Cericip burung dan hangatnya sinar mentari yang tembus hingga mencapai ruangan tempat Kirana sekarang sedang terbaring membuatnya membuka mata. Untuk sesaat, ia kebingungan dimana posisinya berada saat ini, hingga dirasakannya tangan Adam menggenggam erat jemarinya yang pada akhirnya membuatnya merasa kesemutan.
Kirana mencoba mengangkat kepalanya namun kemudian ia menghempaskannya lagi ke lantai yang ternyata kotor berlapis debu dan tanah.
Dimana ini?
"Dam, Adam."
Kirana menyenggol tangan Adam yang berada dalam genggamannya beberapa kali, hingga akhirnya bocah tanggung itu membuka matanya. Ia mengerjap beberapa kali, kemudian saat matanya bertemu dengan mata Kirana yang sedang menatapnya Adam langsung bangkit.
"Ina, udah bangun? Perut kamu masih sakit?"
Ketika mendengar perutnya disebut oleh Adam, Kirana tanpa sadar langsung memeriksa perutnya.
Terasa nyeri.
"Dikit." Katanya mencoba tidak membuat adik satu-satunya itu panik.
Adam langsung bangkit. Tangannya tanpa ragu terarah keperut Kirana dan menyingkap kaos yang dipakai kakaknya dengan hati-hati.
Kirana mengerenyit.
Wajah Adam mendadak pias. Luka dalam yang diderita Kirana sudah berlangsung selama kurang lebih dua puluh jam tanpa penanganan lebih lanjut. Walaupun darahnya sudah mengering di beberapa sisi, namun ia yakin, infeksi mungkin sedang terjadi. Badan kakak perempuannya panas dan mereka tidak dapat melakukan apapun dalam kondisi seperti ini.
Tidak jika gerombolan itu masih berkeliaran mencari mereka.
"Luka kamu gimana? Kita ke dokter?" Ajak Adam.
Kirana menggeleng.
"Mereka tahu kalau aku terluka. Pastilah mereka bakal mencari di rumah sakit atau puskesmas. Dokter pun bisa jadi pertimbangan mereka." Kata Kirana dengan suara lemah.
Adam meneguk ludahnya kemudian mengalihkan pandangannya ke sekitar tempat mereka bernaung saat ini.
Mereka berada di sebuah rumah terlantar yang ditinggal penghuninya yang terletak dibuah kompleks perumahan dekat tempat Kirana pingsan tadi malam. Satu-satunya tempat perlindungan yang bisa dicapai Adam sambil menggendong tubuh kakaknya yang tidak sadarkan diri. Tempat itu tidak terawat, kotor, penuh kotoran tikus, lembab dan tidak nyaman, namun lebih baik daripada semalaman tertimpa air hujan.
Adam yang duduk bersimpuh sambil memegang kaos Kirana, dengan perlahan menutup kaos itu kembali. Sebelum menatap wajah kakaknya yang pucat, ia merogoh saku celananya yang lembab.
"Na, aku pegang duit dua ratus." Katanya gugup sambil menunjukkan dua lembaran rupiah berwarna merah pada kakaknya.
"Cukup buat beli obat?" Tanyanya lagi.
Kirana menggeleng.
"Nggak tahu. Aku lemes banget."
Adam gemetar ketakutan.
"Na, jangan ada apa-apa. Aku takut banget." Pintanya sambil menahan tangis.
Kirana tersenyum.
"Adam, kamu itu Bratasusena. Nggak boleh takut."
Mendengar kata Bratasusena disebutkan, air mata Adam luruh. Ia dengan cepat menggeleng.
"Aku nggak mau jadi Bratasusena kalau harus melihat kamu seperti ini."
Kirana mengelus lengan adiknya.
"Kamu si nomor satu." Katanya menenangkan.
Adam menggeleng cepat.
"Kamu yang nomor satu."
Kirana tidak setuju.
"Aku perempuan. Kamu mendapat bagian paling banyak."
Adam memeluk lengan Kirana sambil menggigil.
"Karena angka-angka itu kamu jadi begini. Kita lari karena mereka lebih memilih kita mati jadi mereka bisa menguasai semuanya."
Kirana tertawa.
"Nggak bakal bisa. Selama kamu masih hidup, mereka nggak bakal dapet apa yang mereka mau, Dam. Sekarang mereka bisa saja tertawa. Tapi jika sudah waktunya, nggak akan ada yang bisa mencegah pewaris sah Bratasusena muncul di muka umum."
Adam menatap Kirana dengan ngeri.
"Kamu harus bertahan hidup, agar bisa kembali melawan mereka."
"Aku nggak mau." Balas Adam.
"Lalu apa yang aku dapatkan saat ini hanya akan jadi kesia-siaan."
Bocah tampan berambut ikal itu menghela napasnya.
"Sampai suasana aman kita harus sembunyi. Minimal sampai kakek pulih." Kata Kirana lagi.
Adam mengusap matanya.
"Kapan kakek bakal pulih? Sudah satu bulan, mereka bahkan bisa menusuk kamu. Entah gimana kalau kakek sampai nggak ada, kita pasti juga bakal mati."
Kirana tertawa.
"Kamu cerewet, Dam. Kayak mama."
"Mama udah nggak ada, Na." Balas Adam.
Kirana mengangguk.
"Mama sama papa sudah tenang disana. Tapi kita anaknya harus lebih kuat. Apalagi kamu, si nomor satu."
"Aku marah kalau kamu terus-terusan bilang aku si nomor satu."
Karena intensitas nyeri di perutnya semakin meningkat, Kirana memilih diam. Adam yang melihat perubahan sikap kakaknya langsung bangkit.
"Tunggu disini, Na. Aku cari obat dulu. Sekalian cari makanan."
Kirana mengangguk. Ia tidak kuasa menahan Adam, namun sakit di perutnya membuat ia tidak mampu lagi bergerak.
"Jaga diri, Dam. Jangan sampai ketahuan."
"Iya, Na. Doain aku."
Saat Adam dengan perlahan keluar dari rumah kosong itu, Kirana kembali memejamkan matanya.
Sakit
Sakit banget
Tapi nggak ada rasa yang paling sakit melebihi rasanya dikhianati oleh calon suamimu sendiri.
***
Rasanya baru beberapa menit Kirana memejamkan mata, hingga ia mendengar derap langkah dan teriakan Adam yang menghambur ke arahnya.
"Inaa.. bangun."
Dengan perasaan yang masih tidak karuan, Kirana berusaha membuka mata dan bangkit dari tidurnya.
Lalu sosok Adam muncul dengan terengah-engah mencoba menarik tubuhnya.
"Lari." Katanya sambil ketakutan.
"Lari kemana? Mereka ada disini?" Tanya Kirana ikut panik. Ketika memaksakan tubuhnya berdiri, ia mengerenyit.
Aaah, sakit banget.
Namun Kirana tidak sempat protes saat Adam dengan sepenuh tenaganya menariknya keluar dari tempat perlindungan mereka saat ini.
"Mereka dimana?" Tanya Kirana diantara sela-sela napasnya yang nyaris putus.
"Dibelakang." Balas Adam tanpa ragu, sementara Kirana menatap kearah belakang mereka sambil berjalan terseok-seok.
"Dimana, Dam? Aku nggak liat." Desahnya.
"Ada, tiga rumah dibelakang kita. Mereka tinggal di sana."
Sambil memegangi perutnya yang sepertinya bedarah lagi, Kirana menatap punggung Adam yang basah oleh keringat.
"Dam, Adam berhenti dulu." Katanya.
Adam menghentikan langkahnya. Lalu memegang lengan Kirana yang gemetar.
"Panas kamu tambah tinggi, kayaknya."
Kirana masih berusaha mengumpulkan tenaganya. Ia sudah begitu lemas, gerakannya hanya akan memperlambat Adam.
"Dek, kamu aja yang lari." Katanya pada akhirnya.
"Aku buat gerak kamu jadi lambat."
Adam menggeleng.
"Kita udah lari sejauh ini, lalu kamu gimana? Mengorbankan diri buat ditangkap mereka."
"Nggak tahu. Tapi aku nggak kuat lagi. Kamu yang harus lari, selamatkan diri kamu."
Cengkraman tangan Adam semakin kuat. Ia takut sekaligus cemas melihat kondisi kakaknya serta para pengejar yang tidak terlihat lelah sama sekali.
"Na, aku cuma punya kamu di dunia ini. Lebih baik aku mati daripada kehilangan kamu."
Kirana memejamkan matanya. Adam tetap keras kepala. Tapi mereka berdua memang tidak punya pilihan lain selain lari dan menyelamatkan diri. Minimal ia harus bertahan demi adiknya.
Sang pewaris.
Kirana mengangguk pelan.
"Kita lari, tapi jangan salahin aku kalau jalan kamu terhambat."
Dengan pasti, Adam menggeleng.
"Nggak akan. Kita lari sama-sama."
Kirana mengangguk.
Dengan semangat yang tersisa mereka berdua mempercepat langkah menuju tempat pelarian baru yang tidak diketahui dimana arahnya, setidaknya cukup jauh agar bisa menghindar dari sang pengejar yang sepertinya tidak kenal lelah.
"Adam, awas itu di depan." Kirana memperingatkan ketika Adam menoleh kepadanya selama beberapa detik saat mereka sedang menyeberang jalan.
Saat Adam berbalik, sebuah SUV memberi klakson panjang mengejutkan mereka.
Tidak sampai dua detik, terdengar benturan keras, suara klakson yang nyaring serta makian panjang dari dalam mobil.
Kirana dan Adam bertatapan.
"Lari." Kata Adam.
Kirana mengangguk.
"Lariii...."
Sosok yang sedang memaki itu kemudian sadar bahwa dua orang yang membuatnya menabrak tiang listrik melarikan diri. Dengan cepat ia keluar dari mobil dan mengejar mereka.
"Woi b******k. Ganti rugi mobil gue." Makinya tanpa menghentikan gerakannya.
Kirana menarik napasnya.
Ya ampun, satu lagi datang masalah.
***