thalisa yang pandai memainkan berbagai alat musik. Setelah mencari tahu, barulah dia mengerti. Bahawa Ghea Harris adalah pelaku musik sama seperti sahabatnya. “Belum,” jawab Diandra singkat. “Gue harap, masalah yang lagi nimpa dia cepet kelar.” Ghea menarik napas lalu membuangnya. “Gue nonton videonya, nggak ada satu pun yang mengarah ke ujaran kebencian. Lisa justru ngasih masukan. Gue juga setuju sama apa yang dia omongin. Gue harap, pihak Nando mau angkat bicara soal ini, biar penggemarnya berhenti jatuhin mental orang.” Diandra terbatuk-batuk. Tersedak ludahnya sendiri. Dahinya mengerut dalam, meyakinkan dirinya bahwa yang sedang berbicara saat ini adalah Ghea. Sungguh, cewek ini dikenal dengan sikap masa bodoh dan tidak pedulinya terhadap orang lain. Sekalinya memedulikan urusan orang lain, Ghea akan memberikan komentar yang cukup menusuk. Namun, yang didengarnya saat ini, seorang Ghea Harris mendoakan supaya masalah yang menimpa Lisa lekas menemukan penyelesaian! Kalau bukan karena Gerald Antonio sudah datang, dia akan berteriak dan berterima kasih dengan sangat lantang kepada cewek ini. Pasalnya, setelah peristiwa Lisa versus penggemar Nando menyebar luas di kalangan kampus, tidak ada satu pun yang memberi komentar baik. Ghea adalah satu-satunya. Dia berterima kasih, lalu mengalihkan seluruh fokusnya kepada sang dosen yang sedang memanggil nama mahasiswanya satu per satu. Dalam hati, dia berikrar akan membalas kebaikan Ghea suatu hari nanti. Apa pun itu. *** “Kalau boleh tahu, kriteria cewek yang Nando suka tuh seperti apa, sih?” Saat ini, Nando sedang menjalankan kewajibannya. Menjadi bintang tamu di salah satu acara talk show yang sedang naik daun. Meski hati dan pikirannya berada di tempat lain, bukan di studio ini, dia tetap berlaku profesional dengan menunjukkan dirinya sebagai musisi yang dikenal ramah dan murah senyum. Nando menunduk sambil menunjukkan senyum tipisnya. Senyum tipis yang membuat banyak kaum hawa yang menonton di studi, histeris bukan main. “Nggak punya kriteria khusus, sih.” “Diplomatis banget jawabannya.” Sang pembawa acara tidak mau menyerah. Perempuan berusia empat puluhan tahun itu kembali melontarkan pertanyaan yang sama. “Satu aja, deh. Secara spesifik, Nando pengin ketemu cewek yang bagaimana?” Maksa banget, gumam Nando dalam hati. Namun, senyumnya masih bertengger dengan baik di wajah. Ada lebih dari lima kamera yang menyala di sana. Sedikit saja dia bersikap tidak biasa, pasti akan tertangkap dari angle mana pun. Dan keesokan harinya, dia bisa menjadi topik utama berbagai infotainment. Mereka pasti dengan senang hati membicarakan perbuatan tidak biasa yang dilakukan dirinya hari ini. “Em ... yang bisa diajak tukar pikiran soal kerjaan masing-masing, sih, mungkin.” “Kok, kayak nggak yakin gitu jawabnya?” goda sang presenter. Nando tersenyum dengan bibir yang ditekan, menahan diri supaya tidak menjawab presenter bernama Shiren ini dengan sesuatu yang akan membuat heboh jagat hiburan tanah air. Kan, udah gue bilang, gue nggak punya kriteria. Lo aja yang maksa, gumamnya dalam hati. Pada dasarnya, kriteria cewek impian Nando hanya Lisa. Tidak pernah berubah sejak pertama kali dirinya jatuh cinta pada sang mantan. Sayangnya, Lisa tidak lagi ingin bertemu dengannya. Karma benar-benar membayar tunai atas sakit hati yang dia torehkan kepada Lisa di masa lalu. Dia bahkan menyakitinya lagi baru-baru ini. Mungkin, memang sudah tak ada harapan untuk mereka kembali bersama. Terlalu muluk-muluk rasanya jika mengharapkan cintanya dibalas oleh sang mantan. Untuk saat ini, dia akan sangat bersyukur jika Thalisa mau mendengarkan pembelaannya atas peristiwa yang sedang menjadi pembicaraan banyak penggemarnya saat ini. “Kalau di kalangan seleb atau penyanyi tanah air, siapa nih yang jadi tipe idealnya Nando? Dari segi visual, deh.” Nando tahu, sadar betul bahwa acara ini benar-benar acara yang mengorek kehidupan pribadi para artisnya. Akan tetapi, dia tidak tahu akan menjadi sangat menyebalkan seperti ini. Seharusnya, dia menolak sejak pertama kali Nadine memberi tahu soal pekerjaannya yang ini. “Em ... Renata kali, ya?” Jika ditanya soal visual, Nando memang tertarik pada kecantikan Renata Sulaiman, penyanyi dangdut yang sedang naik daun. Sebagai manusia yang merupakan makhluk visual, Nando tak bisa memungkiri bahwa cewek itu sangat cantik. Namun, ketertarikannya tidak lebih dari sekadar itu. Cinta dan hatinya sudah kadung terpaut pada Lisa yang telah dia sia-siakan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD